"Kau tahu apa yang terjadi sampai-sampai seekor babun diadili untuk dipenggal?" Sebuah suara manis mengalun di telinga Ita. Mata gadis kecil itu masih terpaku pada mata Bona yang berkilau. Apakah itu air mata? Ita bertanya-tanya. Apakah bila ia menatap ke sepasang bola mata itu, ia akan menemukan ketakutan bersinar dari dalamnya? Ita penasaran.
"Aku bertanya padamu," suara itu terdengar lagi. Kini agak memaksa.
"Bona ketahuan mencuri kalung zamrud majikan. Aku yang suruh."
"Kenapa kau tidak ikut dihukum?"
"Sebab aku yang bilang."Â
"Hadiah apa yang kau pinta?"
"Mardika."
Suara bilah tajam membelah daging dan tulang memecah obrolan yang sahut-menyahut. Semua orang menahan napas. Kepala Bona menggelinding ke depan panggung. Darah membanjir. Mantan majikan Ita meninggalkan panggung, wajah kuning langsatnya terlihat pucat, jelas sekali ia hendak memuntahkan isi perutnya.
Ita menatap mata Bona yang membelalak, sesaat. Lalu ia menyeka air matanya. Ita mendongak dan mendapati wajah bidadari sedang memandangnya dengan terkejut. Namun, percayalah, Ita jauh lebih terkejut, sebab ia tahu siapa pemilik sepasang mata cantik itu dan si pemilik tidak sedang menghakimi.
"Kau mirip denganku," katanya, seraya mengedipkan matanya berkali-kali. Sinar takjub berpendar dari matanya hingga membasahi wajah Ita.
*