[caption caption="Alva dan Bunda (Foto: Dokpri)"][/caption]
“Jika kami yang lulus SMP saja bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana, berarti seorang sarjana harus bisa menyekolahkan anak-anaknya lebih tinggi lagi di atas sarjana.”
Ucapan di atas merupakan harapan yang begitu tinggi untuk memperhatikan pendidikan generasi selanjutnya. Ucapan itu meluncur dari mulut ayah seorang teman saya ketika pesta perayaan keberhasilannya mendapatkan gelar sarjana beberapa waktu lalu. Gelar yang berhasil didapatkannya dengan perjuangan dan kerja keras orangtuanya dalam memenuhi biaya pendidikannya. Seringkali mereka harus keluar masuk rumah tetangga untuk mencarikan dana pinjaman, katanya. Harus gesit “gali lobang tutup lobang”!
Orangtua teman saya, sama seperti orangtua saya dan kebanyakan orangtua di daerah saya memang membiayai pendidikan anak tanpa perencanaan terlebih dahulu. Semuanya mengalir begitu saja. Kalau kebetulan rejeki bagus, kiriman biaya pendidikan lancar. Begitu juga sebaliknya, kiriman seret saat rejeki juga sedang mandeg. Padahal, kecuali untuk hal-hal yang urgen, nominal budget yang harus dikeluarkan setiap bulannya sudah tetap. Begitu juga dengan biaya kuliah dan jadwal pembayarannya pun sudah diinformasikan jauh hari sebelumnya. Seringkali mereka harus “gali lobang tutup lobang” untuk memenuhi biaya pendidikan yang memang tidak murah.
Mereka menahan malu dan menahan letih agar anaknya punya masa depan yang lebih baik. Mungkin karena rata-rata pekerjaan mereka hanyalah karyawan perusahaan kecil atau petani yang penghasilannya tidak menetap. Sangat jauh dibandingkan biaya pendidikan saat ini. Terutama biaya pendidikan untuk jurusan-jurusan favorit di universitas yang favorit pula.
“Gali Lobang Tutup Lobang”
Tantangan dalam membiayai pendidikan anak semakin hari pasti akan semakin sulit. Seiring dengan pendidikan yang semakin mahal dan akan semakin mahal seiring waktu. Bahkan terkadang peningkatan biaya pendidikan tersebut tidak sesuai dengan peningkatan pendapatan. Tidak heran jika setiap kali memasuki tahun ajaran baru, banyak sekali orang tua calon siswa yang pusing dengan banyaknya biaya yang harus mereka keluarkan. Bahkan untuk sekadar mendaftarkan si buah hati di taman kanak-kanak bermutu biasa-biasa saja. Tidak heran jika kemudian pegadaian laris manis, pemberi kredit pinjaman berbunga besar semakin dicari, dan “gali lobang” semakin biasa.
Gali lobang tutup lobang, tak bisa dipungkiri, telah menjadi tradisi awal tahun ajaran di masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah. Mending kalau ada benda berharga yang bisa digadaikan atau ada “lobang” yang bisa “digali”. Kalau tidak ada? Walhasil, banyak orang yang terpaksa membatalkan niatnya untuk mendaftarkan anaknya ke jenjang lebih tinggi karena ketiadaan biaya. Putus sekolah. Padahal banyak juga di antara mereka adalah anak-anak yang memiliki prestasi akademik cukup bagus dan keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikannya.
UNICEF Indonesia dalam buku laporan tahunannya mengungkapkan bahwa pada tahun 2014, terdapat lebih dari 6 juta anak dalam rentang usia 7-18 tahun yang putus sekolah.
[caption caption="Kurang lebih 6 juta anak Indonesia usia 7-18 tahun putus sekolah. (Sumber: www.unicef.org/indonesia)"]
Hal serupa juga dapat dilihat melalui data statistik. Angka Partisipasi Sekolah pendidikan formal di Indonesia mengerucut secara signifikan seiring kenaikan jenjang pendidikan. Angka Partisipasi Sekolah di jenjang perguruan tinggi pada tahun 2013 berada di angka 20,04 %. Ini artinya, hanya 20,04 % dari jumlah penduduk usia kuliah di seluruh Indonesia yang mengenyam pendidikan di jenjang perguruan tinggi.
[caption caption="Angka Partisipasi Sekolah, Angka Partisipasi Kasar, dan Angka Partisipasi Murni Tahun 2005-2013 (Sumber: www.bps.go.id)"]
Bagaimana dengan 79,96 % penduduk usia kuliah lainnya? Faktor kesulitan ekonomi dan motivasi dari orang tua ternyata memegang peranan terbesar siswa-siswi lulusan sekolah menengah atas tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Untuk itu, sebelum melanjutkan membaca tulisan ini, kita (orangtua) sebaiknya sepakati terlebih dahulu bahwa pendidikan itu sangat penting. Bukan hanya demi memperbesar peluang si anak di dunia kerja yang semakin kompetitif. Mampu menciptakan lapangan kerja dan mengubah kualitas pola pikir demi perbaikan ke generasi selanjutnya adalah yang terpenting.
Mahalnya Pendidikan dan Bagaimana Merencanakannya
Berapa besar biaya pendidikan yang dibutuhkan untuk menjadi dokter, pilot, atau Arsitek jika seandainya anak saya nanti berminat untuk menjadi salah satu profesi tersebut? Saya iseng-iseng mencoba berhitung melalui Simulator Pendidikan di AXA Indonesia. Dan hasilnya sungguh mengejutkan.
[caption caption="Perhitungan perkiraan biaya pendidikan menjadi pilot dengan simulator pendidikan AXA Mandiri (Sumber: https://axa.co.id/untukanakku/simulatorpendidikan)"]
“Wow!”
“Wih!”
“Wah!”
“Aduh..!”
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala dengan mulut ternganga ketika angka sepuluh digit itu muncul di monitor komputer saya. Jumlah yang fantastis itulah yang harus saya siapkan sebagai biaya pendidikan si kecil Alva nantinya. Saat ini dia memang baru berumur 5 bulan. Tapi buat saya, pendidikan adalah salah satu persiapan masa depan yang ada tingkat teratas dalam daftar hal-hal yang harus direncanakan sejak dini.
Respon Anda yang punya penghasilan standar, tapi punya cita-cita yang tinggi untuk menyekolahkan si buah hati setinggi-tingginya mungkin tidak akan jauh berbeda. Angka itu memang hanya sekedar perkiraan. Hasil simulasi hitung-hitungan biaya pendidikan masa depan yang nota benenya dihitung berdasarkan biaya rata-rata 8 perguruan favorit di Indonesia (UI, UGM, UNPAD, UNAIR, ITS, IPB, ITB dan Trisakti). Tapi perkiraan itu tentu saja dibuat dengan pertimbangan banyak aspek yang krusial: laju inflasi, standar mutu pendidikan, kebijakan pemerintah, dll. Hasil simulasi tersebut menunjukkan peningkatan total biaya pendidikan lebih dari enam kali lipat di bidang yang sama 23 tahun ke depan.
Lalu bagaimana saya yang punya penghasilan standar ini akan mampu memenuhi keinginan si kecil untuk mewujudkan cita-citanya nanti jika tanpa perencanaan? Pertanyaan ini jauh lebih sulit dibanding kalkulasi angka-angka tersebut. Bahkan jika penghasilan saya sekarang ikut meningkat enam kali lipat juga seiring waktu. Katakanlah seandainya dia bercita-cita menjadi pilot di masa depan dan membutuhkan total dana pendidikan sebesar yang tertera dalam gambar di atas. Saya, mau tidak mau, harus memasukkan agenda bekerja lebih keras lagi, lebih keras lagi dan lebih keras lagi, lalu menabung, menabung, dan menabung sebaik-baiknya supaya kelak tidak harus “gali lobang tutup lobang” untuk biaya pendidikan si kecil. Walau, jika dihitung, bekerja keras saja pasti tidak akan cukup jika tidak dibuatkan bentuk perencanaan yang baik sejak sekarang.
Saya harus memutar otak lebih cepat lagi untuk menyiapkan strategi yang tepat. Terutama demi kenyamanan si kecil untuk mengejar cita-citanya nanti. Berbagai pilihan perencanaan akhirnya muncul sebagai opsi. Mulai dari yang paling sederhana berupa investasi perhiasan, rekening khusus pendidikan anak, hingga akhirnya terpikirkan produk tabungan pendidikan atau asuransi pendidikan dari salah satu perusahaan asuransi.
Orangtua saya dan orang-orang tua di daerah saya sejak lama lebih percaya investasi perhiasan. Terutama perhiasan dari emas. Asuransi itu ribet, kata mereka. Kelebihan investasi perhiasan adalah pemenuhan kebutuhan darurat yang sangat mendesak, namun nilainya bergantung pada harga yang terus menerus fluktuatif dan biasanya disertai biaya potongan yang juga tidak sedikit. Pertambahan nilai investasi jenis ini juga ternilai sangat lambat. Karena itu, saya memutuskan bahwa investasi ini sama sekali tidak sesuai apabila tujuan saya adalah mengamankan pendidikan si kecil.
Membuka rekening khusus untuk pendidikan anak juga sempat terpikirkan dan kami lakukan. Saya dan istri menyisihkan sekian persen dari pendapatan dan menyetorkannya ke rekening khusus ini. Sistem ini sempat berjalan beberapa bulan, sebelum akhirnya kami “menguras” isi rekening khusus ini. Padahal bukan karena hal yang terlalu urgen. Rekening tabungan memang terlalu mudah diambil sesuka hati. Mikir lagi…
Tabungan pendidikan dan asuransi pendidikan dari salah satu perusahaan asuransi menjadi opsi berikutnya untuk dipikirkan. Setelah dipelajari, ternyata semuanya tidak seribet yang dikatakan selama ini dan yang terbayang sebelumnya.
[caption caption="Syarat dan ketentuan Asuransi Mandiri Sejahtera Cerdas dari AXA Mandiri (Sumber: www.axa-mandiri.co.id)"]
Secara sederhana, tabungan pendidikan tidak jauh berbeda dari rekening khusus seperti yang saya ceritakan di atas. Kita mendebet sejumlah uang, lalu kita mendapat manfaat berupa bunga tabungan. Dalam tabungan pendidikan, jumlah uang yang harus kita setorkan sudah ditentukan oleh kesepakatan dalam kontrak. Selain mendapatkan bunga, kita juga mendapatkan proteksi, walau biasanya nilainya lebih kecil dibanding dengan nilai proteksi dalam asuransi pendidikan. Namun sebagaimana tabungan biasa, nilai tabungan ini tidak akan bertambah jika kita berhenti atau terpaksa berhenti menyetorkan dana (meninggal).
Hal ini sedikit berbeda dengan produk asuransi pendidikan. Dalam asuransi pendidikan, dana yang kita setorkan sesuai jumlah premi untuk instrumen yang kita pilih mendapatkan proteksi penuh. Dengan kata lain, jika terjadi resiko berupa cacat atau kematian pemegang polis (kita), sebelum anak memasuki perguruan tinggi, maka pembayaran premi tersebut akan dilanjutkan oleh perusahaan asuransi yang kita pilih, sehingga jumlah dana pendidikan yang akan diberikan oleh perusahaan asuransi tidak berkurang dari hitung-hitungan jumlah dana pendidikan semula.
Bijak Memilih
Yap! Dari sekian banyak cara merencanakan pendidikan anak, tabungan pendidikan atau asuransi pendidikan sepertinya menjadi pilihan yang paling realistis. Karena bagaimanapun, kita tak akan pernah tahu perjalanan hidup kita terhenti di mana. Tinggal memilih perusahaan asuransi terbaik untuk memfasilitasi niat baik mempersiapkan pendidikan anak.
Membayangkan si kecil bisa sekolah setinggi yang dia mau tanpa terbentur tembok biaya membuat pembayaran premi tidak akan terasa sebagai beban. Selagi badan masih sehat, selama masih ada pendapatan yang bisa disisihkan, dan agar si kecil bisa berusaha mencapai cita-citanya dengan maksimal.
Saya beruntung bisa menyelesaikan pendidikan sampai sarjana karena tekad kuat dari kedua orangtua saya. Saya bisa membayangkan betapa sulitnya usaha mereka memenuhi kebutuhan pendidikan saya selama ini. Apalagi mereka hanyalah petani sederhana yang kala itu harus membiayai perkuliahan tiga orang anak sekaligus. Dari mereka saya belajar bagaimana merawat tekad untuk menyekolahkan si kecil Alva setinggi mungkin. Dari mereka pula saya belajar untuk mempersiapkan sejak dini. Setidaknya, seperti pesan mereka, agar nantinya saya tidak perlu “bergerilya” untuk “menggali lobang” ke rumah tetangga demi pendidikan si kecil.
Jika mereka berhasil dalam perjuangan mereka memberi saya gelar sarjana, saya harus bersiap-siap untuk berjuang memberi gelar yang lebih tinggi kepada anak saya. Bukankah itulah artinya perbaikan generasi? Tapi sekali lagi, semua tentu tergantung pada minat si kecil nantinya. Yang penting, saya sudah mempersiapkan diri untuk menjembatani mimpinya dan membantu diri sendiri, agar tidak terpaksa sibuk menggali dan menutup lobang sepanjang hidup.
Sebagai penutup, izinkan saya menyalin satu bait lirik lagu bang Roma, "Gali Lobang Tutup Lobang". Sekedar pengingat bahwa hidup tenang tanpa utang bisa saja kita dapatkan dengan bijak berencana. Terutama demi masa depan yang lebih baik.
Walau gajinya pas-pasan
(Enggak lebih engga kurang)
Walau hidupnya pas-pasan
(Asal cukup kebutuhan)
Walaupun gajinya pas-pasan
Walau hidupnya pas-pasan
Walaupun serba pas-pasan
Hidup ‘kan merasa terang
Asal tak dikejar hutang…
Enak tidur enak makan (hi-hu…)
:D
Semoga Bermanfaat.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H