Mohon tunggu...
zuhdi ilham nadjir
zuhdi ilham nadjir Mohon Tunggu... Penulis - buruh tulis

cuman buruh tulis yang hoby filsafat dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Nostalgia

20 Desember 2024   11:56 Diperbarui: 20 Desember 2024   17:43 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Art: Photograph by Taylor Jones 

Kita melangkah mengikuti aliran kehidupan, membawa kenangan yang berpendar redup serupa bintang-bintang kecil berpencar di langit malam.  

Cahaya yang barangkali tak cukup untuk menerangi seluruh perjalanan kita, tetapi cukup untuk memberikan kompas penunjuk jalan.  

Apakah kita hanya berjalan tanpa tahu ke mana arah pasti? Apakah kenangan-kenangan itu benar-benar membantu kita menemukan jalan, atau justru hanya mengikat kita pada tempat yang sudah jauh kita tinggalkan?  

Kita tidak pernah benar-benar tahu, hanya merasakan kehadiran mereka sebagai sesuatu yang begitu nyata tapi tak terjangkau.  

Apakah cahaya kenangan itu memberi kita kehangatan, atau justru membuat kita semakin merasa dingin karena kesadaran bahwa waktu itu sudah tiada?  

Kita mencari makna dari kenangan-kenangan itu, berharap mereka memberi kita jawaban tentang siapa kita sebenarnya, atau mengapa kita harus terus berjalan meski terjebak dalam kubangan kenangan.  

Barangkali kita tidak pernah menemukan jawaban pasti tentangnya. Kenangan tetap hidup dalam diri kita, membawa jejak-jejak waktu yang tidak pernah bisa dilupakan.  

Tetapi, apakah kita harus terus mengandalkan kenangan memandu langkah-langkah kita ke depan? Ataukah kita cukup diberkahi dengan kehadiran masa lalu sebagai sebuah pelajaran, tanpa harus terjebak di dalamnya?  

Rasanya hanya perlu melangkah, membiarkan waktu mengarahkan. Beban kenangan terasa begitu berat, dan langkah terasa menguji kita.  

Bahwa perjalanan itu sendiri, dengan keraguan dan ketidak-pastiannya, adalah bagian dari kehidupan yang paling nyata.  

Segala sesuatu dalam hidup ini, betapapun indahnya, bersifat sementara. Dan justru karena itulah, ia menjadi berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun