Mohon tunggu...
Hanum Ilyas
Hanum Ilyas Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu RT

Membaca, menulis, berkebun dan shopping

Selanjutnya

Tutup

Nature

Anak Papua, Tidak Ada Beras Tidak Makan

14 Desember 2024   01:04 Diperbarui: 14 Desember 2024   22:06 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mari kita tengok hasil penelitian Universitas Papua yang dipublikasikan di Jurnal Sosio Agri Papua Vol 13 No 1 Juni 2024. Para peneliti terdiri dari Christin Budiarti Kamakaula, Agatha Wahyu Widati dan Maria R Palit membeberkan secara jelas fenomena pergeseran pola konsumsi orang Papua terhadap pangan pokok lokal.

Penelitian dilakukan pada suku Asienara yang mendiami Kabupaten Kaimana di Provinsi Papua Barat, diketahui bahwa konsumsi beras dan mi instan warga di sana lebih banyak daripada pangan lokal setempat.

Konsumsi beras rata-rata mencapai 30 kilogram per bulan atau 1.000 gram per hari. Jumlah ini 4x lipat dari konsumsi sagu yang hanya 7,3 kilogram per bulan atau 243,3 gram/hari.

Konsumsi beras juga melampaui pisang yang hanya 12 kilogram per bulan atau 400 gram/hari, singkong 3,5 kilogram, keladi 2 kilogram, maupun ubi jalar 1,2 kilogram per bulannya.

Sebanyak 50% responden yang disurvei mengatakan, sagu kurang tersedia di dekat mereka sedangkan beras lebih mudah didapat. Tanaman sagu kebanyakan terdapat di hutan dan hanya sedikit warga yang membudidayakannya.

Untuk mendapatkan tepung sagu juga sulit karena banyak warga yang enggan menokok sagu dipedalaman hutan. Selain membutuhkan waktu, biaya, juga tingginya ancaman keselamatan.

Rata-rata jarak kebun atau hutan sagu dengan Kampung Yarona misalnya, sejauh 9,83 kilometer yang ditempuh selama 2,26 jam. Bahkan ada responden yang membutuhkan waktu hingga 6 jam untuk ke kebun sagu dengan berjalan kaki 4 sampai 5 jam.

Jika menggunakan longboat selama 3-4 jam, dibutuhkan biaya Rp100.533 untuk membeli bahan bakar sebanyak 7,73 liter per perjalanan. Sementara, dengan uang sebesar itu, mereka sudah bisa membeli pangan nonlokal beras maupun mi instan setidaknya untuk kebutuhan satu minggu. Tidak heran jika frekuensi makan beras mereka lebih sering dari pangan lokal seperti ubi dan pisang.

Dari survey itu juga diketahui, sebanyak 96,66% responden menyatakan suka dengan beras. Hampir setiap hari mereka mengonsumsi nasi. Kaum dewasa mengaku lebih senang mengonsumsi pangan lokal, namun terpaksa mengikuti selera anak-anak yang lebih suka memakan beras. Pangan lokal lainnya dianggap sebagai makanan tambahan atau sampingan.

Sebenarnya masih ada asa agar sagu bisa kembali menjadi panglima pangan di masyarakat Papua. Preferensi warga suku Aseinara misalnya, masih menyatakan minatnya kepada sagu. Tidak ada yang menjawab kurang suka terhadap sagu karena adat dan tradisi mereka untuk mengonsumsi sagu dalam bentuk papeda, sinoli atau tiraga.

Yang harus dilakukan pemerintah adalah mendekatkan sumber pangan lokal mereka agar lebih mudah diakses dan didapatkan.
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun