Mohon tunggu...
Moh Zein Rahmatullah
Moh Zein Rahmatullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Jurnalis yang kalah lomba menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jalan Tikus Rahmad Mas'ud

20 Juli 2024   12:19 Diperbarui: 20 Juli 2024   12:20 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah sopir angkot saat berdemonstrasi di depan Kantor Walikota Balikpapan, Rabu (17/7). Foto: Dokumen pribadi

BEBERAPA hari lalu, sejumlah sopir angkutan kota atau angkot ramai-ramai menggelar protes di depan Kantor Walikota Balikpapan. Mereka memilih meluangkan waktu tidak 'ngider' pada Rabu, 17 Juli 2024, demi berunjuk rasa karena menolak keberadaan bis Balikpapan City Trans.

Menurut mereka, keberadaan bis dalam kota yang baru beroperasi genap seminggu tersebut sudah memangkas pemasukan sopir angkot. Wajar, sebab selama seminggu berjalan, penumpang tidak dibebankan ongkos sama sekali. Dalihnya ujicoba. Alhasil bis ini praktis digandrungi banyak warga.

Para sopir angkot ini mendesak agar operasional bus Balikpapan City Trans dihentikan. Sebagian di antaranya meminta agar bus itu dikembalikan ke asalnya, yakni ke Makassar. Tuntutan ini bukan tanpa musabab. Sejak awal beroperasi, belasan unit bus itu menggunakan plat kuning dengan kode seri depan DD yang khusus untuk area Sulawesi Selatan.

"Di Makassar saja tidak laku, malah dikirim kesini," setidaknya begitu perkataan mereka yang saya ingat.

Aksi unjuk rasa ini ramai-ramai diunggah di media sosial. Sebagian besar komentar warganet berseberangan dengan suara sopir angkot. Bagi sebagian warganet, keberadaan bis itu justru merupakan kemajuan zaman dan relevan untuk menggeser peradaban angkot.

Beberapa warganet juga menyoroti soal para sopir angkot yang justru berasal dari Makassar, dan bukan warga Balikpapan. Sedikit terkesan rasis memang, tapi itulah kadang tabiat kita yang kadang suka khilaf.

Walikota Balikpapan, Rahmad Mas'ud, rupanya dengan tangan terbuka menyanggupi kemauan sopir-sopir angkot. Ya, operasional Balikpapan City Trans akhirnya terpaksa 'direm' untuk memenuhi desakan-desakan tersebut.

Mulanya saya pesimis jika politisi dari partai Golkar itu bakal mengiyakan. Pasalnya, bis tersebut bukan dibeli menggunakan APBD, melainkan hibah dari Kementerian Perhubungan.

Barang hibah ini juga tidak bisa begitu saja diabaikan, terlebih Walikota Rahmad pernah disindir langsung oleh Presiden Jokowi di depan Walikota se-Indonesia karena Balikpapan kian macet. Bis inilah yang dirasa bisa menjawab sindiran itu.

Mulanya saya justru mengira, untuk menanggapi desakan sopir angkot, Rahmad bakal berkelit dengan bahasa penolakan yang diplomatis agar tidak ada kesan 'menolak permintaan rakyat', tapi hanya menunda. 

Tapi bagaimanapun, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Apalagi saya tidak mengikuti audiensi perwakilan sopir angkot dengan pihak Pemkot Balikpapan. Saya cuma ingat, para sopir angkot merasa menang usai unjuk rasa siang itu dan bisa melanjutkan 'narik' angkot kembali dengan lega.

Terlepas dari masalah pro dan kontra yang terlanjur muncul, saya lebih banyak keheranan dengan sikap Rahmad yang mengiyakan dengan menghentikan operasional Balikpapan City Trans--beda halnya saat dulu ditanyai persoalan proyek pengendali banjir yang ternyata nggak jago-jago amat membendung banjir. 

Bos di tempat saya bekerja, mengandaikan Balikpapan City Trans ini seperti Trans Jogja. Kala itu kata dia, Trans Jogja menggeser bus-bus sebagai transportasi antar desa yang sudah beroperasi turun-temurun. Namun bedanya, tidak ada gelombang protes dari para sopir bis yang tergusur. Kalaupun ada, angkanya kecil sekali. 

Bos saya bilang, sebelum Trans Jogja beroperasi, pemerintah setempat telah melakukan upaya meredam potensi konflik lewat membentuk konsorsium. Dimana para pengusaha bus antar desa itu dirangkul untuk terlibat dalam proyek Trans Jogja. Mulai dari terminal, perekrutan sopir, dan segala tetek-bengeknya. Artinya, semua tetap kebagian 'kue'. 

Sementara Balikpapan City Trans ini sejatinya sudah digadang-gadang sejak lama. Dishub Balikpapan sudah mengumumkan itu melalui media massa jauh sebelum bus berpelat kuning ini dioperasikan. Tapi persoalan konflik, sepertinya tak diantisipasi dengan baik. Atau mungkin sudah diantisipasi, tapi strateginya keliru. 

Tentu, ada banyak alasan yang bisa kita spekulasikan, baik dengan metode suudzon maupun sebaliknya. Mungkin saja Rahmad sengaja membiarkan konflik itu muncul, lalu dia muncul sebagai pahlawan. Seolah hendak menunjukkan betapa hebatnya dia dalam merespons tuntutan rakyat.

Tapi jika melihat momentum, tak menutup kemungkinan ini merupakan langkah cerdik mengamankan suara dari kalangan sopir angkot dan keluarganya menjelang Pilkada. Lagi pula, siapa yang bisa menolak peluang popularitas instan dengan mengabulkan tuntutan protes jalanan?

Di balik semua ini, saya bertanya-tanya, apakah Rahmad benar-benar peduli pada kesejahteraan jangka panjang warga Balikpapan atau maksud lain? Sebab keputusan untuk menghentikan operasional Balikpapan City Trans bisa jadi adalah langkah yang penuh perhitungan politis. Banyak sopir yang juga masih menggantungkan hidup lewat angkotnya. 

Mari kita berandai-andai sejenak. Seandainya bus tersebut terus beroperasi, apakah mungkin ada dampak positif yang bisa dirasakan warga? Tentu saja. Transportasi publik yang efisien akan mengurangi kemacetan, mengurangi polusi, dan mempermudah mobilitas masyarakat. Namun, tentu saja, manfaat jangka panjang ini tampaknya kurang menarik dibandingkan dengan keuntungan politik instan.

Dan di sinilah letak kejeniusan Rahmad. Dengan mengalah pada tekanan sopir angkot, yang saya lihat adalah ia berhasil menciptakan citra pemimpin yang mendengarkan rakyat. Jika dipikir dengan otak sumbu pendek, agaknya ada 'jalan tikus' yang sedang ditempuh seorang Rahmad untuk mempersiapkan kontestasi politik. 

Keputusan Rahmad Mas'ud untuk menghentikan operasional Balikpapan City Trans mungkin saja hanya sebatas menyokong kepentingan politik menjelang Pilkada. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kebijakan ini didorong oleh niat untuk memperbaiki kota. 

Dengan kata lain, langkah ini mungkin lebih merupakan langkah strategi politik daripada usaha tulus untuk mengatasi permasalahan transportasi Balikpapan. Sebuah 'manuver kancil', tentu, namun apa yang akan kita hadapi setelah Pilkada? Itu masih menjadi tanda tanya. 

Tapi sebagai warga negara yang budiman, baiknya tidak perlu ber-suudzon pada pemimpin. Sebab akibat kegagalan sebuah pemerintah, tetap warga yang dituntut menanggung akibatnya. Tak jarang, kita pula yang disuruh ikut memikirkan solusinya--padahal urusan perut saja belum tuntas. Bukan begitu, Cak? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun