Ibu, seandainya kau mampu mengeja
Tuturmu tentu sudah menjadi goresan alinea
Peluhmu menjadi saksi
Kegigihanmu mengais rezeki
Meski  kau tak sama,
Senyummu adalah mutiara
Yang selalu  terpancar kemilau
Laksana sapa mentari setiap pagi
Kini, hanya lantunan doa dan puji
Tuk namamu yang selalu lekat di hati
Kalau boleh memilih, sebenarnya ingin sekali aku terlahir dari seorang ibu yang sempurna, seperti layaknya perempuan lain. Cantik,  menarik, dapat berbicara, pintar, lincah,  dan terhormat. Namun, apalah daya, ibuku hanyalah seorang  perempuan  desa, penampilan lugu, yang setiap hari bekerja sebagai  buruh tani dan kadang pemungut sampah.  Sri Lestari, nama ibuku,  berasal dari keluarga  buruh tani yang  sangat sederhana.
Aku terlahir dari rahim seorang perempuan yang berbeda secara fisik. Â Bukan cacat fisik yang terlihat oleh mata, tapi salah satu organ bicaranya tidak berfungsi dengan baik, sehingga kemampuan mendengarnya juga berkurang. Dalam berkomunikasi ibuku hanya mampu tersenyum saja. Senyum khas yang memiliki banyak arti.
Di wajahnya selalu tersungging senyuman. Tidak pernah ada suara yang terdengar dari mulutnya. Satu-satunya alat komunikasi hanyalah senyuman. Ya ... hanya sebuah senyuman. Mungkin orang yang belum mengenal, tidak paham  kondisi ibuku.
Meski dilahirkan oleh seorang perempuan yang tunawicara, tetapi fisikku normal. Saat ini seharusnya aku telah memasuki jenjang pernikahan, tapi setua ini belum ada perempuan yang sudi menerimaku. Entah, selalu saja nasib cintaku berantakan, meski di tengah masyarakat peranku pun tidak diragukan.
Sebagai ketua pemuda desa, tentu masyarakat luas sudah mengenalku. Namun, sayang sekali, setiap  aku mendekati perempuan, dia pun lari setelah mengetahui kondisi  dan latar belakangku. Salahkah diriku terlahir secara tidak wajar?
Aku tidak pernah menyalahkan takdir dan kondisi ibuku yang kurang, sehingga dengan mudah dimanfaatkan orang lain. Ketika aku masih usia anak-anak, bullyan masyarakat tidak pernah aku gubris. Untuk apa meladeni kalimat mereka yang sering menyakitkan. Tidak ada gunanya.
Waktu aku usia anak-anak, nenek tidak pernah menceritakan latar belakang ibuku yang menjadi korban nafsu seorang tukang delman. Seiring berjalannya waktu, cara berpikirku pun telah berubah, nenek  dengan sangat hati-hati mulai mengajakku berbicara.
"Le, simbah mau ngomong sesuatu padamu, tapi kuharap kamu siap, tidak perlu emosi, atau berkecil hati. Ini masalah ibumu. Kini, saatnya dirimu mengerti masalah hidup, karena hidup itu kadang terasa pahit seperti bratawali, tapi itu akan menyehatkan bagi jiwa kita."
Aku mengernyitkan dahi, mencoba berpikir apa yang nenekku katakan. Nenek hanya tersenyum, seakan paham kebingunganku atas kalimatnya.
"Mbah, kok aku nggak paham ya maksud pembicaraan ini."
"He ... ya pelan-pelan saja, pahami apa yang mbah katakana ya, Le."
Sore yang cukup cerah. Langit pun belum berwarna merah. Di angkasa terlihat beberapa ekor burung terbang kembali ke sarang, menemui cintanya, setelah seharian mencari makan.
Di ruang tengah yang dihiasi sebuah TV tabung berukuran delapan belas inchi dengan amben kecil di depannya beralas tikar pandan, biasanya simbah, Ibu, Bu Lek, dan aku duduk santai sambil menikmati teh hangat.
Kembali nenek yang sebenarnya tidak pintar menurutku, tapi cukup bijaksana mengajakku berbicara masalah Ibu. Aku melihat nenek begitu ragu memulai berbicara, mungkin perlu menata aksara agar tidak melukaiku.
"Le, ibumu terlahir sudah dalam kondisi bisu seperti itu. Jadi kamu nggak usah tanya detail, la wong simbah juga tahunya melahirkan kok. Seingatku, ketika mengandung Sri, nenek tidak berbuat neka-neka, juga tidak mbatin yang aneh-aneh. Namun setelah Sri lahir kok jadi bisu seperti itu.
Waktu itu kan belum banyak tenaga medis. Jadi melahirkan ya hanya dibantu dukun beranak saja. Yang penting lahir sehat, baik bayi maupun ibunya. Sudah itu yang paling penting."
Perempuan yang kulitnya mulai menampakkan keriput di seluruh tubuh itu kembali menghela napas panjang, seakan ada beban berat di hatinya. Aku tidak berani menyela semua kalimat yang disampikan. Kutunggu dengan sabar apa yang akan dikatakan nenek mengenai Ibu.
"Le, bagaimana pendapatmu jika seorang perempuan lugu diperkosa sampai melahirkan seorang anak?"
Pertanyaan nenek sungguh membuatku harus banyak berpikir, karena berkaitan dengan nurani dan moral.
"Maksud nenek gimana ya?"
"Ya, sudah, saya ceritakan sekalian saja, agar kamu ngerti jati dirimu. Ibumu itu sejak kecil sudah nggak bisa ngomong, eh, setelah besar kok ya malah diperkosa lelaki tidak bertanggung jawab. Sri itu diiming-imingi hal-hal sepele saban hari seperti makanan, ketika bekerja di sawah membantu nenek. Sampai hari naas itu tiba.
Jadi laki-laki itu sering nunggu Sri sampai selesai bekerja di sawah. Dengan rayuannya Sri diajak ke tempat yang sepi, mungkin bukan hanya sekali perbuatan itu dilakukan Manto, ya si kusir delman itu."
Aku menyimak kisah ibuku dengan tetap menahan rasa marah. Kukepalkan tanganku, ingin sekali rasanya meninju lelaki bernama Manto itu, meski dialah bapak biologisku.
"Kurang ajar!" kutinju amben yang kududuki sampai bersuara gemeretak.
Nenek tampak menoleh memperhatikanku yang mulai tersulut emosi. Tangan keriput itu kembali menenangkan dengan mengelus pundakku beberapa kali.
"Nenek tahunya Sri sudah telat tidak mendapatkan menstruasi beberapa bulan. La wong Sri kan diajak ngomong ya susah, hanya senyuman saja. Ternyata senyumannya mengandung banyak arti."
Benar-benar darah mudaku mendidih mendengar seluruh kisah hidup ibuku yang sangat tragis. Ingin sekali aku menangis di kakinya, mohon izin untuk membalaskan derita hidupnya. Namun nenek yang selama ini selalu menjadi tumpuan hidupku dan Ibu, telah mewanti-wanti agar tetap bersikap rendah hati, tidak sembrono, tabah, sabar dan ikhlas.
"Le, ibumu sampai detik ini pun tidak pernah dinikahi Manto. Sungguh dia lelaki yang tidak bertanggung jawab. Mungkin dia mendapat ancaman dari istrinya jika sampai menikahi Sri. Manto itu  sudah beranak dan istri. Entah apa yang mendorong dirinya hingga menodai Sri yang tidak mampu berkata-kata. Nafsu mengalahkan akal sehatnya."
Tak kuasa mendengar semua kisah ibuku, hingga bulir bening pun harus meleleh di kedua netraku. Aku tergugu dalam sendu, kudekati perempuan bisu itu dan kupeluk erat. Tangan perempuan itu mengelus lembut rambutku.
Seandainya mampu berkata, pastilah dia akan menguatkan hatiku. Kubiarkan air mataku meleleh di sebagian bahunya. Hangat pelukannya kurasakan sampai ke dasar hati. Kini, perempuan itu pun menumpahkan air matanya tepat di punggungku.
Ya, Allah, kenapa Kau gariskan hidupku dalam kisah yang kelam?
"Sudahlah, Le, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin memang garis hidup ibumu seperti itu. Kamu juga nggak perlu membenci Manto, karena bagaimana pun dialah yang menjadi bapakmu. Kamu tetap harus menghormatinya. Ambil sisi baiknya, jangan grusa-grusu."
Hari ini aku bertekad untuk menemui Manto bapakku, bukan untuk membalas dendam, tapi bersilaturahmi mengenalkan diri, karena selama ini belum pernah mengenal wajahnya. Aku hanya ingin minta doa restu agar segera mendapatkan jodoh seperti laki-laki lain.
Tiba-tiba saja hatiku merasa tidak tenang, saat akan menemui bapakku. Pertemuan dua insan yang sama-sama masih merasa asing.  Semoga  laki-laki yang kusebut bapak itu mau menerimaku sebagai anaknya meski tidak pernah mendapatkan kasih sayangnya.
Satu minggu setelah kutemui laki-laki yang kusebut Bapak, Ibu mengembuskan napas terakhir. Diamnya ternyata menyimpan sejuta rahasia. Sakit radang paru-paru yang dideritanya tidak pernah disampaikan pada nenek dan anggota keluarga lain. Kepergiannya yang tiba-tiba membuatku makin syok.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H