Nah, dari terminologi politik yang bebas nilai semacam itu, kursi menjadi mahal. Jadi, untuk menduduki jabatan politik tak cukup hanya memiliki kemampuan dan keahlian pada peran dan fungsinya. Sebagai wakil rakyat misalnya harus memahami benar tugas dan kewenangan. Itu tak cukup.
Setiap kontestasi (legislatif maupun eksekutif) harus memiliki kemampuan finansial. Ketika berhasil menduduki jabatan politik, pejabat yang dipilih rakyat dengan sistem politik transaksional kecil kemungkinan akan berpikir kepentingan publik. Karena dalam proses - proses politik berlangsung tadi tidak sedikit uang yang dikeluarkan. Korup? Itu sangat berpotensi, karena yang ada di dalam pikiran mereka ialah bagaiama supaya uang yang dikeluarkan saat pemilu segara kembali.
Proses demokratisasi sejauh ini telah mewarisi banyak sekali 'dosa kekuasaan'. Sebab, kebanyakan pejabat seketika menjabat banyak yang dijerat kasus kasus korupsi. Masyarakat sakit hati dengan realitas politik yang pragmatis semacam itu. Dampaknya, publik berkeputusan salah, para kontestasi mengeluarkan uang jutaan bahkan milyaran rupiah supaya bisa memenangkan pemilu.
Tahun 2018 misalnya, dari data KPK, terhitung hingga saat ini terdapat 98 kepala daerah yang sudah diproses oleh KPK dalam 109 perkara korupsi dan pencucian uang. Hal teresebut selain melanggar sumpah jabatan, kepala daerah berarti mengkhianati masyarakat yang telah memilih secara demokratis. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/7/2018), menjelaskan sejak Januari hingga pertengahan Juli 2018, 19 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka.
Dari jumlah itu, sebanyak 15 di antaranya berawal dari operasi tangkap tangan. Data lain misalnya ( lihat di sini https://nasional.tempo.co/read/1133780/dalam-6-tahun-kpk-tangkap-34-kepala-daerah-berikut-daftarnya )
Soal lain, masalah pokok dalam proses demokratisasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks kebebasan (freedom), sebagai prinsip sentral demokrasi. Ketimbang menjadi prinsip pembangun, kebebasan itu sering justru menjadi luka dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Di sini, perlu reinterpretasi terhadap makna kebebasan dalam konteks demokrasi kita: apakah kebebasan diintrepestaikan menjadi domain individual atau sosial?
Apakah tidak berbatas atau terbatas? Sifatnya absolut atau relative? Yang pasti, dalam sistem demokrasi versi apapun, tidak ada yang disebut kebebasan penuh. Dalam praktiknya, demokrasi dianalogikan semacam melepaskan kepalanya, namun ekor tetap digenggam.
Argumen saya bukan tanpa dasar. Kenyataannya, demokrasi kini menjadi panggung pertunjukan kebebasan yang parsial (bertindak, berbicara, protes, manipulasi, persuasi, berekspresi) tanpa ada respek terhadap aneka regulasi dan aturan.
Akibatnya, penyusunan aneka rancangan undang-undang (jabatan, profesi, buruh, pornografi, pendidikan, media) cenderung diterima secara negatif, karena dianggap membatasi kebebasan individual dan kelompok. Padahal, kekuatan demokrasi adalah pada aturan bersama.
Demokrasi harus lahir dari kesadaran yang sifatnya kolektif. Bukan, individualis! Proses demokratisasi yang berlangsung dapat diartikan sebagai pergerakan budaya politik ke arah "individualisme". Politik yang berwatak "individualisme" menjadikan individu sebagai "inisiator" dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang membangun "kepercayaan" masyarakat melalui wacana politik sesat (politic of image).
Media komunikasi dimanipulasi untuk menciptakan citra diri. Berbagai rekayasa elit memainkan. Hal itu tentunya sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat. Di masa depan, tampaknya perlu semacam "reposisi" subjektivitas ini, agar tidak terjadi asimetri politik.