Mohon tunggu...
zuhdi ilham nadjir
zuhdi ilham nadjir Mohon Tunggu... Penulis - buruh tulis

cuman buruh tulis yang hoby filsafat dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Nostalgia

20 Desember 2024   11:56 Diperbarui: 20 Desember 2024   17:43 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Art: Photograph by Taylor Jones 

Ada kerinduan yang tidak pernah benar-benar bisa diungkapkan dengan kata. Kerinduan yang bukan sekadar menginginkan sesuatu kembali, tetapi sebuah rasa kehilangan: bagai akar yang mencoba menggali ke tanah yang tak lagi subur.  

Kata nostalgia berasal dari bahasa Yunani: nostos, yang berarti kembali, dan algos, yang berarti penderitaan. Bersama mereka mencipta satu konsep yang penuh luka: penderitaan karena keinginan yang tak terpenuhi untuk kembali.  

Namun, apakah benar "kembali" itu ada?  

Nostalgia bukan tentang tempat, melainkan tentang waktu yang telah memudar. Kita tidak benar-benar merindukan rumah seperti apa adanya sekarang, tetapi seperti apa ia dulu, ketika kita pertama kali mengenalnya.  

Kita tidak mencari jalan pulang, tetapi mencari versi diri kita yang pernah tinggal di sana: bayangan diri yang telah hilang dalam aliran waktu.  

Setiap bahasa punya cara mengungkapkan rasa itu. Dalam bahasa Jerman, Sehnsucht berbicara tentang kerinduan yang hampir tak tertahankan, sebuah pencarian tanpa akhir.  

Dalam bahasa Prancis, nostalgie terasa lembut, seperti luka lama yang masih basah. Dalam bahasa kita sendiri, mungkin kerinduan itu hanya disebut rindu.  

Tapi apa pun istilahnya, rasa itu selalu sama: sebuah jarak yang tak terjembatani antara apa yang ada sekarang dan apa yang dulu.  

Kerinduan, dalam bentuknya yang paling murni, bukan sekadar kehilangan sesuatu yang pernah kita miliki, tetapi lebih pada sebuah kekosongan yang datang dari dalam diri.  

Ia adalah bayangan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar terhapus, sebuah jejak yang terus membayangi, meskipun kita berusaha maju. 

Kerinduan itu bukan tentang keinginan untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang, melainkan tentang hasrat untuk kembali ke tempat yang lebih sederhana, lebih murni: sebelum dunia membawa kita pergi jauh dari sana.  

Namun waktu dengan segala ketetapannya, tidak memberikan kita izin untuk kembali. Kehidupan terus berjalan, membawa kita pada perjalanan yang tak bisa diulang.  

Kita terikat oleh garis waktu yang tak dapat dilawan. Kita hanya bisa mengenangnya, menghidupkan kembali potongan-potongan kenangan yang kita bawa dalam ingatan, meskipun pudar seiring berjalannya waktu.  

Masa lalu terus menggantung berbentuk kenangan dan terlindungi oleh halaman-halaman buku yang tersimpan rapat dalam lemari waktu.  

Ada ketika kita mendekati kenangan itu, kembali ke tempat lama yang sudah tidak dikenalnya, ada jua ketakutan untuk kehilangan apa yang pernah ada mencegah kita melangkah lebih jauh.  

Kita terus berputar di sekitar kenangan itu, mengingat rasa, bau, atau suara yang sudah lama tak kita temui.  

Dan kita berdialog dengan diri sendiri: apakah kenangan itu masih dapat memberi kita kedamaian, atau semakin memperdalam kekosongan yang ada di dalam diri?  

Berjalannya waktu, kenangan mulai berubah, tidak lagi berupa gambaran utuh yang bisa kita pegang, tetapi seperti serpihan-serpihan yang melayang dan hanya dapat ditangkap sesekali.  

Kita mencoba merangkai mereka kembali menjadi satu kesatuan yang utuh. Pada akhirnya kita sadar, bahwa bahkan kenangan pun tergerus oleh waktu.  

Keinginan untuk kembali menjadi semakin mengabur, membentuk peta yang tak lagi sesuai dengan tempat yang kita tuju.  

Rindu bukan lagi sekadar keinginan, tetapi membawa kita semakin jauh dari sesuatu yang pernah kita anggap begitu nyata.  

Kita melangkah mengikuti aliran kehidupan, membawa kenangan yang berpendar redup serupa bintang-bintang kecil berpencar di langit malam.  

Cahaya yang barangkali tak cukup untuk menerangi seluruh perjalanan kita, tetapi cukup untuk memberikan kompas penunjuk jalan.  

Apakah kita hanya berjalan tanpa tahu ke mana arah pasti? Apakah kenangan-kenangan itu benar-benar membantu kita menemukan jalan, atau justru hanya mengikat kita pada tempat yang sudah jauh kita tinggalkan?  

Kita tidak pernah benar-benar tahu, hanya merasakan kehadiran mereka sebagai sesuatu yang begitu nyata tapi tak terjangkau.  

Apakah cahaya kenangan itu memberi kita kehangatan, atau justru membuat kita semakin merasa dingin karena kesadaran bahwa waktu itu sudah tiada?  

Kita mencari makna dari kenangan-kenangan itu, berharap mereka memberi kita jawaban tentang siapa kita sebenarnya, atau mengapa kita harus terus berjalan meski terjebak dalam kubangan kenangan.  

Barangkali kita tidak pernah menemukan jawaban pasti tentangnya. Kenangan tetap hidup dalam diri kita, membawa jejak-jejak waktu yang tidak pernah bisa dilupakan.  

Tetapi, apakah kita harus terus mengandalkan kenangan memandu langkah-langkah kita ke depan? Ataukah kita cukup diberkahi dengan kehadiran masa lalu sebagai sebuah pelajaran, tanpa harus terjebak di dalamnya?  

Rasanya hanya perlu melangkah, membiarkan waktu mengarahkan. Beban kenangan terasa begitu berat, dan langkah terasa menguji kita.  

Bahwa perjalanan itu sendiri, dengan keraguan dan ketidak-pastiannya, adalah bagian dari kehidupan yang paling nyata.  

Segala sesuatu dalam hidup ini, betapapun indahnya, bersifat sementara. Dan justru karena itulah, ia menjadi berharga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun