Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghukum Demokrasi

15 Desember 2018   19:17 Diperbarui: 15 Desember 2018   19:28 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Trisno Mais, S.AP, Alumnus Fispol Unsrat Manado, dan aktivis GMKI Manado asal Desa Buo (Malut)

SETELAH rezim otoriter Orde Baru (OrBa) pada 1998 runtuh, sistem demokrasi dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Publik semakin berharap akan ada sebuah pemerintahan yang bebas korup. Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

Publik  kehilangan kepercayaan. Praktik demokrasi yang cenderung menyimpan dan bias nilai, penyebabnya. Dalam banyak kasus, pejabat publik malahan menjadi 'pasien' lembaga penegakan hukum: terjerat kasus korupsi.

Demokrasi malah diasosiasikan dengan aneka bentuk kekerasan massal, kekacauan publik, demonstrasi anarkistis, tindak kejahatan, perilaku intoleransi, ketiadaan hukum, matinya etika publik, runtuhnya moral serta ketakpedulian sosial.

Data dari Komisi Pemilihan Umum RI memperkirakan potensi konflik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2018 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam Data Indeks Kerawanan Pemilu IKP 2017 yang dirilis oleh Bawaslu, Papua Barat memiliki IKP sebesar 3,38%, Aceh sebesar 3,33% dan Banten sebesar 3,15%.

Sedangkan DKI Jakarta dengan IKP sebesar 2,30% berada di urutan kelima setelah Sulawesi Barat. Pun, kekerasan yang terjadi selama kampanye cenderung meningkat dengan presentase 49% kasus kekerasan terjadi di masa persiapan, dan 51% kasus terjadi di masa kampanye. Data yang diperlihatkan adalah suatu rangkaian dari kandidat tertentu akan dimenangkan oleh proses demokrasi. Lucu kan? Ini fenomena yang tak lazim.

Ketika kondisi dan dinamika politik semacam itu terus dipertontonkan, maka wajah demokrasi sontak berubah wujud, ia kehilangan nilai dan makna. Sebelumnya publik meyakini dari 'rahimnya' akan melahirkan berbagai kebijakan politik yang berpihak terhadap kepentingan rakyat, namun kenyataannya tidak lah demikian.

Karena jabatan - jabatan tersebut hanya dijadikan sebagai instrument untuk mendapatkan sebuah kekuasaan. Ironinya, kekerasan seakan menjadi legal, pelanggaran dan kecurangan saat pemilu dianggap hal biasa. Elit kehilangan etika dan moral!

Meski begitu, menolak demokrasi serta menyetujui dan menawarkan ideologi di luar itu adalah pilihan yang kurang tepat, belum bisa dijamin. Karena hingga saat ini belum ada ideologi yang lebih menjamin proses politik yang diyakini menagakomodir kepentingan publik.

Memang diakui bahwa, selama ini pejabat publik yang dipilih rakyat dengan proses yang demokratis selalu berkhianat. Karena setalah menjabat, mandat rakyat dilupakan. Publik 'sakit hati' atas itu. Ketika hal ini beruntun panjang, maka setiap momentum politik karena trauma politik tadi telah membekas sebagai luka masa lalu, suara rakyat menjadi dagangan politik.

Rakyat bisa dibilang menjadi kambing hitam atas keteledorkan elit diwaktu lampau. Klimaksnya, publik memberikan keputusan politik dengan bayaran. Konon, pasaran ditentukan oleh pemilik hak suara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun