Aku dan Wina segera membersihkan bagian-bagian rumah itu. Banyak noda kotor, debu, dan beberapa bagian tidak berfungsi baik, seperti lampu, tegel lantai yang agak pecah. Aku segera membenahi semuanya, mengingat keesokan hari  harus segera bekerja lagi.
Sehabis salat magrib, tubuhku terasa lelah sekali. Wina memijitku. Kulihat wajahnya begitu sayu, mungkin juga kecapaian.
"Win, tidur saja, yuk. Aku capai banget. Eh, tapi nanti setelah salat Isya sekalian saja. Takut malam malah nggak dapat bangun, jadi hutang salat."
Setelah salat Isya, Wina segera menyusulku ke tempat tidur. Ruangan berukuran tiga kali tiga meter bercat putih  itu terasa dingin, mungkin karena rumah kuno.
Belum ada setengah jam, ada suara seperti kuda berlarian, berpacu, dari arah dapur. Tubuhku yang sudah lelah, dan mata yang tidak sanggup lagi kubuka, membuatku tidak menghiraukan lagi suara aneh itu.
Wina berkali-kali membangunkanku ketika suara itu terdengar kembali, tetapi berat sekali tubuhku kugerakkan. Akhirnya dia hanya mampu menutupi telinganya dengan selimut tebal  yang digunakan. Matanya sulit terpejam hingga pagi.
Tengah malam, kira-kira pukul dua dini hari, kembali terdengar suara orang merintih di sebelah  kamar tidur. Suara itu makin lama makin terdengar pilu. Suara itu seakan meminta bantuan untuk dikasihani.
"Mas, kau dengar suara itu?" tanya Wina sambil merapatkan tubuhnya ke tubuhku.
"Ya, suara perempuan itu, kan?"
"Aku takut sekali, Mas."
"Sudah berdoa saja semampumu. Aku yakin jika mereka tidak mengganggu kita."