Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hantu Nakal

17 Oktober 2020   06:54 Diperbarui: 17 Oktober 2020   07:13 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tersebutlah Parmin, lelaki pencari kayu bakar yang selalu giat bekerja. Lelaki dengan postur gagah dan tegap serta kekar itu hampir tidak pernah mengenal kata lelah. Dari pagi hingga sore hari, dia sibuk dengan pekerjaannya. Hari-hari yang dimilikinya hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Lelah dan letih sudah menjadi irama hidupnya, tetapi tidak pernah dipikirkannya.

Hasil kayu yang didapatkannya dijual dan ditukarkan dengan bahan makanan. Kadang dia juga membawa oleh-oleh pesanan dari anaknya.

Jika malam tiba, lelaki yang sudah beranak istri itu pun langsung menuju peraduannya. Dia sangat sadar bahwa esok masih banyak perjuangan yang belum usai untuk mencarikan nafkah bagi keluarganya.

Tengah malam, kadang dia terjaga. Setelah bangun tidur, dia pun selalu melihat ke atas dari salah satu bagian rumahnya. Langit selalu dipandanginya dengan kagum, sekaligus bersyukur pada sang pencipta karena masih diberi kesempatan untuk menghirup udara pagi. Istrinya lalu dibangunkan juga.

"Nduk, tangi, iki wayahe nyeyuwun."

Painah, istrinya sesaat kemudian bangun, dan ingin ke belakang untuk wudu dan buang air kecil.

Di belakang rumah ada sebatang pohon mangga dan kelengkeng yang agak besar. Menurut Mbah Suro, nenek dari Parmin, pohon itu sudah teramat kuno. Bahkan banyak kejadian aneh di sekitar kedua pohon itu.

Pintu dapur yang berdekatan dengan kamar kecil memang hanya berupa bambu sehingga  memungkinkan selalu melihat belakang rumah.

Parmin juga pernah mendengar cerita horor dan misteri tentang pohon yang  katanya berpenghuni tersebut, tetapi tidak pernah digubris. Baginya, yang penting tidak saling mengganggu, karena mempunyai alam yang berbeda.

Painah menuju kamar kecil yang berdekatan dengan kedua pohon tersebut. Pada saat akan membuka pintu kamar kecil, dilihatnya sesosok bayangan putih yang sedang berdiri di dekat pohon mangga. Tentu saja Painah menjadi terkejut dan sempat menjerit.

"Kang ...!"

Jeritan Painah begitu keras hingga Parmin yang sedang bertafakur pun segera menemuinya.

"Ana apa, Nduk kok bengak-bengok?"

"Nika Kang, putih-putih caket wit pelem," kata Painah sambil menutupi mukanya karena takut.

"Halah, endi to. Ora ana apa-apa kok, wes lek wes tak tunggoni."

Bayangan putih berupa pocong itu sudah menghilang, mungkin karena kaget juga dengan teriakan Painah baru saja.

Hari berikutnya, seperti biasa Parmin dan Painah bangun lebih awal. Saat Painah akan wudu dan ke kamar kecil, kembali terlihat bayangan putih seperti kemarin, tetapi saat ini berada di bawah pohon kelengkeng. Bayangan putih itu bukan hanya sendirian, tetapi berdua.

Painah kini kembali berteriak minta tolong. Parmin mendekati istrinya sambil membawa sebilah kapak yang biasa digunakan untuk mencari kayu.

Parmin pun keluar rumah dan mencari kedua pocong itu.

"Neng endi poconge, kene tak udel-udele," ancam Parmin dengan emosi sambil mengacungkan alat  pencari kayunya.

Mendengar ancaman Parmin pocong itu pun segera menghilang.

Hari berikutnya, terjadi peristiwa yang hampir sama. Istri Parmin pun kembali dengan jurus mautnya, berteriak minta tolong. Di belakang rumah terdapat tiga pocong di tempat yang berbeda.

Sejak malam hari, Parmin ternyata sudah menyiapkan beberapa peralatan kayunya untuk menghadapi pocong-pocong tersebut.

Parmin keluar rumah dan mengacung-acungkan beberapa alat kerjanya. Kali ini pocong-pocong itu agak bandel, meski diancam, mereka tidak menghilang.

"Awas, ya, kowe ki, pancen kok, senenegane nggodha wong wae, ora nduwe gaweyan liya po?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun