Jeritan Painah begitu keras hingga Parmin yang sedang bertafakur pun segera menemuinya.
"Ana apa, Nduk kok bengak-bengok?"
"Nika Kang, putih-putih caket wit pelem," kata Painah sambil menutupi mukanya karena takut.
"Halah, endi to. Ora ana apa-apa kok, wes lek wes tak tunggoni."
Bayangan putih berupa pocong itu sudah menghilang, mungkin karena kaget juga dengan teriakan Painah baru saja.
Hari berikutnya, seperti biasa Parmin dan Painah bangun lebih awal. Saat Painah akan wudu dan ke kamar kecil, kembali terlihat bayangan putih seperti kemarin, tetapi saat ini berada di bawah pohon kelengkeng. Bayangan putih itu bukan hanya sendirian, tetapi berdua.
Painah kini kembali berteriak minta tolong. Parmin mendekati istrinya sambil membawa sebilah kapak yang biasa digunakan untuk mencari kayu.
Parmin pun keluar rumah dan mencari kedua pocong itu.
"Neng endi poconge, kene tak udel-udele," ancam Parmin dengan emosi sambil mengacungkan alat  pencari kayunya.
Mendengar ancaman Parmin pocong itu pun segera menghilang.
Hari berikutnya, terjadi peristiwa yang hampir sama. Istri Parmin pun kembali dengan jurus mautnya, berteriak minta tolong. Di belakang rumah terdapat tiga pocong di tempat yang berbeda.