Mohon tunggu...
Zulfa Syamsul
Zulfa Syamsul Mohon Tunggu... Desainer - Komunitas Muslimah Siatutui Soppeng

Ibu Profesional, peduli generasi, peduli keluarga dengan pandangan Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekerasan Guru, Mengapa Eskalatif?

12 Oktober 2024   13:05 Diperbarui: 12 Oktober 2024   13:05 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang guru sekaligus wali kelas di SD Negeri 23 Tanete Kabupaten Soppeng Kecamatan Lalabata, tidak menyangka bahwa dirinya akan dilaporkan oleh orang tua muridnya atas tuduhan penganiayaan. Seperti yang diberitakan oleh kanal berita online, dua orang siswa kelas 6 yakni AP dan AS diduga mengalami penganiayaan oleh wali kelasnya ID setelah keduanya terlibat dalam aksi saling lempar mangga di mushollah (makassarterkini.id, (01/10). Meski sang guru sudah membantah tuduhan tersebut, laporan atasnya tetap bergulir di Kepolisian. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada perkembangan berita mengenai kejadian ini.


Nasib serupa juga dialami oleh seorang guru SDN 231 Balangpesoang Kabupaten Sinjai Kecamatan Tellulimpoe. AS dilaporkan ke kepolisian setempat setelah menampar pipi sebelah kiri seorang muridnya. Kejadiannya bermula (01/09), saat  di dalam kelas saat anak terlihat berjalan meninggalkan tempat duduknya untuk mengambil pulpen yang dipinjamkan kepada temannya. Namun, belum sempat pulpen diambil, pelaku yang datang dari luar kelas menghampiri dan langsung menampar korban. Kasus berakhir dengan putusan hukuman penjara 6 bulan kepada sang guru dengan masa percobaan 1 tahun (suarajelata.com, (13/09))


Dikutip dari laman BBC.com, dari Januari hingga 28 September 2024, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada 36 kasus kekerasan "kategori berat" di berbagai satuan pendidikan---termasuk yang terkait kekerasan fisik, seksual, dan psikis serta kebijakan yang mengandung kekerasan. Dari 36 kasus itu, ada 48 pelaku dan 144 korban anak. Tujuh di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Adapun penyebabnya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji, mengatakan pada artikel yang sama, maraknya kekerasan anak di sekolah disebabkan oleh adanya guru yang masih "memegang teguh model mental feodal". Hal ini menciptakan relasi antara guru dengan murid seperti atasan dan bawahan.(BBC.com, (6/10))
Benarkah hal ini menjadi penyebab utama adanya kekerasan guru terhadap murid?


Kompleksitas Penyebab Kekerasan Guru

Jika ingin mengetahui penyebab secara komprehensif, Setidaknya ada 4 aspek yang mempengaruhi insiden ini, Pertama, berasal dari murid itu sendiri seperti adanya sikap tidak disiplin, tidak mematuhi aturan sekolah, tidak menghormati guru, dan lainnya dan faktor ini berkaitan langsung dengan pola asuh orang tua di rumah atau si anak terpapar oleh tontonan tidak mendidik. Kedua, faktor yang berasal dari dalam diri sang guru seperti inkompetensi guru menghadapi murid yang tidak disiplin sehingga melakukan aksi instan berupa ancaman dan pukulan, Hingga kondisi kelelahan (burn out) akibat beratnya beban guru yang berbanding terbalik dengan upah dan penghargaan yang diterima. Ketiga Faktor struktural sistem pendidikan yang menempatkan guru dengan murid layaknya atasan dan bawahan dan Keempat adanya faktor kultural budaya masyarakat yang masih membenarkan aksi kekerasan guru terhadap murid (psikologmalang.com, 2023).

Berdasarkan referensi ini, pihak-pihak yang mengambil kesimpulan bahwa penyebab kekerasan karena adanya prinsip feodal pada guru saja, bisa dianggap menyudutkan guru. Peran guru pun dalam mendisiplinkan murid menjadi dilematis. Jika anak diberikan hukuman fisik, guru bisa tertuduh melakukan kekerasan. Sementara saat murid dibiarkan, ia menjadi tak disiplin hingga melakukan hal seenaknya saja. 


Guruku sayang Guruku Malang


Meski Peringatan hari guru sedunia sudah berlalu yakni sejak tanggal 5 Oktober lalu. Namun perlu menilik tema yang diambil UNESCO untuk  Peringatan kali ini, "Valuing teacher voices: Towards a new social contract for education" (menghargai suara guru: menuju kontrak sosial baru untuk pendidikan). Tema ini menekankan pada pentingnya peran guru dalam membentuk masa depan serta menjadi kebutuhan mendesak memasukkan suara(perspektif) mereka ke dalam kebijakan pendidikan dan proses pengambilan keputusan tentunya demi mewujudkan pendidikan yang berkualitas (Tirto.id, (05/10)


Tema ini bisa jadi angin segar bagi guru. Mereka bisa menjadikan tema ini sebagai momentum untuk menyuarakan isi hati mereka. Mengungkapkan masalah-masalah yang membelit mereka. Mulai dari jaminan kesejahteraan atas guru, kurikulum pendidikan yang menyibukkan guru dalam persoalan administrasi, kurangnya penghargaan sehingga guru rentan dilaporkan atas kasus kekerasan terhadap murid, hingga tingginya tekanan hidup yang menghilangkan jati diri guru sebagai pendidik yang berujung pada kekerasan yang menyebabkan murid meregang nyawa atau kekerasan seksual.


Seperti yang dikutip dari laman detik.com, Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada mei 2024 melakukan survei terhadap 403 guru di 25 Provinsi di Indonesia terkait upah yang mereka dapat. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 74% responden mendapatkan gaji di bawah Rp2 juta dan sebagian lagi di bawah Rp500rb. Ini menunjukkan gaji guru honorer masih di bawah Upah Minimum Kabupaten Kota 2024 terendah.


Sementara bagi guru ASN, meski mereka mendapatkan gaji yang lebih tinggi dari guru honorer, tak sedikit dari mereka menggadaikan SK-ASN mereka ke Lembaga Kredit lantaran terdesak oleh biaya kehidupan yang tinggi. Hidup mereka pun berada dalam bayang-bayang cicilan puluhan tahun, biaya hidup jadi terpangkas, hidup guru pun tidak tenang.


Beban kerja guru bertambah berat oleh tugas administrasi, sebutlah Platform Merdeka Mengajar (PMM). Beratnya beban guru untuk mengisi PMM ini tersaji dengan apik pada serial #bebankerjaguru  projectmultatuli.org. Para guru gagal fokus, yang seharusnya fokus mengajar kini tersibukkan dengan urusan administratif. Keletihan yang melanda para guru mengakibatkan guru mengalami burn out, mulai dari mengabaikan kegiatan pembelajaran di sekolah hingga disfungsi tugas yang berujung pada kekerasan verbal, kekerasan fisik dan kekerasan seksual.


Revitalisasi Peran Guru


Dalam Islam, guru memiliki peran yang  sangat strategis terhadap peradaban. Gurulah yang membangun peradaban Islam secara struktural dan fundamental. Hal ini bisa terlihat di masa Kekhilafan-Abbasiyah dimana para ulama berhasil melahirkan murid yang berkualitas secara keilmuan, profesional dalam berkarya maupun pada aspek keimanannya.


Kegemilangan ini mendapat pengakuan dari Ilmuwan dunia. Carl Sagan, astronom dan penulis Amerika mengakui bahwa Islam telah menjadi pusat intelektual dunia pada abad ke-8 hingga ke-13,   dengan ilmuwan Muslim terkemuka yang melakukan penemuan dan penelitian di bidang matematika, astronomi, kedokteran, dan banyak lagi.


Sementara Robert Briffault dalam bukunya The Making of Humanity menyatakan, "Tidak ada kemajuan Eropa melainkan ia berhutang budi kepada Islam dan peradaban Islam dan diarahkannya dengan positif."

Itulah gambaran kecil ketika pendidikan terintegrasi dengan Islam. Karya yang tercipta adalah karya yang berorientasi pada kemaslahatan umat dan kejayaan Islam. Paradigma ini berkelanjutan hingga masa Khilafah Utsmani berakhir. Kini, setelah paradigma Islam terganti, ilmuwan berkarya demi mengejar materi dan keuntungan pribadi semata. Pendidikan pun dianggap sebagai sektor produksi dan diarahkan untuk menyokong perkembangan Industri. Kondisi ini oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani disebut dengan sekulerisme (Nidhomul Islam, 1953)


Paradigma sekuler inilah yang melingkupi seluruh dasar kehidupan termasuk dunia pendidikan kita saat ini. Dengan demikian, tidaklah mengeluarkan para guru dari masalah yang membelitnya melainkan dengan mengembalikan paradigma Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk ke dalam dunia pendidikan. Dimulai dari penyusunan kurikulum berbasis akidah Islam yang bertujuan membentuk kepribadian Islam pada guru dan murid. Kemudian mengatur fasilitas pendidikan dengan baik sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Menjamin penyediaan infrastruktur yang merata dan memadai serta menjamin kompetensi guru di setiap jenjang pendidikan. Menutup dan menegakkan sanksi terhadap pihak yang mengganggu tercapainya tujuan pendidikan. Dan menjamin kesejahteraan guru agar mereka bisa  menunaikan tugasnya tanpa tekanan dan beban oleh biaya hidup. Dan langkah ini tentu saja bergantung sepenuhnya pada pundak negara sebagai penyelenggara pendidikan. Wallahu 'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun