Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Ibu

14 Maret 2021   13:13 Diperbarui: 14 Maret 2021   13:16 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi masih berselimut dingin. Kupaksakan keluar rumah bersama Si Merah sepeda motor bututku. Sepeda kulajukan ke salah satu ATM terdekat. Aku harus mengambil kiriman uang dari Bapak untuk membayar uang indekost. Akhir bulan ini habis masa sewa kamarku . Bu Tuti, sejak kemarin sudah menanyakan kelanjutan  sewa kost padaku.

"Ya, Bu. Saya akan memperpanjang sewa rumah ini," jawabku untuk menenangkan hati Bu Tuti agar tidak sering menanyaiku lagi.

Ibu indekost yang tergolong bawel di antara ibu indekost yang lain. Maklum saja, karena Bu Tuti masih menyekolahkan beberapa anak. Jadi dana yang masuk pasti akan segera digunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Sebenarnya aku takut juga jika harus pindah indekost. Sekarang nggak mudah mencari rumah untuk kost yang lingkungannya representatif.

Kuhentikan sepeda motor tepat di depan pintu ATM. Sepagi ini sudah banyak yang antre di depan ATM. Yang lebih mengherankan lagi, belum ada pukul enam, sudah ada peminta-minta.  Ini peminta-minta memang sengaja dipekerjakan atau bagaimana, entahlah?

Seorang perempuan dengan pakaian cukup lusuh. Wajahnya cenderung kotor. Perempuan berumur sekitar lima puluh tahun itu dengan wajah memelas menadahkan kedua tangannya kepada setiap orang yang ingin bertransaksi di ATM. Sebagian memberi beberapa uang logam atau lembaran seribu atau dua ribu.

Agak lama aku mengantre di depan ATM. Kuperhatikan perempuan berwajah kotor itu mirip sekali dengan wajah Ibuku. Aku sempat kaget juga. Tak sanggup aku melihatnya. Segera kurogoh beberapa lembar uang lima ribuan, dan kuserahkan padanya. Tubuhnya membungkuk beberapa kali sebagai ucapan terima kasih. Mataku tak berkedip mengikuti langkahnya.

Jujur, aku ingin menangis keras  saat melihat wajahnya, tetapi sekuat tenaga kutahan. Malu pada orang-orang yang sedang berbaris mengular di depan ATM. Beberapa menit berlalu, dan kini giliranku untuk memasuki sebuah kotak berkaca yang mampu mengeluarkan uang sesuai permintaan itu.

Kupercepat transaksi di ATM, segera kutinggalkan mesin penghasil uang itu. Aku ingin segera sampai di rumah indekost. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin menangis. Sedih melihat perempuan di depan ATM tadi. Wajah Ibu, tiba-tiba saja muncul dalam benakku. Wajah yang selalu murah senyum, meski tubuhnya terlihat lelah setelah seharian bekerja. Sayang sekali, wajah yang selalu murah senyum itu kini tinggal kenangan.

Kubenamkan wajah ke bantal.  Kutumpahkan rasa sesal dan sedih  yang menumpuk. Kubuka kembali memori lima tahun yang lalu. Waktu itu, aku masih SMP. Bapak dan Ibu sering bertengkar. Setiap terjadi pertengkaran, anak-anak pasti mendengar makian yang sungguh tidak layak didengar. Makian dari Bapak yang memang bertipe keras hampir tiap hari terdengar. Malu sebenarnya pada tetangga. Selain makian, Ibu juga mendapat perlakuan kasar. Pukulan  di wajah dan bagian tubuh lain sudah biasa dirasakan Ibu.

"Pak, mbok sudah. Kasihan Ibu, tiap hari mendapat omelan dan pukulan," kataku mengingatkan Bapak yang kalap.

"Kamu tuh tahu apa! Masih anak-anak nggak usah ikut campur urusan orang tua. Kamu itu tugasnya sekolah, nggak usah sok pintar menggurui Bapak!" jawab Bapakku tidak mau menerima usulanku.

Jika Bapak sudah naik pitam seperti itu, aku dan saudara-saudaraku hanya diam, tetapi tidak tega melihat perlakuan  kasar yang dialamatkan ke Ibu. Ingin membela Ibu, malah dimarahi Bapak.

Ibu, perempuan desa yang lugu, hanya  terlihat diam, tetapi gigih mencari rezeki. Selain itu, Ibu membantu Bapak mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan berjualan kecil-kecilan di rumah. Perlakuan demi perlakuan yang diterima dari Bapak membuat Ibu justru makin kuat. Ibarat tanah, semakin diinjak-injak maka akan semakin keras.

Sampai aku dewasa seperti sekarang ini, ada sedikit rasa takut memiliki pacar. Takut seandainya nanti diperlakukan seperti Ibu. Mungkin ini terlalu berlebihan, tetapi pengalaman telah mengajarkanku untuk lebih berhati-hati dalam memilih calon pendamping hidup.

"Nduk, tolong belikan obat  sakit kepala di warung sebelah. Kepala Ibu rasanya nyut-nyutan," perintah Ibu padaku hampir setiap hari.

Biasanya Ibu minum obat sakit kepala yang dijual bebas,  seminggu sampai beberapa kali. Aku menjadi khawatir, jangan-jangan nanti kebal terhadap obat. Jika tidak membeli obat yang berupa puyer, kepala Ibu diikat dengan selendang ukuran kecil yang biasa untuk membedong bayi. Mungkin dengan cara seperti itu akan mengurangi rasa sakit kepalanya.

"Bu, mbok jangan sering mengkonsumsi obat sakit kepala. Tidak baik lho," kataku suatu hari.

"Aduh kepala Ibu hampir setiap hari pusing, Na. Jika tidak diobati tambah sakit dan tidak dapat bekerja."

Kupikir karena Ibu hampir setiap hari mendapat perlakuan kasar dari Bapak seperti ditempeleng, sehingga kepalanya ada gangguan.

Pagi ini, tiba-tiba aku merasa sangat rindu  dengan perempuan yang telah melahirkanku. Rindu untuk menemuinya meski dalam mimpi. Meski kini sudah berbeda alam, tetapi belaian sayangnya nggak mungkin terlupa. Perempuan yang telah mengajarkanku untuk tetap tegar, meski badai kian banyak menerpa. Tetap tenang meski dalam lautan gelombang, itulah Ibu.

Kuraih foto keluarga yang terpampang di dinding kamar indekostku. Terlihat wajah Ibu yang teduh, meski sebenarnya hatinya banyak terluka.

"Na, meski Bapakmu sering melukai Ibu, tapi kau harus tetap hormat padanya. Kau ada di dunia ini,  karena dia. Bapakmu memang begitu orangnya, tetapi sebenarnya baik hatinya," kata Ibu ketika aku sering protes terhadap perlakuan Bapak yang kasar terhadap Ibu. Sebagai anak, wajar jika tidak setuju dengan sikap Bapak.

Ah, Ibu. Terlalu mulia hatimu. Terbuat dari apakah hatimu, hingga begitu mudah memaafkan Bapak yang setiap hari memberikan tanda luka di tubuh," bisikku dalam hati.

Malam hari, entah karena terlalu lelah, aku pun bermimpi bertemu dengan almarhumah Ibu. Saat itu, Ibu sedang duduk santai di teras rumah.  Baju favorit yang dikenakan Ibu, gamis hijau motif bunga. Seperti biasa setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, Ibu memanggilku.

Aku mendekat, dan layaknya seperti ibu-ibu lain, beliau pun memberikan beberapa nasihat sebagai pedoman hidupku kelak.

"Na, jadi perempuan itu harus mandiri, tegar, punya prinsip. Jangan mudah terombang-ambing oleh keadaan. Ibu membelai rambutku yang panjang sebahu. Aku bergelayut di bahunya. Bahu kokoh yang sering dilukai Bapak, tetapi tidak pernah rapuh. Ibu memang perempuan istimewa di hatiku.

Air mataku mengalir. Mungkin merasa trenyuh mendengar nasihatnya. Tiba-tiba saja, Ibu menghilang entah ke mana perginya. Kupanggil-panggil namanya, namun tetap saja tidak ada sahutan.

"Ibu ... Ibu ... di manakah engkau?"

Berkali-kali panggilanku tanpa sahutan. Aku pun merasa sedih, karena ada sesuatu yang hilang. Rasa hangat dan kasih sayang itu sirna. Bersamaan dengan suara rintik hujan yang makin deras, aku pun terbangun.

Ah, ternyata hanya sebuah mimpi. Maafkan aku Ibu, yang jarang menjengukmu. Mungkin aku bukan tipe anak yang baik. Aku kurang berbakti padamu, keluhku dalam hati.

Tidak ingin terlalu tersiksa oleh perasaanku yang sedang labil,  kuputuskan segera pulang. Minggu ini, saat jadwal kuliah tidak begitu padat, aku sengaja pulang ke rumah ingin berkunjung ke pusara Ibu. Ditemani Bapak, kulangkahkan kakiku ke makam Ibu. Rasanya mimpi beberapa hari yang lalu itu sebagai perlambang bahwa aku harus menemui Ibu.

Pusara yang kini ditumbuhi rumput liar makin membuat hatiku sedih. Kucabuti rumput itu, meski belum seluruhnya hilang. Perlahan kusiramkan air dan campuran bunga mawar serta kenanga di gundukan tanah yang kini terlihat lebih hitam.

Bapak memperhatikanku sejak awal. Mungkin ikut merasakan apa yang kini tersembunyi di hatiku.

"Nduk, kok kamu terlihat sedih sejak pulang dari kampus. Ada masalah? Atau beban kuliahmu yang belum kelar?"

Aku hanya menggelengkan kepala.

Tak lama berselang, aku pun harus bicara, takut  Bapak penasaran terhadap sikapku.

"Nana kemarin bermimpi Pak. Ibu menemui Nana."

"Terus, Ibumu terlihat bagaimana, atau membicarakan apa, saat bertemu denganmu?"

"Ya menasihati Nana, Pak."

"Hm ...."

Aku dan Bapak segera merampungkan  dalam membersihkan makam Ibu. Ada rasa sesal sekaligus bahagia ketika dapat menyisihkan sedikit waktu untuk menyapa Ibu. Sesal karena belum mampu berbakti, dan bahagia saat dapat mendoakannya.

Kubuka buku surat Yasin  yang sedari tadi kuletakkan di dalam tas punggungku. Pelan mulai kubaca. Larik demi larik surat itu membuatku makin tak sanggup menahan deraian air mata. Teringat wajah Ibu yang dulu rajin mengajariku mengaji Iqra setiap pulang sekolah atau malam hari dengan gaya khasnya. Bapak terlihat khusyuk berdoa. Doa untuk perempuan spesial yang dulu banyak dilukainya. Aku yakin, di lubuk hati terdalam, Bapak merasa kangen dengan segala kebersamaan yang telah tercipta bersama Ibu.

Beberapa saat aku dan Bapak hanyut dalam sepi, terlena dalam balutan angan, doa dan harapan. Sekuntum bunga kamboja warna pink jatuh tepat di atas buku Yasinku, yang membuatku  sangat terkejut. Kudongakkan wajahku ke arah pohon kamboja itu. Bunga yang khas ditanam di area makam, seakan memberikan pesan.

"Nduk, sudah sore. Ayo kita pulang. Tuh langit sudah nampak mendung."

"Ya, Pak. Sebentar lagi, saya masih kangen dengan Ibu sebenarnya, tapi ...."

"Besuk lagi kita masih bisa ke sini, Nduk. Sekarang kita pulang dulu."

"Ya, sudahlah, Pak.

Bapak menggandeng tanganku keluar makam. Dalam hati aku berjanji akan selalu mengunjungi makam Ibu untuk mengurai rasa kangen yang selalu mendera.

Maafkan aku, Bu jika kurang mempedulikanmu. Kini kusadari, bahwa hadirmu lebih berarti bagiku walau hanya dalam mimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun