Data mengenai anak difabel di Indonesia menurut Kemen PPPA ada sekitar 1,5 juta namun tidak secara akurat bisa lebih besar dari data tersebut. Namun hanya ada anak berkebutuhan khusus sebanyak 49.647 yang merasakan pendidikan dari total anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, taraf pendidikan nasional belum dapat menjangkau semua anak.
Pada umumnya, anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang mengalami kelainan dan gangguan pada perkembangan sehingga membutuhkan hal yang khusus dalam penangannya menurut Dinie Ratri Desiningrum.
Gangguan pada perkembangan anak dapat dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain:
- Gangguan penglihatan
- Gangguan pendengaran
- Gangguan kecerdasan
- Gangguan emosi dan perilaku
- Gangguan di tubuh
- Autis
- Indigo
- Anak yang mengalami keterlambatan pada proses belajar
- Sifat istimewa pada kecerdasan dan bakat
Anak yang memiliki kebutuhan khusus dapat mengalami berbagai kesulitan sebagai hasil dari permasalahan yang mereka hadapi pada hari-harinya. Menilik pada pernyataan Soewito, 1993 dalam (Jauhari, 2017) permasalahan tersebut dapat berupa:
- Gangguan atau kondisi perkembangan yang menyebabkan kesusahan dalam kondisi fisiknya untuk bergerak, masalah mental, kurangnya pendidikan, kurangnya aktivitas sosial atau kegiatan yang mencakupi ekonomi, dan sulit tercapainya kesejahteraan.
- Keluarga yang seharusnya dapat mendukung namun tidak memberikan rasa aman karena rendahnya pengetahuan, melakukan diskriminasi pada anaknya, menutupi kehadiran anaknya, atau malah terlalu mengistimewakan sehingga perkembangan semakin terhambat.
- Stigma yang melekat pada masyarakat seperti meragukan kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus, kurangnya sikap kepedulian, dan kurangnya lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
- Tidak dijalankannya undang-undang yang mempermudah disabilitas oleh pemerintah.
Dalam hal ini, dikelompokkan hal-hal yang menjadi penghalang kesejahteraan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dan disabilitas oleh Departemen sosial:
- Kesulitan bergerak dan berpindah tempat pada aktivitas sehari-hari
- Masalah mental timbul dari rasa rendah diri dan menutup diri dari lingkungan luar
- Kesulitan untuk berkomunikasi
- Tidak ikut serta dalam lingkungan sosialnya
- Berbedanya tingkat produktivitas untuk bekerja dibanding orang pada umumnya
- Tidak tercakupi kebutuhan ekonomi karena kurang partisipasi sosial
Untuk mensejahterakan kehidupan anak berkebutuhan khusus dibutuhkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Akan tetapi hal tersebut masih belum tercapai oleh berbagai sebab, antara lain:
- Menyimpan keraguan pada anak berkebutuhan khusus mengenai potensi kemampuan yang dimiliknya.
- Tidak menaruh kepedulian pada masalah yang dialami anak berkebutuhan khusus.
- Dengan kurangnya sikap peduli, maka peran masyarakat terhadap memecahkan solusi masalah anak berkebutuhan khusus tidak tercapai.
- Anak berkebutuhan khusus masih membutuhkan organisasi atau lembaga sosial yang bergerak untuk membantu kegiatan mereka tercapai.
- Anak berkebutuhan khusus masih sulit mendapati fasilitas umum yang dapat digunakan untuknya.
Pendidikan inklusif sudah dikenalkan berdasarkan dasar hukum pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus atau Memiliki Sifat Istimewa. Pendidikan inklusif merupakan salah satu sistem penyelenggaraan pendidikan yang menerapkan bahwa siswa yang memiliki kebutuhan khusus dapat mendapatkan pembelajaran bersama dengan siswa umum dalam satu tempat pendidikan (Khasanah dkk., 2018).
Hadirnya pendidikan inklusif bertujuan agar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dan anak lainnya mendapatkan hak yang sama. Dalam praktiknya, anak berkebutuhan khusus diberi perlakuan yang sama, tidak ada unsur ekslusif dibanding anak lain. Pendidikan inklusif disokong oleh dukungan lembaga, orang tua, dan juga masyarakat yang menampilkan kepedulian. Hasil dari pendidikan inklusif akan menghadirkan generasi penerus bangsa yang memiliki empati, simpati, menyikapi perbedaan dengan bijak, dan menolak diferensiasi dalam tatanan masyarakat.
Anak-anak berkebutuhan khusus dan/atau difabel seringkali ada pada keluarga menengah kebawah. Maka, pendidikan inklusif diharapkan dapat menjadi akses untuk mereka memperoleh pendidikan yang berkualitas sehingga kehidupan menjadi lebih baik. Adanya regulasi yang membuat semua lapisan dari masyarakat dapat memperoleh pendidikan yang layak sangat diperlukan.
Kemudian yang tidak jarang ditemui juga adalah Anak Berkebutuhan Khusus dengan kasus memiliki kecerdasan dan bakat yang istimewa. Walaupun memiliki kondisi yang berbeda, akan tetapi mereka memiliki hak yang sama. Hal yang harus dilakukan pada anak dalam kondisi ini adalah sistem pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Misalkan dengan diberikan kelas yang khusus dan program percepatan pendidikan dengan bimbingan yang tepat.
Sekolah sebagai pelaksana penyelenggaraan pendidikan tentu seharusnya mempunyai andil yang besar dalam pengayaan pendidikan inklusif. Guru memegang peranan langsung dalam hal ini. Tentunya, pendidikan inklusif membutuhkan peran guru yang dapat membimbing semua siswanya, dalam keadaan berkebutuhan khusus sekalipun. Guru merupakan pengamat bagi siswa dan kelas. Guru harus memiliki kemampuan dalam menganalisis keadaan karakteristik siswanya. Dengan diketahui karakteristik dan kemampuan siswa, maka guru dapat menentukan dan menjalankan strategi pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa. Dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan inklusif, guru pembimbing khusus sangat dibutuhkan untuk mendampingi siswa ABK.