Aku sendiri sudah beberapa kali jatuh di depan musala karena tergelincir oleh lumut yang tumbuh di sebagian tanah itu. Beberapa saat kemudian, akhirnya aku pun merasa lega, melihat Ibu sudah sampai pintu masuk musala dengan  kondisi separoh baju basah.
Aku kembali masuk ke rumah, namun hatiku merasa tidak tenang. Rasa malasku untuk ke musala pun harus kukalahkan.  Sebenarnya aku malu sama Ibu, meski sudah sepuh, tetap semangat, sedangkan aku lebih muda, kuat, sering merasa berat oleh rasa malas. Dalam hati  aku malu juga sama Allah yang telah memanggilku untuk salat berjamaah, tapi selalu kuabaikan.  Â
Tidak tega melihat Ibu sendirian ke musala, aku pun segera mengambil mukena untuk salat bersama Ibu. Di dalam musala, Ibu sedang khusyuk berdoa sambil menanti ikamah. Usai salat, hujan juga belum reda. Kudekati Ibu, dan kuajak bicara.
"Bu, masih hujan, mau pulang atau tetap di sini saja?"
"Ibu di sini saja, menunggu salat asar sekalian. Kalau kamu mau pulang, ya pulanglah, sana."
Kulihat Ibu agak menggigil kedinginan. Bibirnya juga terlihat pucat. Mungkin bajunya yang basah sudah merembes ke kulit, hingga tangan dan kakinya terasa dingin.
Aku tidak tega melihat Ibu dalam kondisi yang demikian. Akhirnya  kubujuk untuk pulang dan ganti pakaian. Namun, perempuan itu bersikeras akan tetap di musala sambil menanti hujan reda. Tiba-tiba saja, listrik pun padam. Semua menjadi gelap.
Sekali lagi Ibu kubujuk agar segera pulang. Namun tetap menggeleng.
"Saya ambilkan baju ganti ya, Bu. Ini basah semua, dan nanti Ibu bisa masuk angin," bujukku padanya.
"Ya, sana ambilkan baju ganti saja. Ibu biar di sini, hujan juga belum reda."
Kutinggalkan perempuan yang rambutnya sudah memutih itu di musala. Secepatnya kuambil baju ganti  dan handuk serta minyak kayu putih untuk menghangatkan tubuh tua Ibu.