Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku yang Malang

1 Mei 2021   21:19 Diperbarui: 1 Mei 2021   21:35 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terlahir dari rahim seorang perempuan yang berbeda secara fisik.  Bukan cacat fisik yang terlihat oleh mata, tapi salah satu organ bicaranya tidak berfungsi dengan baik, sehingga kemampuan mendengarnya juga berkurang. Dalam berkomunikasi ibuku hanya mampu tersenyum saja. Senyum khas yang memiliki banyak arti.

Di wajahnya selalu tersungging senyuman. Tidak pernah ada suara yang terdengar dari mulutnya. Satu-satunya alat komunikasi hanyalah senyuman. Ya ... hanya sebuah senyuman. Mungkin orang yang belum mengenal, tidak paham  kondisi ibuku.

Meski dilahirkan oleh seorang perempuan yang tunawicara, tetapi fisikku normal. Saat ini seharusnya aku telah memasuki jenjang pernikahan, tapi setua ini belum ada perempuan yang sudi menerimaku. Entah, selalu saja nasib cintaku berantakan, meski di tengah masyarakat peranku pun tidak diragukan.

Sebagai ketua pemuda desa, tentu masyarakat luas sudah mengenalku. Namun, sayang sekali, setiap  aku mendekati perempuan, dia pun lari setelah mengetahui kondisi  dan latar belakangku. Salahkah diriku terlahir secara tidak wajar?

Aku tidak pernah menyalahkan takdir dan kondisi ibuku yang kurang, sehingga dengan mudah dimanfaatkan orang lain. Ketika aku masih usia anak-anak, bullyan masyarakat tidak pernah aku gubris. Untuk apa meladeni kalimat mereka yang sering menyakitkan. Tidak ada gunanya.

Waktu aku usia anak-anak, nenek tidak pernah menceritakan latar belakang ibuku yang menjadi korban nafsu seorang tukang delman. Seiring berjalannya waktu, cara berpikirku pun telah berubah, nenek  dengan sangat hati-hati mulai mengajakku berbicara.

"Le, simbah mau ngomong sesuatu padamu, tapi kuharap kamu siap, tidak perlu emosi, atau berkecil hati. Ini masalah ibumu. Kini, saatnya dirimu mengerti masalah hidup, karena hidup itu kadang terasa pahit seperti bratawali, tapi itu akan menyehatkan bagi jiwa kita."

Aku mengernyitkan dahi, mencoba berpikir apa yang nenekku katakan. Nenek hanya tersenyum, seakan paham kebingunganku atas kalimatnya.

"Mbah, kok aku nggak paham ya maksud pembicaraan ini."

"He ... ya pelan-pelan saja, pahami apa yang mbah katakana ya, Le."

Sore yang cukup cerah. Langit pun belum berwarna merah. Di angkasa terlihat beberapa ekor burung terbang kembali ke sarang, menemui cintanya, setelah seharian mencari makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun