Pesan (Welingan ) biasanya dilakukan pada saat pewaris sakit dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya, atau ketika akan pergei jauh seperti berhaji. Cara ini baru berlaku setelah pewaris benar-benar tidak pulang atau benar-benar meninggal. Jika pewaris masih pulang atau belum meninggal, pesan ini bisa dicabut kembali.
Pewarisan saat Orang Tua Sudah Meninggal
Norma pembagian harta warisan ini tergantung pada keadaan orang Jawa itu sendiri. Orang Jawa yang santri biasanya membagi warisan berdasarkan hukum Islam.
Sedangkan yang lain membagi berdasarkan hukum adat Jawa yang memberi dua kemungkinan, yaitu dengan cara sapikul sagndhongan, atau semua anak mendapat warisan yang sama besarnya (cara dum-dum kupat atau sigar semangka).
Sapikul sagendhongan (satu pikul satu gendongan)
Maksud dari istilah itu ialah anak laki-laki mendapat bagian warisan dua (sapikul) berbanding satu (sagendhongan) dengan perempuan. Seperti halnya laki-laki yang memikul, ia membawa dua keranjang dalam pikulannya, yakni satu keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang.Sedangkan anak perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di punggungnya, atau yang biasa disebut digendong. Jadi maksudnya adalah bagian anak laki-laki dua kali lebih besar dari pada anak perempuan, sama halnya dalam hukum Islam.
Dum-dum Kupat atau Sigar Semangka
Pada masyarakat Jawa, sebagian besar pembagian waris menggunakan cara dum dum kupat atau sigar semangka, di mana bagian anak laki-laki dan perempuan sama dan seimbang. Sebab, ada anggapan bahwa semua anak sama-sama akan membangun keluarga yang memerlukan banyak modal. Bagian yang sama besarnya ini dimaksudkan sebagai modal berumah tangga. Dengan sistem ini dirasa adil, sebab baik istri maupun suami sama-sama menyumbang atau membantu membangun ekonomi bagi keluarganya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H