Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Benda Antik

23 Februari 2021   09:24 Diperbarui: 23 Februari 2021   09:41 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bu, cari duit sekarang ini susahnya bukan main! Dagang juga sepi, pasar hanya banyak orang, jarang yang beli daganganku. Kamu harus sabar dan nrima, ya, Bu. Gara-gara corona, semua jadi kena imbasnya!" keluh Mas Ishak, suamiku, pagi itu sambil membereskan beberapa barang dagangannya yang agak berantakan.

Aku melihat wajah suamiku begitu mendung. Beban hidup yang makin terasa setelah corona melanda seluruh negeri, membuatnya makin terlihat lebih tua. Rambut putih tampak makin merata di seluruh kepalanya.

Aku membantu membereskan beberapa barang dagangannya yang sebentar lagi akan dibawa ke pasar.

Sebagai istri, aku harus dapat menenangkan suamiku yang selalu galau dan kurang bersyukur atas rezeki dari Allah. Sebenarnya, aku pun sudah muak mendengar semua keluhannya setiap hari. Entah masalah pasar, barang dagangan, atau kejadian-kejadian selama dia bekerja. Namun, telinga dan hatiku masih muat untuk mendengarkan semua keluh kesahnya. Mungkin dengan mendengar semua keluhan akan sedikit meringankan beban yang ada di pundaknya.

"Yang sabar, Mas. Mungkin besok Allah akan berikan rezeki yang lebih banyak. Aku juga berusaha sabar dan nrima, kok. Hm ... sebenarnya kita juga sudah diberi rezeki yang tidak terkira, lho, Mas. Hanya saja kadang terlupakan. Rezeki toh bukan hanya uang, materi, ya, 'kan, Mas? Kita sehat, tidak sakit itu kan juga rezeki yang tidak terkira, tapi sering dilupakan."

Mas Ishak menatapku tajam. Mata yang dahulu terlihat teduh, kini seakan sirna ditelan pergolakan hidup.

"Hah, sok bijak!" protes Mas Ishak seakan tidak mau mendengarkan pernyataanku sambil mengeloyor pergi.

"Jangan begitulah, Mas. Nanti jika banyak mengeluh, Allah akan mencabut nikmat yang telah diberikan, lho."

Suamiku memang tipe lelaki yang selalu tergiur omongan teman-temannya. Pergaulannya pun selalu memilih komunitas orang kaya. Jadi pantas saja jika selalu membandingkan apa yang didapatnya dengan kenikmatan pada orang lain.

Sepuluh tahun yang lalu, Mas Ishak menikahiku. Aku kenal dengannya karena dahulu indekos di rumah saat masih bujang. Kedekatanku mulai tampak setelah melihat Mas Ishak berkepribadian cukup baik, sederhana, dan bertanggung jawab. Dia berdagang barang seken dan antik di pasar. Selain itu, sering ngobyek lain, apa saja asal menjadi uang. Pernikahanku dengan Mas Ishak sudah dikaruniai seorang anak laki-laki, masih kelas tiga sekolah dasar.

Aku dan Mas Ishak menempati rumah warisan orang tuaku, dekat dengan indekosnya dahulu. Memang orang tuaku memiliki beberapa tanah yang dibangun rumah dan sengaja disewakan karena melihat peluang cukup bagus. Apalagi, harga tanah tidak pernah turun, bahkan selalu melambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun