Hukum adat merupakan kepercayaan turun temurun yang ada di masyarakat daerah. Setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki hukum adat masing-masing salah satunya di Jawa. Dalam masyarakat Jawa terdapat beberapa hukum adat seperti yang mengatur tata cara pernikahan, upacara kematian hingga soal pembagian warisan.
Hukum Waris Adat Masyarakat Jawa
Hukum waris adat adalah keseluruhan peraturan hukum dan petunjuk-petunjuk adat yang mengatur tentang peralihan maupun penerusan harta warisan dengan segala akibatnya baik dilakukan semasa pewaris masih hidup maupun sesudah meninggal dunia. Pada masyarakat Jawa didominasi oleh dua sistem kewarisan yang terjadi ketika pewaris masih hidup dan setelah pewaris meninggal. Masyarakat Jawa lebih dominan dalam prinsip pewarisan ketika pewaris masih hidup sehingga ketiga pewaris sudah meninggal tidak begitu berpengaruh dalam proses pewarisan.
Pewarisan dalam masyarakat Jawa yang dilaksanakan ketika pewaris masih hidup memiliki tujuan. Tujuan tersebut adalah salah satunya untuk menghindari perselisihan ahli waris yang disebabkan oleh masalah warisan. Pewaris memiliki tujuan untuk menjaga kebersamaan antar anggota keluarga dengan meminimalisir perselisihan hanya karena harta warisan. Hak waris tersebut ketika pewaris masih hidup maka ahli waris hanya memiliki hak untuk mengolah harta warisan tidak untuk menguasai, namun ketika pewaris sudah meninggal maka hak penguasan dan kepemilikan sudah beralih otomatis kepada ahli waris yang sudah ditunjuk oleh pewaris.Â
 Sistem Kewarisan di Jawa
Sistem kewarisan yang ada di Jawa mayoritas menganut sistem kewarisan individual yaitu setiap waris dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing Proses pewarisan ketika pewaris masih hidup dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu penerusan atau pengalihan (lintiran), penunjukan (acungan) dan mewasiatkan atau berpesan (weling atau wekas).
Penerusan atau pengalihan
Pengalihan atau penerusan adalah diberikannya harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan, sebagai bekal bagi anak-anaknya untuk melanjutkan hidup atau untuk membangun rumah tangga
Penunjukan (Acungan)
Penunjuakn (acungan) adalah pewaris menunjukan penerusan harta waris untuk pewaris, akan tetapi hanya untuk pengurusan serta diambil manfaatnya saja. Tapi kepemilkan masih sepenuhnya milik pewaris.
Kalau penerusan atau pengalihan mengakibatakan berpindah penguasaan dan pemilikan atas harta kekayaan sebelum pewaris meninggal, maka dengan penunjukan (acungan) penguasaan dan pemilikan atas harta kekayaan baru berlaku sepenuhnya kepada waris setelah pewaris meninggal.
Pesan atau wasiat ( Welingan atau Wekasan)
Pesan (Welingan ) biasanya dilakukan pada saat pewaris sakit dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya, atau ketika akan pergei jauh seperti berhaji. Cara ini baru berlaku setelah pewaris benar-benar tidak pulang atau benar-benar meninggal. Jika pewaris masih pulang atau belum meninggal, pesan ini bisa dicabut kembali.
Pewarisan saat Orang Tua Sudah Meninggal
Norma pembagian harta warisan ini tergantung pada keadaan orang Jawa itu sendiri. Orang Jawa yang santri biasanya membagi warisan berdasarkan hukum Islam.
Sedangkan yang lain membagi berdasarkan hukum adat Jawa yang memberi dua kemungkinan, yaitu dengan cara sapikul sagndhongan, atau semua anak mendapat warisan yang sama besarnya (cara dum-dum kupat atau sigar semangka).
Sapikul sagendhongan (satu pikul satu gendongan)
Maksud dari istilah itu ialah anak laki-laki mendapat bagian warisan dua (sapikul) berbanding satu (sagendhongan) dengan perempuan. Seperti halnya laki-laki yang memikul, ia membawa dua keranjang dalam pikulannya, yakni satu keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang.Sedangkan anak perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di punggungnya, atau yang biasa disebut digendong. Jadi maksudnya adalah bagian anak laki-laki dua kali lebih besar dari pada anak perempuan, sama halnya dalam hukum Islam.
Dum-dum Kupat atau Sigar Semangka
Pada masyarakat Jawa, sebagian besar pembagian waris menggunakan cara dum dum kupat atau sigar semangka, di mana bagian anak laki-laki dan perempuan sama dan seimbang. Sebab, ada anggapan bahwa semua anak sama-sama akan membangun keluarga yang memerlukan banyak modal. Bagian yang sama besarnya ini dimaksudkan sebagai modal berumah tangga. Dengan sistem ini dirasa adil, sebab baik istri maupun suami sama-sama menyumbang atau membantu membangun ekonomi bagi keluarganya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H