"Ya, Mas. Semoga Bapak dan Ibu ikhlas melepas kita untuk belajar mandiri. Kita kan juga nanti akan sering berkunjung ke rumah Bapak."
Saat liburan berikutnya, Wina kuajak matur pada Bapak dan Ibu tentang rencana membeli rumah untuk ditempati. Meski hanya rumah sederhana, karena kemampuan finansialku yang terbatas, tetapi ada rasa puas dan bahagia mampu mewujudkan keinginan istri tercinta.
Bapak dan Ibu mulanya kaget juga dengan rencanaku, tetapi akhirnya memakluminya. Bahkan Bapak dan Ibu memberikan doa, semoga kerasan, dan betah menempati rumah baru tersebut. Betapa bahagianya hatiku dan Wina mendapat restu dari orang tua. Bapak dan Ibu pun menawarkan diri untuk ikut mengantarkanku pindahan ke rumah tersebut.
"Oh, ya Ton, jangan lupa mengajak Mas Nuri untuk memimpin doa dan baca surat Yasin," pinta Bapak sehari menjelang pindahan rumah.
"Ya, Pak. Nanti Mas Nuri akan saya hubungi."
Tepat dengan tanggal lahirku, aku  pun pindahan. Aku menyewa dua truk untuk  membawa barang-barangku.
Tetangga dekat menyalamiku dan mendoakan. Ada rasa sedih ketika meninggalkan tetangga-tetanggaku  yang selalu bersikap baik pada keluargaku. Namun jalinan silaturahmi akan tetap terjaga. Aku  berjanji secara berkala akan mengunjungi Bapak dan Ibu serta para tetangga dekat.
Barang-barang bawaanku segera ditempatkan di rumah itu. Meja, Â kursi, lemari, kulkas, dan beberapa perabot lain sudah cukup memenuhi ruang rumah berukuran sedang itu. Rumah kuno yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya, karena anak-anaknya semua pergi ke kota.
Selamatan sederhana pun dilakukan. Mas Nuri memimpin doa dan bacaan surat Yasin. Menjelang asar, acara pindahan dan selamatan itu purna. Bapak dan Ibu segera minta pamit. Aku dan Wina melepas dengan rasa haru.
"Jangan lupa, Ton, Bapak dan Ibu sering dikunjungi. Jika ada apa-apa kabari Bapak, ya!"
Aku tidak sanggup menjawab kalimat yang terlontar dari mulut Bapak, hanya menunduk penuh dengan rasa tawadu.