"Bang, aku mau" ucapnya lembut malam itu.
Akhirnya, setelah sekian lama menanti, jawaban itu keluar dari mulutnya, dua bibir tipisnya tampak gemetar mengucapkan kalimat pendek yang berjuta makna bagiku.
"Maksudnya?" Aku bertanya. Bukan karena tidak mendengar ucapan itu.
Tetapi aku seketika candu dengan ucapannya.
"Iya, aku mau memberi Abang waktu & kesempatan itu" lagi-lagi dengan lembut ia menjawab.
Aku hanya ingin memastikan, ucapan yang baru saja keluar itu muncul dari mulutnya, atau hatinya.
Dan dengan tatapannya yang tajam namun syahdu itu, aku tau, bahwa kalimatnya lahir dari hati. Aku membisu, kakiku gemetar, lututku terasa sangat dingin.
Di depan Masjid yang Agung, malam yang cerah, sesaat setelah Isya, diterangi lampu jalan kemerah-merahan. Aku merasa dikunjungi oleh bayang putih, bayang yang berbisik tepat di telinga, kalimatnya tegas.
"Wahai anak muda, lukamu sudah sembuh. Waktunya untuk membentuk kebahagiaan di masa depan"Â
Aku tak tau siapa bayangan itu, namun aku sadar betul bahwa ucapannya adalah pengingat yang kuat. Gadis pemilik wajah kemerahan saat malu pun tersenyum di sampingku, adalah jembatan kehidupan yang agung, yang tak boleh tersentuh luka, tak boleh tergores kesedihan.
Ucapan tegas bayang putih itu menjadi timer pengingat, bahwa wanita yang baru saja menjawab segala tanya di sampingku adalah bidadari yang tak boleh aku merasa kecewa, kehadirannya harus menjadi simbol keagungan dan kesucian cinta yang selama ini aku damba dan tuliskan lewat bait-bait puisi juga cerita-cerita imajinasiku yang liar.
"Dik, terima kasih. Waktu yang kau beri tak akan sia-sia, kesempatan yang kau beri tak akan terbuang percuma" aku coba menjawab, sembari memastikan niatku sangat kokoh.
Niatku memang dari awal sudah kokoh, bagaimana aku mendapatkan kokohnya niat itu sangat ghoib. Prosesnya tak jelas, namun semakin hari kian terasa.
"Akan ku pastikan, sejak saat ini, aku akan menjadi manusia pertama yang berdiri tepat di belakangmu sebagai pendorong, berdiri lurus di depanmu sebagai penuntun, tanganmu akan ku genggam kuat, ku tarik dan ku bawa terbang menemukan puing-puing indahnya hidup dengan saling berbagi kasih" aku menjawab, membathin dalam hati.
Oh iya, tiga tahun sebelum ini, aku adalah orang yang putus asa, aku adalah laki-laki pengecut yang dengan sadar terinjak-injak harga dirinya, yang dengan terang ternodai marwahnya sebagai seorang laki-laki.
Oh iya, tiga tahun sebelum ini, aku hanyalah pria yang menunggu waktu tanpa tahu apa yang sedang ditunggu. Aku hanya pria yang berjalan tanpa tahu hendak kemana.
Oh iya, tiga tahun sebelum ini, aku hanya seorang manusia yang hatinya membeku keras, dingin dan tak berbentuk.
Tiga tahun sebelum ini, aku tenggelam oleh keinginan yang asburd, keinginan yang selalu melahirkan luka. Luka yang parah, yang setiap waktu hanya kian parah.
Tapi tahu-kah? Jawaban wanita pemilik senyum yang menawan di sampingku ini seketika menjelma menjadi obat dari segala kegundahan, keraguan dan keputusasaan.
Luka-luka itu secepat kilat tertutup, sembuh dan tak berbekas. Aku menikmati momen dimana jawaban dari wanita yang suaranya merdu saat melantunkan ayat-ayat Allah itu membelai seluruh luka yang tiga tahun sebelum ini mustahil rasanya sembuh.
Karena itu, aku merasa aku sudah ditemukan oleh penyihir putih yang santun. Yang entah bagaimana tatapannya memancarkan magnet kuat agar mendekat, yang tatapannya menyinari jalan agar tak tersesat, yang tatapannya menjadi tangga untuk menjadi lebih mulia.
Sebab itu, sesaat setalah ucapannya, jawabannya yang sederhana itu, aku melihat segala macam keindahan di masa depan, dan aku percaya, dengan wanita yang disampingku ini aku mampu meraihnya.
Entah bagaimana dia menemukanku, tapi aku bersyukur telah ditemukannya.
Dia yang menemukanku bukan tanpa luka. Lukanya jelas terlihat meski senyumnya senantiasa terpancar. Lukanya jelas terasa meski tangannya sangat lembut.
Dia yang menemukan ku dengan rela berbagi obat dan resep ajaib untuk saling menyembuhkan. Lantas dalam sukma aku berjanji.
Bahwa wanita yang telah menemukanku inilah yang harus aku perjuangkan, yang olehnya aku akan memeras semua keringat hingga berwujud bahagia.
(Baca juga : Part 1)
Aku berjanji dalam bathin, bahwa segala kebaikan dan kerelaannya tak terbayar, segala kebahagiaan yang ia beri tak akan kuasa ku bayar. Aku hanya akan berkeringat sangat banyak sepanjang hari, agar ia merasakan bagaimana sesungguhnya aku sangat bahagia dengan waktu & kesempatan yang ia beri.
Sebenarnya siapa dia?
Tiga tahun lalu, aku tak mengenalnya. Benar, sama sekali tidak mengenalnya.
Tapi sekarang aku tahu dia siapa. Dan dia adalah balasan yang Tuhan janjikan dalam firman-Nya.
Dia, bagiku, aku tegaskan, bagiku. Dia adalah makna dibalik semua kepiluan yang aku tahankan selama ini. Dia adalah jawaban atas rumitnya rumus kehidupan yang menjebakku dengan kesakitan yang berkepanjangan.
Dia hanya gadis sederhana yang tumbuh dengan kasih sayang keluarga purna. Adab dan akhlaqnya luhur, kalimatnya sangat santun, kulitnya putih berseri, senyumnya menawan, ia tumbuh dengan fisik dan hati yang kuat. Dia berani, dia tabah, dia sabar, dan dia menginspirasi.
Dia bukan gadis yang tergoda oleh puja puji dunia, dia juga bukan gadis yang tergerus pusaran media, dia bukan gadis yang terhanyut oleh melejitnya perubahan zaman.
Dia hanya gadis yang punya impian sederhana, dia hanya gadis yang tak punya banyak keibginan.
Namun bagiku, sejak ucapan dan jawabannya itu. Dia adalah gadis yang aku mau. Gadis yabg aku mau mempertaruhkan segalanya, yang aku mau melempar semua keegoisan, keangkuhan, kemewahan, deminya.
Namun bagiku, sejak ia izinkan tangannya ku sentuh. Ia adalah gadis yang tak boleh merasakan kepiluan, tak boleh tertiup angin derita. Aku ingin menjadi tameng, pelindung baginya yang lembut.
Kalian mau tahu dia sebenarnya siapa.
Baik, beri aku waktu. Aku akan coba meminum segala jenis obat agar segera tersadar dari keindahan yang ia beri ini. Agar jemariku kembali pulih dan menulis namanya yang indah untuk kalian baca.
Kalian, bersabarlah, kelak kalian akan tahu. Bahkan aku berdo'a, kelak kalian akan merasakan dan menemukan wanita sepertinya. Wanita yang hadir untuk memupuk benih-benih optimisme dalam setiap waktu di hidupmu.
Kalian, semoga kalian tahu dan menemukan wanita yang hanya dengan senyum mampu membangunkanmu dari rasa malas dan jumawa.
Sebab itu, sejujurnya kalian akan tahu siapa dia. Meski kalian tak melihat dan mendengar namanya. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H