Mohon tunggu...
Zulfan Fauzi
Zulfan Fauzi Mohon Tunggu... Novelis - Prosais, penulis

Penulis asal Gambut, daerah yang terjebak di antara Banjarmasin dan Banjarbaru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Membaca Hujan

11 Maret 2024   09:13 Diperbarui: 11 Maret 2024   09:27 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak ada cahaya lampu di beranda rumah itu ketika Kartika dan Bimo tiba di sana. Satu-satunya sumber penerangan hanyalah senter dari hp Bimo yang mengarah ke dalam lubang kunci, tempat lelaki itu memasukkan kunci dan memutarnya dua kali ke arah kanan hingga terdengar bunyi "ceklek". Kemudian pintu itu ia dorong dengan perlahan, berusaha agar tidak menimbulkan derit karena engsel pintu yang sudah lama tidak terlumasi.

Usaha Bimo gagal, seperti tangisan pintu itu terbuka dengan derit menyayat hati. Kartika merasakan ada kesedihan merayap keluar seiring pintu terbuka, ia melangkahkan kakinya masuk, membiarkan kegelapan rumah itu menenggelamkannya dalam-dalam, dan menikmati sensasinya, sebelum satu demi satu lampu dalam rumah dinyalakan.

Semua diawali oleh Rendra seorang novelis genre thriller dan misteri, yang mengirimkan permintaan unik kepada biro jasa pembaca kenangan Kartika dan Bimo. Rendra meminta bantuan mereka untuk membaca kenangan di rumah yang pernah terjadi pembunuhan.

"Saya perlu bantuan kalian, ada beberapa detil peristiwa yang perlu saya tambahkan untuk dimasukkan ke dalam cerita," katanya.

Jauh sebelumnya, ketika Kartika menganggap bakat unik miliknya itu adalah anugerah alih-alih kutukan. Ia memutuskan memanfaatkannya sebagai ladang usaha. Bersama Bimo, teman SMAnya, ia membuka biro jasa untuk membaca kenangan pada benda atau tempat-tempat khusus.

Setelah resign dari pekerjaanya dan berfokus membesarkan biro jasa miliknya, alih-alih terkenal, biro jasa yang Kartika bangun dengan susah payah, harus tertatih-tatih untuk sekedar bertahan. Untuk sekedar bisa berpenghasilan dan tetap hidup, ia menerima permintaan apa saja dengan kemampuan uniknya itu, yaitu membaca jejak kenangan atau masa lalu dari benda atau tempat yang terkena tetesan hujan.

Dari permintaan syuting acara mistis, hingga ia dianggap "orang pintar" atau supranaturalis. Ia membenci itu, ketika ia harus berpura-pura bisa melihat keberadaan hantu alih-alih kenangan. 

Lalu, sebuah permintaan unik tiba. Dan itulah alasan mereka sekarang berada di sini, di rumah kosong yang pernah terjadi pembunuhan.

"Sekarang?" tanya Bimo.

Kartika mengangguk. Rendra ada di sisinya menyiapkan catatan.

Lalu, Bimo dengan beberapa botol air hujan yang sudah mereka persiapkan sebelumnya, mulai memercikkannya ke sekeliling rumah, ke setiap sisi yang diminta oleh Kartika untuk dibasahi. 

Setelah semuanya sempurna basah oleh air hujan, semua yang ada di sana seakan menguap di mata Kartika, siluet demi siluet membentuk orang-orang, sebuah keluarga kecil yang bahagia, seperti film, ceritanya berlanjut.

Rendra berada di sisi Kartika, mencatat apa saja yang dilihat Kartika. Sesekali menyelanya, menanyakan detail, bergumam, membuat narasi, dan menciptakan dialog dari adegan yang dilihat Kartika.

Sebuah keluarga kecil yang bahagia. Semuanya tampak sempurna, si suami memiliki pekerjaan dan penghasilan yang bagus, istri yang cantik dan keibuan, serta seorang anak laki-laki lima tahun. Begitulah yang digumamkan oleh Rendra, yang kemudian ia tulis di buku.

Si suami yang semula karirnya mulus, mulai mendapat beberapa masalah di kantornya. Satu dua kali, ia dapat menyelesaikannya dengan baik. Namun, tidak semua masalah di pekerjaan dapat tertangani dengan baik, apalagi setelah penipuan yang dilakukan oleh sahabat, yang telah ia anggap seperti saudara sendiri. Masalah itu membuatnya sering meradang.

Ia yang semula penyayang kini berganti pemarah. Seakan ada sosok lain yang mengambil alih diri si suami. Sementara si istri, yang memilih bersetia dengan ikrar cinta mereka tetap bertahan mendampingi si suami apapun yang terjadi. 

Ada jeda yang membuat Kartika tertahan. Siluet di hadapannya kini membuat hatinya sebagai perempuan luluh lantak. Anak lelaki itu, yang merupakan buah cinta pasangan tersebut kini duduk di hadapan ibundanya yang sedang menangis. Tangan kecilnya menyeka jatuhnya air mata sang ibu, dan melalui tatapan mata ia seakan bertanya ada apa. 

"Ada apa?" tanya Rendra memecah kebisuan Kartika.

Kartika tersentak, lalu setelah beberapa hela napas, ia kembali fokus kepada tugasnya yaitu membaca kenangan, dan memberikan gambaran apa yang pernah terjadi di rumah ini kepada Rendra.

"Oh," ucap Rendra dan dengan sigap ia mencatat.

Siluet demi siluet berganti, seperti pergantian babak dalam film. Aroma air hujan yang bercampur debu di dalam rumah yang sudah lama kosong itu menimbulkan sensasi aneh di hidung Kartika. 

Kartika berjalan ke sudut lain, mencoba melengkapi puzzle, mencari babak berikutnya dalam kehidupan keluarga yang pernah tinggal di rumah kosong ini. Lalu langkah kakinya terhenti di ruangan yang dulunya adalah ruang keluarga.

Di hadapan Kartika kini adalah siluet keluarga bahagia, seperti yang sering ditampilkan dalam sinetron. Anak lelaki itu tertawa bahagia, ia dihadiahi mainan baru oleh ayahnya, sementara si suami merangkul bahu istrinya, dan menariknya lebih dekat, mata mereka bertemu, tatapan mereka penuh cinta, lalu sebuah kecupan dari si suami di dahi istrinya meluruhkan segala kesedihan di dada si istri.

Si suami kembali seperti dulu, ia kembali jadi sosok penyayang, si istri terharu dan bahagia, semua lebam di tubuhnya seakan tak berarti apa-apa. Semua kesabarannya terbayar, ketabahan dirinya telah teruji, dan doa-doa yang terus ia panjatkan sepanjang malam kini telah bermuara. Si suami kembali menjadi kekasih yang mati-matian mencintai dan memperjuangkannya lagi.

Kartika menjelaskan apa yang lihat kepada Rendra, dan Rendra dengan setengah bergumam mencatat.

"Si anak lelaki mendapat robot-robotan berwarna merah dari ayahnya." Catat Rendra di buku tulisnya.

Kartika terhenyak mendengar apa yang digumamkan oleh Rendra. Namun, ia tidak ambil pusing. Ia kini menuju kamar utama, dan hanya ada lampu lima watt yang bersinar redup menjadi sumber cahaya di sana.

Lalu, semua yang ada di dalam kamar itu menguap dalam pandangan Kartika setelah terkena tetesan air hujan. Seperti sebuah film, sekumpulan siluet itu pun membentuk adegan cerita, dan kali ini tampak akan terjadi klimaks. Di sudut kamar, si bocah lelaki itu memeluk robot-robotannya sambil menangis melihat orang tuanya bertengkar hebat. Sebuah tamparan dengan telak menghantam pipi si istri hingga terjatuh ke ranjang.

Si suami mendapat masalah lagi di kantornya, kali ini proyek ratusan juta yang sudah ada di dalam genggaman lepas begitu saja. Si istri yang berkeinginan untuk membantu suami, dengan meminta bantuan saudara dan beberapa kawan malah semakin membuat suaminya murka. Ia menganggap mulai tidak dihargai sebagai laki-laki, dan untuk mempertahankan hierarkinya dalam keluarga, si suami pun melakukan kekerasan.

Si istri menangis di atas ranjang, si suami kemudian melepaskan ikat pinggangnya, dan dengan tega melecut punggung perempuan yang ia kasihi tersebut. Ketika mata si istri itu bertemu dengan tatapan anaknya, si bocah lelaki itu langsung meloncat mencoba menahan tangan ayahnya agar tidak melecut ibunya lagi, tapi si suami yang sudah gelap mata sama sekali tidak peduli. 

Semakin si istri mencoba bertahan untuk tidak berteriak kesakitan, karena tidak ingin anaknya kelak mengalami trauma, semakin keras pula si suami mendera. Ia merasa kelelakiannya diinjak-injak. 

Si istri yakin suaminya masih yang dulusetidaknya seperti itulah yang ia harapkan. Si suami hanya sedang marah kepada dunia, tapi saat ia marah dunia tidak ada di hadapannya, dan ia memilih untuk melampiaskan amarahnya kepada istri yang selalu ada untuk dirinya.

Si ayah yang tidak lagi menjadi dirinya itu pun mendorong anaknya yang terus mencoba mencegahnya agar tidak mencambuk istrinya. Anak itu kemudian terjatuh dan kepalanya membentur lantai, lalu tidak sadarkan diri.

Si istri yang melihat itu segera bangkit, dan dengan amarah yang terpendam lama, ia ambil asbak rokok yang terbuat dari keramik di dekat lampu tidur, dan hanya perlu sebuah ayunan yang mengarah tepat ke bagian belakang kepala, hingga akhirnya si suami tersungkur ke lantai.

Pandangan mata Kartika meremang, semua yang ada di depan matanya memburam karena harus menahan air matanya agar tidak jatuh. Segera ia bergegas ke luar dari kamar tersebut, sembari menyeka matanya yang gerimis.

"Terima kasih," ucap Rendra.

Kartika mengangguk lemah. Lalu, Bimo yang tidak mengira semua ini sudah selesai kembali mencipratkan sisa air hujan hingga mengenai Rendra.

Dan kembali semua yang ada di hadapan Kartika menguap, seperti terbakar, tubuh Rendra kemudian memendar, lalu menjelma siluet yang Kartika kenal. Anak lelaki yang memeluk robot berwarna merah dengan luka di kepala karena terjatuh.

Rendra terdiam sebentar, lalu berjalan perlahan di rumah itu, menatap dinding demi dinding, menyentuhnya lembut, mencoba mengeja semua kenangan yang pernah tertinggal di rumah ini. Matanya yang memerah dan berair memandangi Kartika dan Bimo bergantian. Ia mengucapkan terima kasih sekali lagi. Setelah mengusap matanya ia berkata dengan suara serak, "Saya sekarang tahu harus menulis cerita yang bagaimana."

                 

                                                                                            

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun