"Nduk, kok kamu terlihat sedih sejak pulang dari kampus. Ada masalah? Atau beban kuliahmu yang belum kelar?"
Aku hanya menggelengkan kepala.
Tak lama berselang, aku pun harus bicara, takut  Bapak penasaran terhadap sikapku.
"Nana kemarin bermimpi Pak. Ibu menemui Nana."
"Terus, Ibumu terlihat bagaimana, atau membicarakan apa, saat bertemu denganmu?"
"Ya menasihati Nana, Pak."
"Hm ...."
Aku dan Bapak segera merampungkan  dalam membersihkan makam Ibu. Ada rasa sesal sekaligus bahagia ketika dapat menyisihkan sedikit waktu untuk menyapa Ibu. Sesal karena belum mampu berbakti, dan bahagia saat dapat mendoakannya.
Kubuka buku surat Yasin  yang sedari tadi kuletakkan di dalam tas punggungku. Pelan mulai kubaca. Larik demi larik surat itu membuatku makin tak sanggup menahan deraian air mata. Teringat wajah Ibu yang dulu rajin mengajariku mengaji Iqra setiap pulang sekolah atau malam hari dengan gaya khasnya. Bapak terlihat khusyuk berdoa. Doa untuk perempuan spesial yang dulu banyak dilukainya. Aku yakin, di lubuk hati terdalam, Bapak merasa kangen dengan segala kebersamaan yang telah tercipta bersama Ibu.
Beberapa saat aku dan Bapak hanyut dalam sepi, terlena dalam balutan angan, doa dan harapan. Sekuntum bunga kamboja warna pink jatuh tepat di atas buku Yasinku, yang membuatku  sangat terkejut. Kudongakkan wajahku ke arah pohon kamboja itu. Bunga yang khas ditanam di area makam, seakan memberikan pesan.
"Nduk, sudah sore. Ayo kita pulang. Tuh langit sudah nampak mendung."