Mohon tunggu...
Zulfan Fauzi
Zulfan Fauzi Mohon Tunggu... Novelis - Prosais, penulis

Penulis asal Gambut, daerah yang terjebak di antara Banjarmasin dan Banjarbaru

Selanjutnya

Tutup

Kkn

Pupur Dingin Cap Bunga Padi

25 Juni 2024   11:07 Diperbarui: 25 Juni 2024   11:17 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ferdi memaki dalam hati; semua kata-kata yang tak layak digunakan untuk para agen perubahan di kehidupan bermasyarakat ia lontarkan semua, meski dalam hati, pula semua jenis anggota kebun binatang tidak lupa ia absen, meski juga di dalam hati saja.

Ia takut "itunya" hilang, jadi mau tidak mau ia hanya tersenyum saja.

Menjadi mahasiswa KKN di pelosok Kalimantan, ternyata tidak seperti yang ia bayangkan--harapkan. Pertama ia berharap bisa mengalami berbagai kejadian mistis, toh bukankah Kalimantan itu seakan bersinonim dengan mistis. Namun, ia sama sekali belum menemuinya. Kelebatan kuyang di atas langit saja tak terlihat, apalagi keberadaan kota gaib Saranjana. Dan kalau seperti ini, kesempatannya untuk diundang oleh podcast horor di Youtube jadi nihil.

Kedua ia sama sekali belum mengalami cinlok. Bayangkan! Bagaimana mungkin ada kegiatan KKN tanpa cinlok? Perempuan yang sempat ia taksir, ternyata sudah duluan digebet Hasan yang bertindak sebagai ketua kelompok mereka.

Toh, bukankah sudah jadi rahasia umum bahwa KKN itu berlandaskan pada dua buah unsur yaitu horor dan cinlok.

Dan Ferdi dengan segala ketidakberuntungannya sudah gagal untuk mengalami dua unsur terpenting tersebut. Tak ada kisah horor dan tak ada kisah cinta. Yang artinya tidak akan ada cerita yang bisa dikisahkan kepada generasi agen perubahan berikutnya.

Lalu, langit dan matahari, serta awan-awan yang entah di mana itu, kini menyaksikan calon pilar Indonesia emas itu sedang berpanas-panas di tengah sawah, bergaya seolah-olah sedang menanam padi, sementara kawan-kawannya yang lain sedang berteduh di pondok kecil sembari memandanginya dengan kamera hape di kejauhan atau bahasa ilmiahnya mendokumentasikan.

Ferdi yang memakai setelan lengkap petani itu, sibuk bergaya mengikuti arahan fotografer yang merangkap Pambakal alias kepala desa tempat mereka KKN. Jujur saja, ia benci hal itu, apalagi ia harus memakai pupur dingin alias bedak dingin yang mendempul sempurna wajahnya.

Ferdi merasa terjebak.

Tugas mahasiswa KKN itu kan adalah berkontribusi terhadap masyarakat, jadi alih-alih mencat gerbang desa atau sekadar jadi guru pengganti. Kelompok mereka yang dipimpin oleh Hasan itu ingin melakukan gebrakan. Mereka ingin membantu UMKM di desa itu jadi lebih maju. Dan produk yang terpilih itu adalah pupur dingin alias bedak dingin.

Setelah rapat seperlunya di basecamp, tibalah saatnya mereka memilih anggota yang akan menemani Hasan ke rumah pembakal--yang berwajah seram dan memiliki codet melintang di pipi serta kumis tebal itu--untuk meminta izin.

Dan kesialan Ferdi bermula di sini, ketika ia dengan segenap keluhuran budi pekerti mengajukan diri untuk menemani Hasan untuk meminta izin dan meminta petunjuk atas niatan mulia calon pilar Indonesia emas ini.

Tentu Ferdi sudah memiliki hitung-hitungan, berdasarkan film-film yang ia tonton, serta novel-novel yang ia baca, ia bisa memastikan bahwa pembakal alias kepala desa ini pastilah memiliki putri yang cantik. Kesimpulan itu ia dapatkan setelah melihat tampilan sangar si pembakal ketika pertama kali mereka minta izin di rumah beliau. Bukankah itu sudah rumus pasti bahwa ayah berwajah seram pastilah memiliki anak yang cantik?

Tapi selalu ada tapi. Dan untuk memberi kesan sastrawi, maka ungkapan untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak yang dipinjam dari khazanah sastra lawas Indonesia cocok untuk menyebut apa yang dialami Ferdi ini.

Ternyata pembakal berwajah seram dan menguarkan aura bengis, yang apabila ada anak kecil tak sengaja melihat beliau pasti akan kapidaraan alias sawan itu, sama sekali tidak memiliki anak perempuan. Kedua anaknya adalah laki-laki, dan semuanya sekarang jadi anggota TNI.

Dan sialnya lagi, Ferdilah yang akan menjadi model untuk promo pupur dingin tersebut. Tentu niatan awalnya ia ingin anak perempuan pembakal yang akan jadi model pupur dingin tersebut. Tapi ternyata kenyataan sepahit kopi hitam yang disajikan untuk dedemit penghuni pohon beringin menampar harapan Ferdi, pak kepala desa tidak memiliki anak gadis. Dan kini ia sendiri yang harus menjdi model.

Setelah diskusi yang cukup alot, akhirnya proposal kelompok KKN mereka disetujui oleh Pembakal. Dengan satu catatan, bahwa yang bertindak sebagai fotografer dan pengarah gaya haruslah si Pembakal itu sendiri, sementara mahasiswa KKN yang lain bertindak sebagai tim hore.

Dan beginilah sekarang, di bawah terik sinar matahari, yang awan-awanya entah pergi ke mana itu? Ferdi di tengah sawah berusaha mengikuti arahan dan amarah Pembakal dengan pipi codet.

"Mana senyumnya?" Teriak Pembakal dengan suara beratnya.

Ferdi pun memaksakan senyum, sambil setengah membungkuk seolah sedang menanam padi. Sementara jauh di relung hatinya, segala rutuk dan sumpah serapah terhatur untuk si pembakal alias kepala desa.

"Wajahmu harus mengarah sempurna ke kamera, ya tahan, ini posenya bagus!" ucap si Pembakal sambil memegang kamera.

"Nah, seperti itu. Gayanya sudah oke. Kan dengan seperti ini produk pupur dingin cap Bunga Padi akan terlihat sempurna di kamera."

Selama mengikuti arahan si pembakal, ia juga harus mendengar segala macam sejarah tentang tradisi masyarakat mereka bapupur dingin. Tentu sebenarnya itu menyebalkan, bayangkan saja dijemur di tengah lapangan dan tiba-tiba ada yang menguliahi bahwa bahwa Piramid Mesir itu dibangun oleh Alien.

Meski apa yang dikisahkan oleh si pembakal itu sejatinya baik, tapi alangkah baiknya tidak saat sedang berpose di tengah sawah seperti Ferdi saat ini.

Meski kesal dan di kesunyian batinya ia merutuk dan sumpah, Ferdi tetap patuh dengan instruksi pembakal. Pula ia dengan takzim mendengarkan sejarah pupur dingin tersebut.

"Syahdan suatu hari," ucap si pembakal sembari melihat wajah Ferdi di kamera. "Bapupur dingin ini tradisi orang-orang dulu, entah di mulainya kapan? Yang pasti niatan awal menggunakan pupur dingin ini adalah untuk keperluan orang Kalimantan bekerja."

"Orang Kalimantan yang tinggal di daerah rawa dan sungai, sangat rentan terkena sengatan sinar matahari secara langsung. Karena entah itu di sawah atau di tengah sungai-sungai besar Kalimantan, tidak terdapat pepohonan untuk berteduh, maka masyarakat Kalimantan beradaptasi dengan lingkungan. Hingga terciptalah pupur dingin yang tercipta dari beras.

Beras yang direndam air dingin semalaman dicampur dengan dengan melati dan daun pandan agar harum. Lalu ditumbuk menjadi halus dan dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil."

"Pupur dingin ini berguna untuk mencegah kulit terkena paparan sinar matahari langsung, serta berfungsi untuk mendinginkan kulit. Selain itu tradisi bapupur dingin ini juga berfungsi untuk kecantikan perempuan Kalimantan, bahkan ada semacam kepercayaan bahwa kalau ingin anak perempuan itu dapat jujuran atau mahar yang banyak, anak perempuan itu harus rajin merawat kecantikannya dengan pupur dingin."

"Tapi aku yakin kalian para mahasiswa yang konon cerdas ini tidak tahu bahwa pupur dingin juga sarana untuk menyelamatkan diri di zaman penjajahan dulu," lagi ucap si Pembakal sambil menyuruh Ferdi bergaya sambil memanggul cangkul di bahu.

Dulu saat penjajah Jepang datang ke Kalimantan Selatan, banyak orang tua yang takut anaknya diambil Jepang untuk dijadikan Jugun Ianfu di Simpang Telawang sana. Saat itu para prajurit Jepang suka mencari para perempuan cantik di seluruh desa, dan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi akhirnya para perempuan desa didandani sejelek mungkin. Dan salah satu caranya adalah dengan menggunakan pupur dingin itu di wajah setebal mungkin. Pupur dingin yang semula berfungsi untuk merawat kecantikan kulit akhirnya berubah fungsi untuk membuat perempuan menjadi terlihat jelek," kenang si Pembakal.

Sementara itu Ferdi dengan wajah yang bagaikan kena dempul itu memandang di kejauhan sana bagaikan ada ribuan kunang-kunang dengan letupan cahaya warna-warni, sedangkan kisah si pembakal menjelma menjadi semacam lagu. Kakinya terasa ringan, ia terbang, mengawang. Dan ia sudah tidak ingat apa-apa lagi, karena setelah banyak letupan cahaya dari tubuh kunang-kunang yang mengerubunginya, semua menjadi gelap. Ferdi akhirnya pingsan, karena lupa diberi minuman.

Hingga bertahun-tahun kemudian, Ferdi berkisah kepada banyak mahasiswa KKN lainnya. Bahwa tujuan utama dari KKN adalah membantu masyarakat untuk berkembang menjadi lebih baik, seperti yang mereka lakukan dulu saat mempromosikan produk UMKM milik masyarakat tempat tinggal. Tentu Ferdi tidak berkisah tentang dirinya yang pingsan karena lupa diberi minum dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun