Mohon tunggu...
Zulfa Salman
Zulfa Salman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis | Mahasiswa

Senang menjahit kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keadilan Bagi Sang Pengadu

13 April 2024   09:32 Diperbarui: 13 April 2024   09:35 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ita dalam diam melirik majikannya, bibir wanita itu monyong-monyong tiap mengomel, hidungnya mengerut persis seperti tiap kali pergi melewati kandang babi, matanya menyipit seolah sedang berusaha keras mencari kesalahan yang sebenarnya tidak ada.

Si wanita melirik Ita, wajahnya makin keji. "Tidak pergi, hm?! Tidak pergi?!"

Ita mencium tangan majikannya, yang langsung disentak sebelum bibir Ita menyentuh punggung tangan dengan jari-jemari penuh batu mulia itu.

Ita pergi ke pasar segera, bersama Bona, babun berumur lima tahun yang diperintahkan untuk memakan Ita kalau sampai gadis kecil itu kabur. Tapi Ita ke pasar bukan untuk mencari anjing kampung. Ia tahu majikannya tidak benar-benar menyuruhnya mencari kutu anjing. Sebab, pertama kali bekerja di sana, hari ke-tujuh di awal tahun Matahari. Ita membawakan sekantung kutu anjing dan sebuah cermin seperti yang diperintahkan, lalu tiba-tiba ia digampar tujuh kali di pipi, dan tiga kali di kepala sampai pelipisnya berdenyut-denyut. Telinganya berdenging, pandangannya berbayang, kemudian ia kehilangan keseimbangan. Lalu pingsan dan tak sadarkan diri tiga hari. Selama itu ia tidak makan dan tidak digaji.

Ita menoleh pada Bona yang sedang menggali tanah seperti anjing. "Besok, deritaku usai, Bon. Usai."

Bona hanya meliriknya balik dengan sepasang mata yang cerah. Ita tidak paham kenapa Bona disuruh untuk menjaganya. Padahal tak sekali pun Bona pernah memakan jarinya, meski sudah ia sodorkan gegara ia kabur sekali untuk main ke sungai bukannya mengantar pesan untuk paman majikan.

"Kau pun juga, Bon. Deritamu usai esok." Ita berkata dengan sungguh-sungguh.

Bona tak acuh dan kembali menggaruk pasir.

*

Lapangan kampung sesak oleh warga. Semuanya mengelilingi panggung kayu tinggi dengan algojo bertelanjang dada berdiri di sisi seekor monyet besar yang mencicit ketakutan. Di samping kiri si monyet, berdiri seorang wanita beralis elang yang memegangi rantai leher monyet itu sambil mengernyit jijik. Dua pelayannya sibuk mengipasi.

Ita berdiri di antara kerumunan, barisan paling depan. Air mata mengalir deras, bahunya berguncang hebat, dan tangan mungilnya membekap mulutnya sendiri agar tak meraungkan nestapa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun