Kulitnya semerah tembaga, bermandikan darah bangsanya yang terbantai akibat lisannya. Matanya bersinar keemasan, mata itu adalah Mata Tuhan. Konon, Tuhan melihat melaluinya... menelanjangi para pendosa dan mereka yang mengaku suci. Rambutnya hitam kelam, lebih hitam dari dasar lautan, dari abu dan arang, rambut yang diwarnai oleh jasad-jasad bangsanya yang terbakar habis. Bibirnya hitam, bibir yang telah menjatuhkan hukuman bagi setiap insan.Â
Sabiha.
Wanita itu, kini berada di hadapan Ita yang terguncang hebat. Tidak ia sangka hari ini datang begitu cepat. Sabiha mencari pelayan baru, oleh karena itu Ita telah rencanakan hari ini dengan matang. Namun tak ia sangka, tangan takdir bermain dalam hidupnya, mendahuluinya.Â
"Mari," wanita bermata cemerlang itu melambaikan tangannya pada Ita. Gestur yang begitu halus. Ita bergeming. "Antar aku ke pasar. Aku bosan dengan mereka," ucap Sabiha sambil melirik deretan pelayannya. "Tapi wanita baik-baik tidak pergi tanpa pelayan."
Ita menggeleng. "Wanita kaya," sanggahnya.
Sabiha tersenyum tipis. "Diam. Aku tidak izinkan kau bicara. Kini kau pelayanku."
Bulu kuduk Ita meremang melihat bibir hitam itu tersenyum namun matanya memancarkan aura mematikan. Tapi Ita suka rasa takut itu. Ita menikmatinya.
*
Ita melihat ke sekeliling. Pasar adalah pasar, tidak pernah sepi. Pagi berganti siang, siang berganti malam. Keramaian tetap hinggap di sana, hanya isinya yang silih berganti. Ita dan sang majikan baru tidak berhenti, masuk, kian dalam ke bagian tergelap di pasar. Ita menoleh ke belakang, keramaian sudah hilang. Haya ada pria dan wanita yang mengenakan kain yang dililit untuk menutupi perut dan kaki. Tetapi, mereka bertelanjang dada. Pertanda kaum murba.Â
Kemudian ia disuruh menunggu dan berjaga di mulut pintu suatu pondok. Sabiha masuk seorang diri. Sementara Ita mengamati orang-orang berbalut satin dan sutra memasuki pondok. Ia akan menunggu sampai majikannya keluar saat matahari terbenam. Keesokan harinya pun sama, juga esok dan esoknya lagi. Tapi Ita tidak pernah bertanya. Gerangan apa yang terjadi di dalam sana.
"Usiaku genap 75 tahun," ujar Sabiha, sedang memakai gelang di depan cermin tembaga. "Tiga puluh tiga hari sudah kau menemaniku ke sana. Bukankah kau ingin tahu apa yang kulakukan? Dengan siapa aku bertemu?"