Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghukum Demokrasi

15 Desember 2018   19:17 Diperbarui: 15 Desember 2018   19:28 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi yang direduksi menjadi "wadah propaganda elit" akan menciptakan "demokrasi tak efektif", karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada pembangunan kekuasaan melalui "permainan citra", dengan mengabaikan realitas sosial. Diskusi pada ruang publik semakin membias, yang diperlihatkan dan diskusikan bukan persoalan publik, namun menaikkan posisi tawar di hadapan konstituen.

Demokrasi tidak mempunyai dasar dan legitimasi kuat di dinamika politik, karena figur politik sering tidak mempunyai kompetensi, kemampuan, dan kapasitas seperti yang dilukiskan melalui citra. (Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 2004). Nah, tugas kita ialah bagaimana mengembalikan spirit demokrasi.

Tentunya untuk bisa menghasilkan demokrasi yang bermartabat, dan menghasilkan pandangan yang optimis diperlukan upaya dan pembenahan secara fundamental. Demokrasi  diperlukan upaya "reinterpretasi demokrasi". Perlu upaya mendesain kembali demokrasi secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari etika kekuasaan yang berbasis kearifan lokal.

Di sisi lain, pada tingkat komunitas politik-yaitu partai politik-kebebasan lebih diartikan sebagai kebebasan absolut, dan "komunikasi politik" parsial, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan pendidikan warga. Fungsi - fungsi partai selain tidak berjalan baik, hal - hal tersebut bukan menjadi hal yang fundamental. Sehingga, demokrasi 'bebas nilai', yang mengakibatkan ruang publik dipenuhi dengan wacana politik liar.

Demokrasi menjadi kehilangan nilai yang menggiring ke arah "demokrasi ilusi", yaitu permainan bebas "citra politik", yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan yang sesungguhnya.

Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, dan sangat kering propagandis yang dimainkan. Kekuasaan berhasil diperebutkan, namun kepentingan rakyat terabaikannya. Pikiran publik tidak lagi diperas pada aneka persoalan substansial, di balik gemerlap kemasan citra politik yang berhasil diramu oleh elit.

Sebab lainnya, demokrasi di Indonesia berjalan pincang disebabkan parpol bukan merupakan sebuah institusi publik. Parpol an sich bukan institusi publik. Harusnya didorong pada institusi publik, karena parpol yang berorientasi pada kepentingan publik adalah institusi publik.

Sebagai institusi publik, partai tidak terjebak pada mekanisme kedaulatan partai atau elit, namun kedaulatan publik yang menjadi basis pendukung atau konstituen. Demokrasi mestinya mengarahkan partai menjadi institusi publik.

Catatan: Sabtu (15/12) telah dimuat di koran Malut Post dan Tribun Manado (online)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun