Entah mengapa sejak mengenal Fadli, aku lebih semangat mengikuti setiap jam kuliah. Tidak peduli hujan atau panas, di bangku dekat pohon flamboyan pun menjadi tempat favoritku bertemu dengannya.
Kampus bagiku kini seolah menjadi tempat bermain yang menyenangkan. Nilai ujianku pun tidak mengecewakan.
Ah, kok tiba-tiba aku merasa bahagia jika di sampingnya?
Seperti biasa, Fadli telah menungguku di bawah pohon flamboyan seperti janjinya setiap hari. Bangku panjang di dekat pohon selalu menjadi saksi bisu percakapanku dengannya. Namun kali ini, wajahnya terlihat sedikit murung. Tidak tega aku melihatnya, aku pun tak sabar menyapa.
"Tumben  tiba-tiba ada mendung. Apakah titik air akan segera menyapa?"
Fadli seakan menarik napas panjang, seolah memendam perasaan berat yang ingin segera dimuntahkan.
"Boleh aku bercerita?" tanya Fadli mengawali percakapanku setelah jam kuliah usai. Dia membiarkanku menyimak ceritanya sambil menikmati kue yang tadi sempat kubawa dari indekos.
"Silakan, aku siap mendengarkan, kok."
Fadli pun dengan sangat lancar menceritakan kondisi fisiknya yang sedikit lemah. Sejak kecil sudah terkena asma. Pengobatan rutin pun selalu dilakukan tidak pernah absen. Memasuki masa kuliah, karena terlalu lelah menyelesaikan tugas, kondisi fisiknya pun menurun.
Fadli tidak pernah menganggap serius kelelahan raganya. Hingga saat jam kuliah mulai padat dan tugas menumpuk, dia pun menuju ruang kuliah dengan sedikit sempoyongan dan sulit bernapas.
Sekuat tenaga ditahannya agar tidak jatuh, sampai jam kuliah berakhir. Â Malang sekali, keseimbangannya mulai goyah, sesak napas, dan udara yang dingin saat itu menyebabkan Fadli melewati tangga dengan susah payah.