Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan dan Kenangan

24 Maret 2021   22:02 Diperbarui: 24 Maret 2021   22:09 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Harusnya aku tidak membenci hujan, karena tiap tetesnya merupakan anugerah terindah yang Allah titipkan.  Hujan bagiku bukan hanya merupakan sebuah kenangan, tapi juga penyesalan.

Aku terlahir lima bersaudara. Sebagai anak bungsu, aku tinggal bersama Ibu. Keempat saudaraku sudah menikah dan  tinggal di lain kota. Aku tinggal bersama Ibu,  menemaninya menghabisakan masa tua, setelah menjanda sekitar sepuluh tahun yang lalu.  Bapak meninggal karena sakit paru-paru.

Keempat saudara menitipkan Ibu padaku, karena dianggap mampu mengambil hatinya. Di rumah aku menekuni dagang online,  selain merawat Ibu. Sesekali keempat saudaraku menjenguk Ibu, saat liburan sekolah dan Idul Fitri.

Kunjungan terakhir, selain menjenguk Ibu, ternyata mereka berembug tentang masalah jodoh untukku. Sungguh aku sendiri merasa belum siap, jika harus menikah, karena  yang kupikirkan adalah Ibu. Dalam rembug keluarga itu mereka sepakat dalam waktu dekat menikahkan aku dengan kekasihku.

"Nduk, umurmu sudah cukup untuk menikah. Lagi pula Ibu semakin tua, jadi lebih baik kamu segera menikah. Jodoh kan sudah ada, tinggal mencari  waktu yang pas dan meresmikan."

"Ah, aku malah belum berpikir ke situ, Bu. Menikah kan nggak segampang membeli baju di toko. Dicoba, pas, ya sudah dibayar."

"Ibu mau ke mana, hujan-hujan begini?" tanyaku pada perempuan yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu, sebagai anak bungsu.

Di tangannya telah terbuka sebuah payung lipat lusuh yang selalu digunakan jika bepergian. Sementara itu, tangan kirinya memegang tas yang berisi mukena. Setelah terdengar azan salat zuhur dari musala samping rumah, Ibu bergegas ke musala untuk salat berjamaah. Tidak peduli kondisi apa pun.

 Dalam hati aku bangga mempunyai seorang Ibu yang on time ketika melaksanakan ibadah salat. Aku sendiri belum bisa mengikuti jejaknya. Selalu saja ada alasan yang kusampaikan, meski Ibu selalu mengingatkanku.

Ibu menjawab pertanyaanku sambil tetap melangkahkan kaki tuanya ke arah musala sebelah rumah. Namun jawabannya apa aku sendiri tidak begitu paham, karena  suaranya yang lemah, kalah dengan guyuran hujan yang begitu lebat. Hanya jari telunjuknya menunjukkan arah menuju musala. Kakinya melangkah cukup hati-hati menapaki halaman musala yang luas itu. Baju gamisnya yang panjang  telah basah oleh air hujan  yang turun bersama tiupan angin.

Aku mengamati perempuan itu sampai bayangannya menghilang. Ada sedikit rasa khawatir ketika memperhatikan  Ibu menyusuri jalan menuju musala, karena halamannya banyak ditumbuhi rumput dan lumut yang  tumbuh lebat  sehingga menjadi sangat licin. Apalagi sekarang sedang musim hujan.

Aku sendiri sudah beberapa kali jatuh di depan musala karena tergelincir oleh lumut yang tumbuh di sebagian tanah itu. Beberapa saat kemudian, akhirnya aku pun merasa lega, melihat Ibu sudah sampai pintu masuk musala dengan  kondisi separoh baju basah.

Aku kembali masuk ke rumah, namun hatiku merasa tidak tenang. Rasa malasku untuk ke musala pun harus kukalahkan.  Sebenarnya aku malu sama Ibu, meski sudah sepuh, tetap semangat, sedangkan aku lebih muda, kuat, sering merasa berat oleh rasa malas. Dalam hati  aku malu juga sama Allah yang telah memanggilku untuk salat berjamaah, tapi selalu kuabaikan.   

Tidak tega melihat Ibu sendirian ke musala, aku pun segera mengambil mukena untuk salat bersama Ibu. Di dalam musala, Ibu sedang khusyuk berdoa sambil menanti ikamah. Usai salat, hujan juga belum reda. Kudekati Ibu, dan kuajak bicara.

"Bu, masih hujan, mau pulang atau tetap di sini saja?"

"Ibu di sini saja, menunggu salat asar sekalian. Kalau kamu mau pulang, ya pulanglah, sana."

Kulihat Ibu agak menggigil kedinginan. Bibirnya juga terlihat pucat. Mungkin bajunya yang basah sudah merembes ke kulit, hingga tangan dan kakinya terasa dingin.

Aku tidak tega melihat Ibu dalam kondisi yang demikian. Akhirnya  kubujuk untuk pulang dan ganti pakaian. Namun, perempuan itu bersikeras akan tetap di musala sambil menanti hujan reda. Tiba-tiba saja, listrik pun padam. Semua menjadi gelap.

Sekali lagi Ibu kubujuk agar segera pulang. Namun tetap menggeleng.

"Saya ambilkan baju ganti ya, Bu. Ini basah semua, dan nanti Ibu bisa masuk angin," bujukku padanya.

"Ya, sana ambilkan baju ganti saja. Ibu biar di sini, hujan juga belum reda."

Kutinggalkan perempuan yang rambutnya sudah memutih itu di musala. Secepatnya kuambil baju ganti  dan handuk serta minyak kayu putih untuk menghangatkan tubuh tua Ibu.

Kumasukkan semua barang itu dalam plastik  kresek dan secepatnya menuju musala. Kuletakkan payung di serambi musala, dalam keadaan tetap terkembang.

Kuhampiri Ibu yang berada di dalam musala. Kulihat Ibu dalam keadaan tertidur masih mengenakan mukena.

Perlahan kucoba membangunkan perempuan itu. Beberapa kali panggilanku pada Ibu seakan tidak pernah didengarnya. Akhirnya kugoyangkan perlahan tubuh rentanya.

"Ibu ... Ibu ... ini baju gantinya serta handuk. Segera ganti baju, Bu, takut nanti masuk angin."

Aku mulai penasaran saat panggilanku tidak segera mendapat jawaban.

Kembali kubangunkan Ibu dengan hati-hati. Kutepuk-tepuk bagian pinggangnya dengan perlahan.

"Bu, ini baju gantinya. Saya bantu melepas dan memakai bajunya, ya."

Kedua netra Ibu terpejam. Tangan kanan dan kirinya disatukan menahan kepalanya. Tubuhnya meringkuk.

Kini hatiku mulai was-was melihat Ibu yang tidak seperti biasanya.

"Ibu ... Ibu ... bangun, dong.  Ganti pakaian biar tidak kedinginan," pintaku sekali lagi.

Kucoba mendekatkan jariku pada lubang hidungnya. Hatiku makin tidak karuan. Tidak ada tanda-tanda udara yang dihembuskan.

Kuraba tangannya, untuk memastikan denyut nadinya. Denyut nadinya sudah terasa lagi.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun."

Sesak rasa di dada, sulit untuk kuungkapkan. Perempuan renta itu kini telah dipanggil-Nya.

Semoga engkau tenang di sana, Bu, bisikku pelan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun