Tersebutlah Parmin, lelaki pencari kayu bakar yang selalu giat bekerja. Lelaki dengan postur gagah dan tegap serta kekar itu hampir tidak pernah mengenal kata lelah. Dari pagi hingga sore hari, dia sibuk dengan pekerjaannya. Hari-hari yang dimilikinya hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Lelah dan letih sudah menjadi irama hidupnya, tetapi tidak pernah dipikirkannya.
Hasil kayu yang didapatkannya dijual dan ditukarkan dengan bahan makanan. Kadang dia juga membawa oleh-oleh pesanan dari anaknya.
Jika malam tiba, lelaki yang sudah beranak istri itu pun langsung menuju peraduannya. Dia sangat sadar bahwa esok masih banyak perjuangan yang belum usai untuk mencarikan nafkah bagi keluarganya.
Tengah malam, kadang dia terjaga. Setelah bangun tidur, dia pun selalu melihat ke atas dari salah satu bagian rumahnya. Langit selalu dipandanginya dengan kagum, sekaligus bersyukur pada sang pencipta karena masih diberi kesempatan untuk menghirup udara pagi. Istrinya lalu dibangunkan juga.
"Nduk, tangi, iki wayahe nyeyuwun."
Painah, istrinya sesaat kemudian bangun, dan ingin ke belakang untuk wudu dan buang air kecil.
Di belakang rumah ada sebatang pohon mangga dan kelengkeng yang agak besar. Menurut Mbah Suro, nenek dari Parmin, pohon itu sudah teramat kuno. Bahkan banyak kejadian aneh di sekitar kedua pohon itu.
Pintu dapur yang berdekatan dengan kamar kecil memang hanya berupa bambu sehingga  memungkinkan selalu melihat belakang rumah.
Parmin juga pernah mendengar cerita horor dan misteri tentang pohon yang  katanya berpenghuni tersebut, tetapi tidak pernah digubris. Baginya, yang penting tidak saling mengganggu, karena mempunyai alam yang berbeda.
Painah menuju kamar kecil yang berdekatan dengan kedua pohon tersebut. Pada saat akan membuka pintu kamar kecil, dilihatnya sesosok bayangan putih yang sedang berdiri di dekat pohon mangga. Tentu saja Painah menjadi terkejut dan sempat menjerit.
"Kang ...!"