Mohon tunggu...
Hanum Ilyas
Hanum Ilyas Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu RT

Membaca, menulis, berkebun dan shopping

Selanjutnya

Tutup

Nature

Anak Papua, Tidak Ada Beras Tidak Makan

14 Desember 2024   01:04 Diperbarui: 14 Desember 2024   22:06 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang anak Papua duduk termenung di sebuah pos pemantauan di Tingginambut. Bang Ula, anggota polisi yang menjaga pos tersebut menghampiri sang anak . Ia pun bertanya-tanya mengapa anak itu sendirian termenung di dalam gelap?

"Kau su makan belum?" tanya polisi tersebut.

"Belum," jawab si anak sambil menengadahkan matanya kepada polisi tersebut.

"Kenapa tra (tidak) makan?" kata pak polisi.

"Mama tra masak, tra ada beras," kata si anak berbaju kaos oranye dan celana pendek hitam itu dengan suara pelan, sambil memandangi lantai kayu di hadapannya.

"O ya sudah. kalau begitu kau makan dulu. Kau tunggu di sini ya."


Tidak lama pak polisi baik hati itu mengantarkan sepiring nasi dengan lauk dan sayur seadanya.

Si anak makan dengan lahap sekali. Setiap suapan nasi yang masuk ke mulutnya benar-benar dinikmati.

"Habis ini kau minum, pulang istirahat, besok sekolah ya," ucap pak polisi kepada anak laki-laki tersebut.

Percakapan singkat itu diabadikan oleh polisi yang juga Youtuber Ulagay Tingginambut21 dan yang saya saksikan di channel Youtube @BANG_ULA21 pada 5 Desember 2022 lalu. Hingga 22 November 2024, Ketika tulisan ini dibuat, video berdurasi 58 detik itu sudah disaksikan oleh 1,1 juta orang dan disukai 50 ribu orang.

Pelupuk mata saya menghangat, air mata saya hampir menetes seusai menonton video itu. Saya merasa tertampar Ketika anak itu mengungkapkan bahwa dirinya belum makan karena ibunya tidak masak.

Kenapa ibunya tidak masak? Karena tidak ada beras.


Jawabannya sesederhana itu, "Mama tidak masak karena tidak ada beras."

Demi Beras dan Mi

Tingginambut, dimana video itu direkam adalah salah satu distrik di Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua Tengah. Tingginambut berpenduduk sekitar 11.604 jiwa  di 22 kampung. Luas daerahnya tercatat 197 kilometer persegi atau 2,76% dari luas kabupaten. Distrik ini berada di ketinggian 1.520 meter di atas permukaan laut (Mdpl).

Dari sensus yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, penduduk terbanyak di Tingginambut adalah laki-laki sejumlah 4.429 orang, dan sisanya 2.161 perempuan. Penduduk  produktif berusia 15-64 tahun mendominasi wilayah tersebut sebanyak 4.875 orang, disusul anak dan remaja berusia 0-14 sebanyak 1.498 orang. Sedangkan penduduk berusia lebih dari 65 tahun tercatat ada 217 orang.

Dalam publikasi survey BPS, 2020 yang saya unduh, tidak didapati data terkait pangan di sana. Banyak kolom-kolom kosong yang tidak terisi serupa dengan perut-perut kosong anak-anak di sana.

Bang Ula, polisi dan Youtuber yang bertugas di Tingginambut mengabadikan banyak momen kelaparan anak-anak di sana, didorong oleh hati nuraninya. Banyak dari mereka yang tidak makan dan berlari meminta pertolongan ke pos pemantauan tempat dia berjaga.

Ia pun selalu menerima mereka dengan tangan terbuka. Kebanyakan dari mereka meminta beras, mi instan dan uang tunai, yang mereka barter dengan pangan lokal serupa pisang, mangga, papaya, cabai, tomat, sawi, daun ubi, daun singkong, daun bayam, jagung, kayu bakar, hingga telur ayam.

Ada momen ketika seorang mama menggendong anaknya menukar sebungkus besar daun singkong dalam noken, dengan sekantong beras kira-kira seberat 3 kilogram.

Suatu ketika seorang ibu yang sedang hamil besar mendatangi Bang Ula dengan membawa sekantong besar timun untuk ditukar dengan beras. Setelah mengetahui sang ibu hamil berjalan kaki dari kampung sebelah, Bang Ula memberinya 5 kilogram beras dan satu kotak mi instan.

Jika yang datang anak-anak, kebanyakan dari mereka ingin menukar hasil buminya dengan mi instan. Pisang raja 2 sisir misalnya, dibarter dengan 2-3 mi instan. Ada juga yang membawa sekantong kecil cabai rawit atau beberapa ikat sawi dengan 3-4 bungkus mi instan ditambah dengan sejumlah kudapan, permen atau cokelat yang dimilikinya.

Tadinya saya pikir Bang Ula itu pedagang yang buka warung di sana. Ternyata, Bang Ula itu polisi yang tergerak hatinya untuk berbagi dengan warga di sekitar.  Sumber dananya didapat dari sumbangan orang-orang baik di internet. Hal itu selalu disebutnya di akhir video, setiap memberikan barang kebutuhan pokok maupun uang tunai kepada warga sekitar.

Senyum bahagia mereka saat mengucapkan terima kasih adalah hal yang membuat Bang Ula dan banyak warga net terharu. Ada momen Ketika seorang anak kecil menggotong 3 batang kayu panjang di pundaknya. Langkah kakinya tertuju pada kediaman Bang Ula. Ia mengatakan, kayu itu hendak ia tukarkan dengan beras karena di rumahnya tidak ada beras untuk mereka makan.

Bang Ula menanyakan, beras itu mau dimakan dengan apa? "Dengan ubi," jawab si anak. Mengetahui hal itu, Bang Ula memberikannya uang untuk membeli telur, disertai sebungkus wafer.

Saya sebagai seorang ibu rumah tangga tahu betul rasanya jika beras tidak ada di rumah. "Mau dikasih makan apa suami dan anak-anak?" Pikiran sudah kalut pokoknya kalau di dapur belum ada nasi.

Saat beras langka beberapa waktu lalu, saya berkeliling ke lima minimarket untuk membeli beras kemasan 5 kg yang biasa saya beli. Tapi, rupanya tidak ada. Saya pun membelinya lewat aplikasi online dan berhasil mengamankan 5 kilogram beras. Cukup untuk seminggu ke depan untuk saya makan bersama suami dan dua anak saya.

Kemudahan itu tentu saja tidak bisa didapatkan oleh masyarakat Tingginambut di Kabupaten Puncak Jaya, dan banyak daerah lain di Papua.


Pangan lokal riwayatmu

Hingga saat ini, urusan perut masih menjadi salah satu masalah pelik rakyat Papua, yang tidak jarang berujung pada bencana kelaparan.

Jika dahulu masyarakat Papua dikenal dengan kebiasaannya mengonsumsi sagu sebagai pangan lokal mereka, maka hari ini semua berubah. Beras dan mi instan kini menjadi dua sumber pangan yang digemari masyarakat Papua.

Tidak hanya di Tingginambut, tapi juga di Asmat. Banyak sekali video yang tersebar di dunia maya yang memperlihatkan anak-anak Papua ketagihan mi instan yang mereka konsumsi mentah, tidak dimasak. Beberapa anak bahkan makan mi instan itu 2 sampai 3 kali seminggu.

Bagaimana dengan konsumsi sagu yang menjadi pangan lokal orang Papua?

Mari kita tengok hasil penelitian Universitas Papua yang dipublikasikan di Jurnal Sosio Agri Papua Vol 13 No 1 Juni 2024. Para peneliti terdiri dari Christin Budiarti Kamakaula, Agatha Wahyu Widati dan Maria R Palit membeberkan secara jelas fenomena pergeseran pola konsumsi orang Papua terhadap pangan pokok lokal.

Penelitian dilakukan pada suku Asienara yang mendiami Kabupaten Kaimana di Provinsi Papua Barat, diketahui bahwa konsumsi beras dan mi instan warga di sana lebih banyak daripada pangan lokal setempat.

Konsumsi beras rata-rata mencapai 30 kilogram per bulan atau 1.000 gram per hari. Jumlah ini 4x lipat dari konsumsi sagu yang hanya 7,3 kilogram per bulan atau 243,3 gram/hari.

Konsumsi beras juga melampaui pisang yang hanya 12 kilogram per bulan atau 400 gram/hari, singkong 3,5 kilogram, keladi 2 kilogram, maupun ubi jalar 1,2 kilogram per bulannya.

Sebanyak 50% responden yang disurvei mengatakan, sagu kurang tersedia di dekat mereka sedangkan beras lebih mudah didapat. Tanaman sagu kebanyakan terdapat di hutan dan hanya sedikit warga yang membudidayakannya.

Untuk mendapatkan tepung sagu juga sulit karena banyak warga yang enggan menokok sagu dipedalaman hutan. Selain membutuhkan waktu, biaya, juga tingginya ancaman keselamatan.

Rata-rata jarak kebun atau hutan sagu dengan Kampung Yarona misalnya, sejauh 9,83 kilometer yang ditempuh selama 2,26 jam. Bahkan ada responden yang membutuhkan waktu hingga 6 jam untuk ke kebun sagu dengan berjalan kaki 4 sampai 5 jam.

Jika menggunakan longboat selama 3-4 jam, dibutuhkan biaya Rp100.533 untuk membeli bahan bakar sebanyak 7,73 liter per perjalanan. Sementara, dengan uang sebesar itu, mereka sudah bisa membeli pangan nonlokal beras maupun mi instan setidaknya untuk kebutuhan satu minggu. Tidak heran jika frekuensi makan beras mereka lebih sering dari pangan lokal seperti ubi dan pisang.

Dari survey itu juga diketahui, sebanyak 96,66% responden menyatakan suka dengan beras. Hampir setiap hari mereka mengonsumsi nasi. Kaum dewasa mengaku lebih senang mengonsumsi pangan lokal, namun terpaksa mengikuti selera anak-anak yang lebih suka memakan beras. Pangan lokal lainnya dianggap sebagai makanan tambahan atau sampingan.

Sebenarnya masih ada asa agar sagu bisa kembali menjadi panglima pangan di masyarakat Papua. Preferensi warga suku Aseinara misalnya, masih menyatakan minatnya kepada sagu. Tidak ada yang menjawab kurang suka terhadap sagu karena adat dan tradisi mereka untuk mengonsumsi sagu dalam bentuk papeda, sinoli atau tiraga.

Yang harus dilakukan pemerintah adalah mendekatkan sumber pangan lokal mereka agar lebih mudah diakses dan didapatkan.
 

Potensial dikembangkan

Kementerian Perindustrian menyatakan, salah satu komoditas pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan adalah sagu. Alasannya, pohon sagu dapat tetap tumbuh meskipun saat banjir ataupun pada saat masa kekeringan karena kemarau Panjang.

"Pohon sagu tidak terdampak fenomena alam seperti La Nina dan El Nino," sebut Dirjen Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika dikutip dari laman Antaranews.com.

Indonesia, terangnya, memiliki lahan sagu yang diperkirakan mencapai 5,5 juta hektare dari total 6,5 juta hektare luas lahan sagu di dunia atau 84,6%. Dari total luas tersebut, sebanyak 5 juta hektare dari luas lahan sagu di Indonesia atau 90%-nya, berlokasi di daerah Papua.

Menurut Dirjen Putu Juli, pohon sagu dapat tumbuh hingga mencapai 30 meter dan satu pohon sagu dapat menghasilkan hingga 300 kilogram bahan baku tepung sagu.

Meski lahan sagu melimpah di Papua, lantas mengapa sampai sekarang masyarakat masih harus berjibaku mendapatkan sagu secara tradisional?

Putu Juli mengungkapkan, hal itu terjadi karena pengolahan sagu dalam negeri belum secara masif dilakukan.

Soal keanekaragaman hayati di Papua, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI  Renata Puji Sumedi Hanggarawati mengatakan, Papua bukan hanya kaya akan lahan sagu, tapi juga ubi dan talas. "Sebanyak 224 kultivar ubi jalar ditemukan di Lembah Baliem dan Wissel, sedangkan di Anggi tercatat 60 kultivar ubi jalar (Schneider et al., 1993 dalam Suhendra dkk, 2014)," ucapnya seperti dikutip dari laman Kehati.or.id.

Dengan semua kekayaan pangan lokal yang dimiliki masyarakat Papua itu, kita semua tentu berharap agar tidak ada lagi anak Papua yang kelaparan. Mungkinkah ini bisa terealisasi di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto? (zzz)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun