Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jurus Berutang

31 Juli 2020   12:07 Diperbarui: 31 Juli 2020   14:17 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang sangat dingin. Sejak awal bulan nampaknya musim kemarau mulai menyapa. Siang terasa menyengat, malam pun sedingin air yang keluar dari lemari pendingin.  

Dengan berjaket tebal, dan tas punggung yang siap diangkat Sri, pagi itu masih tersisa sekitar dua puluh lima menit sebelum batas waktu presensi, tetapi dari pintu depan  terdengar suara seorang perempuan mengucapkan kula nuwun.

"Huh, siapa sih pagi-pagi kok bertamu? Bisa terlambat nih ke kantornya," gerutu Sri dalam hati.

Nurani dan rasional sungguh tidak sinkron, tetapi mau tak mau Sri harus tetap membukakan pintu.

Kembali suara seorang perempuan terdengar, kali ini sebuah salam diucapkan.

Dari dalam rumah, Sri menjawab dengan suara keras.

"Waalaikum salam warahmatullah...."

Seorang perempuan berkerudung,  berperawakan gemuk, dengan kaki yang agak diseret ketika berjalan, akhirnya dipersilakan masuk.

"Semoga tidak lama," batin Sri berucap.

"Mangga pinarak nglebet," ajakku pada perempuan itu yang ternyata temanku waktu SD, tetapi sekarang banyak perubahan pada fisiknya.

"Nyuwun pangapunten ngganggu penjenengan, Mbak. Tasih tepang kalih kula boten, nggih?" sapanya ketika kupersilakan duduk.

"La tasih banget. Dhewe lak pun nate sekelas pas SD," timpalku menyambung sapaannya.

Perempuan yang bernama Marti memang pernah sekelas denganku ketika bersekolah SD, tetapi lama tidak terdengar kabarnya. Tahu-tahu ya sekarang ini, bertamu pagi-pagi dan pasti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Ketika SD hampir teman sekelas semua akrab denganku, bukan hanya yang sebangku. 

Bahkan nama bapak, ibu, dan saudaranya pun hampir semua saling mengerti. Kami juga sering bermain di salah satu rumah teman sepulang sekolah, kadang bergiliran, hari ini di rumah A, besuk di rumah B. 

Ada saja acara yang dibuat, ternyata sampai sekarang kenangan itu membekas di hati. Senangnya  waktu itu, yang tahunya hanya bermain, tertawa, dan tidak memikirkan kebutuhan hidup.

"Mbak, nyuwun pangapunten, estune kula sowan mriki badhe onten perlu sekedhik," kata Marni memulai percakapan inti.

"Sae to, Mbak kabaripun panjenengan? Pripun Mbak, onten perlu napa kok ndingaren tindak mriki?"

"Ngeten, Mbak, kula niku lak sakit pun rada dangu, niki sakit gula," kata Marti sambil menunjukkan kakinya yang memang agak beda.

"Lajeng?"

"Nggih kula niki sowan mriki namung badhe nyuwun tulung ngampil arta, kangge ngobatke. Niki saben wulan kedah ngobatke."

"Oh ngoten."

Pikiranku kemudian tertuju pada suamiku. Aku ingin meminta pendapatnya tentang Marti ini benar nggak, barangkali suamiku tahu informasi tentangnya lebih banyak. Biasanya meski uangku sendiri yang kuberikan, aku pasti minta pendapatnya.

"Sekedhap, nggih, Mbak."

Aku meminta diri untuk ke belakang menemui suamiku yang kebetulan belum berangkat kerja.

"Mas, gimana, nih, dia minta pinjaman uang?"

"Ya sudah kasih saja, seikhlasmu, tapi jangan berharap dia mengembalikan. Sudah beri saja semampumu," kata suamiku tegas.

"Ya, baiklah."

"Mbak, nyuwun pangapunten, niki kok kula sagete namung ngaturi sementen, pun teka diasta mawon, mugi gerahipun enggal mantun," kataku sambil memberikan sejumlah uang.

Memang sudah beberapa kali suami maupun aku sering mendapat tamu yang sebenarnya ingin menipu dengan dalih bermacam-macam alasan.

Kali ini aku juga yakin mendapatkan tamu semacam itu. 

Namun suamiku sering mengatakan, hal yang membuatku tidak membebaniku meski ditipu orang dengan sejumlah uang.

"Rasah dipikir, la wong dhewe diparani lak ya berarti dheweke ki gek butuh dhuwit."

Kupikir benar juga, terserahlah mau menipu atau tidak itu menjadi urusannya dengan yang Kuasa.

Beberapa hari kemudian, seorang Bapak yang kukenal baik bertemu denganku dan memberitahu bahwa Marti itu memang suka membuat alasan yang sangat masuk akal untuk menipu orang lain. Di daerah tempat tinggalnya sudah beberapa orang yang menjadi korban.

"Pintar juga dia membuat jurus agar orang masuk ke lubangnya," batinku sambil mengelus dada.

"Sadar dong, Mar! Kamu sudah berumur, kasihan  dirimu dan sisa umur yang kau sia-siakan untuk perbuatan yang tidak benar!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun