***
“Tentu saja Inda ingin menjadi anak yang spesial di mata Allah, Ibu. Tapi mengapa mereka harus bersikap semena – mena pada Inda”
Aku berusaha menjelaskan tekanan dalam hatiku dan menceritakan apa yang selama dua pekan ini terjadi di sekolah.
“Inda sadar, apa yang mereka katakan memang benar. Tapi kadang Inda sebel Bu, banyak yang mengolok – olok fisik Inda, yang hitamlah, yang pendek lah, yang keritinglah, yang jeleklah” kataku memelas.
“Panggil mereka semua, beri uang berapapun yang mereka minta, kalau mereka bisa mengubah fisik Inda, suruh mereka untuk mengubah fisik Inda seperti yang mereka mau, yang tinggi, yang cantik, yang putih, yang lurus rambutnya” ujar Ibuku.
“Inda, apakah ada orang yang bisa melakukan hal yang demikian?” tanya Ibuku.
Aku hanya menggeleng
“Fisik itu anugrah anakku, kita tidak bisa memilih, apakah orang yang cacat buta itu ingin terlahir buta?” tanya Ibuku lagi.
“Ya enggak Bu” jawabku singkat.
“Itu dia Sayang, kalau ada orang yang menghina Inda, berarti dia telah menghina Allah karena Inda adalah ciptaan Allah, Ibu tidak pernah malu, tidak pernah sedih atau menyesal mempunyai anak seperti Inda, malah Ibu bersyukur dan bangga punya anak seperti Inda. Inda adalah kebanggaan Ibu”
“Inda boleh marah, sebel, bahkan benci kepada mereka yang telah mem-bully Inda, tapi hanya malam ini saja ya” lanjut Ibuku seraya mengacungkan jari kelingkingnya, dan aku seolah tersihir untuk menyambutnya dengan jari kelingkingku sebagai simbol adanya sebuah perjanjian.