"La tasih banget. Dhewe lak pun nate sekelas pas SD," timpalku menyambung sapaannya.
Perempuan yang bernama Marti memang pernah sekelas denganku ketika bersekolah SD, tetapi lama tidak terdengar kabarnya. Tahu-tahu ya sekarang ini, bertamu pagi-pagi dan pasti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Ketika SD hampir teman sekelas semua akrab denganku, bukan hanya yang sebangku.Â
Bahkan nama bapak, ibu, dan saudaranya pun hampir semua saling mengerti. Kami juga sering bermain di salah satu rumah teman sepulang sekolah, kadang bergiliran, hari ini di rumah A, besuk di rumah B.Â
Ada saja acara yang dibuat, ternyata sampai sekarang kenangan itu membekas di hati. Senangnya  waktu itu, yang tahunya hanya bermain, tertawa, dan tidak memikirkan kebutuhan hidup.
"Mbak, nyuwun pangapunten, estune kula sowan mriki badhe onten perlu sekedhik," kata Marni memulai percakapan inti.
"Sae to, Mbak kabaripun panjenengan? Pripun Mbak, onten perlu napa kok ndingaren tindak mriki?"
"Ngeten, Mbak, kula niku lak sakit pun rada dangu, niki sakit gula," kata Marti sambil menunjukkan kakinya yang memang agak beda.
"Lajeng?"
"Nggih kula niki sowan mriki namung badhe nyuwun tulung ngampil arta, kangge ngobatke. Niki saben wulan kedah ngobatke."
"Oh ngoten."
Pikiranku kemudian tertuju pada suamiku. Aku ingin meminta pendapatnya tentang Marti ini benar nggak, barangkali suamiku tahu informasi tentangnya lebih banyak. Biasanya meski uangku sendiri yang kuberikan, aku pasti minta pendapatnya.