Dunia akan berhenti maju, jika kaum muda bungkam melihat keadaan!
Tepat pada tanggal 21 Mei 2014, rakyat Indonesia mengenang kekuatan massa yang berhasil menggulingkan rezim dikatator Soeharto dari pangku kekuasaannya. Kelaparan, pengangguran, kebebasan direbut senjata, para ibu terkurung di rumah, menjadi alasan bagi kaum muda, mempelopori perlawanan rakyat dengan gagah berani memaksa Soeharto membacakan surat pengunduran diri dari presiden. 16 tahun kita telah meninggalkan sistem biadap Orde Baru, namun apakah para setan sudah lenyap? Tidak! mereka masih duduk bereratan dengan para reformis gadungan, Kemiskinan masih merajalela, tak ada kebebasan berideologi, perlawanan rakyat selalu direpresif dengan penculikan, penjara, pembunuhan, sumber daya alam dikeruk, manusianya dipekerjakan murah, tanah tani dirampas, menjadi bukti Orde Baru belum musnah!
Jutaan rakyat bergelimpangan tak berdaya! Investor bergembira.
Malapetaka 30 September 1965-1966 (Peristiwa G 30 S PKI), pembataian massal yang dilakukan Soeharto terhadap rakyat Indonesia, jutaan rakyat dibunuh, puluhan ribu dipenjara tanpa sidang, demokrasi dibungkam, menjadi titik awal kebangkitan sistem Orde Baru yang dibangun Soeharto, setelah berhasil menggulingkan presiden Soekarno. Menurut Bertrand Russel, “Dalam empat bulan saja, lima kali lebih banyak orang telah mati di Indonesia daripada di Vietnam selama 12 tahun.”
Lahirnya Orde Baru dapat ditelusuri dari sebuah peristiwa pada dini hari 1 Oktober, ketika beberapa orang jenderal diculik, dibunuh, dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Paginya, Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (KOSTRAD) sudah mengambil ahli militer dan merebut serta meguasai kota Jakarta.
Angkatan darat di bawah komando Soeharto berkonslidasi, kemudian diikuti konslidasi mahasiswa yang diwadahi di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1966, didirikan melalui hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, (Militer). PMKRI, HMI,PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi- organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Kemudian berujung dengan aksi-aksi mahasiswa dengan tuntutan Tritura: menuntut pembubaran PKI, Retool kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang. Dideklarasikan pada 10 Juni 1966 (Baca:http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/03/angkatan-66-dalam-pelukkan-militer.html).
Kekuatan Angkatan Darat mengawali politik pembersihan terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) dan organisasi-organisasi massanya melalui propaganda lewat media cetak dan eletronik dengan rekayasa! Penculikan para Jenderal serta kampanye hitam yang menuduh PKI dan simpatisannya membenci agama. Setelah kampanye hitam itu berhasil menipu rakyat, dimulailah operasi pembersihan lawan politiknya yaitu: PKI dan Soekarnois. Milisi-milisi sipil atau organisasi preman dan militer beraksi di desa dan kota, menculik, menyiksa, membunuh yang mereka anggap pendukung PKI. Puluhan ribu orang ditangkap, disiksa, ditahan dipenjara atau di kamp konsentrasi Pulau Buru tanpa melewati persidangan di pengadilan serta tanpa mengetahui kesalahannya, para tahanan politik dikurung tak berdaya. Anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ditangkap, diperkosa ditahan di berbagai tempat penahanan, setelah militer menghembuskan isu melalui pers dengan rekayasa bahwa terjadi upacara penyiksaan secara keji (menyilet alat kelamin para jenderal) di Lubang Buaya. Dan dituduhkan Gerwani melakukannya, tuduhan itu kemudian dijadikan landasan oleh militer, agar dapat bertindak melebihi setan: memperkosa, dan membunuh.
Terjadinya peristiwa ini masih meninggalkan tanda tanya besar, dan perdebatan sengit, tentang siapa sebenarnya yang memicu terjadi peristiwa tersebut, namun yang pasti militer beserta kroninya harus bertanggung jawab atas jutaan nyawa manusia yang hilang. Menurut penelitian dan studi beberapa ahli mengatakan tidak kurang dari 250.000 hingga satu juta orang tewas.
Carmel Budiardjo, Direktur Tapol, organisasi hak asasi manusia yang berbasis di London mengatakan, “Kejahatan Soeharto yang terbesar bukanlah begitu banyak orang telah terbunuh atas perintahnya dalam waktu enam bulan setelah ia merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno, bukan karena begitu banyak organisasi dinyatakan ilegal dan berjuta-juta orang telah dianiaya, melainkan bahwa ia telah menggunakan kebohongan-kebohongan untuk menciptakan kekuasaan teror dan mendirikan sistem represif yang mencengkram Indonesia.”
Setelah berhasil merebut kekuasaan, Soeharto membuka lebar-lebar pintu gerbang Indonesia untuk menyambut para investor. Keseriusan Soeharto menerapkan sistem kapitalisme di Indonesia, terlihat dengan tindakannya mengirim satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS-sebab itu tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Berkeley Mafia'-ke Swiss. Mereka menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat pengusaha internasional yang dipimpin Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya."
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul"The New Ruler of the World' yang bisa didownload di situs youtube, tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan kapitalis internasional. Dengan seenak perutnya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss.
Melalui UU No.1 tahun 1967. tentang Penanaman Modal Asing, Soeharto membuka pintu masuk investasi asing di sektor pertambangan. Dalam pasal 8 UU No. 1 tahun 1967 tersebut, dijelaskan bahwa; “Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.
Soeharto memperkenalkan sistem Kontrak Karya (KK), yaitu model kontrak antara pemerintah dan perusahaan asing, yang dianggap paling liberal dalam dunia industri pertambangan. Kebijakan-kebijakan ini benar-benar merupakan cermin dari sistem kapitalisme yang berada di sektor pertambangan.
Berangkat dari asumsi dalam KK tersebut, maka perusahaan pertambangan asing harus mendapat jaminan dari pemerintah. Terutama adalah jaminan bahwa mereka tidak akan mengalami nasionalisasi dan aneka klaim hak milik. Selain itu perusahaan pertambangan asing juga dijamin dari ancaman terorisme dan sabotase. Secara regulasi, perusahaan pertambangan asing juga terbebas dari ancaman pembatalan kontrak, dan aturan-aturan kaku berkait persoalan perpajakan, eksplorasi dan eksploitasi. Intinya, perusahaan pertambangan asing dapat melakukan akumulasi kapital, dengan nyaman.
Bagaimana penerapan KK dalam UU No. 1 tahun 1967 itu dijalankan, bisa dilihat pada bagaimana perlakuan pemerintah Indonesia terhadap PT. Freeport Indonesia, yang pertama kali mendapatkan KK Freeport benar-benar memperoleh perlakuan istimewa dari pemerintah. Draft KK itu bukan dibuat oleh pemerintah Indonesia, tetapi sepenuhnya disiapkan sendiri oleh Freeport untuk kemudian disetujui oleh Pemerintah Indonesia. Melihat perlakuan istimewa yang diterima Freeport dari Pemerintah Indonesia, maka segeralah investasi asing berlomba-lomba masuk Indonesia. Maka jangan heran, setelah Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya (KK) pada 1967, dalam waktu singkat terdapat 9 perusahaan asing yang berhasil mengantongi KK dari pemerintah Indonesia hingga tahun 1970.
Di era Orde Baru rakyat dibungkam! Perlawanan terhadap modal asing dibalas kerusuhan.
Keberhasilan Soeharto merebut kekuasaan dari tangan Soekarno menjadi titik awal sejarah Orde Baru, yang memutar-balikan kebijakan ekonomi politik di Indonesia, setelah pembantaian massal dilakukan Soeharto lalu membuat regulasi anti demokrasi, “KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966 TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DI SELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME.” Tidak hanya kebebasan berideologi terampas, namun lebih dari itu, selama kepemimpinannya, Soeharto tak menghendaki adanya organisasi non-pemerintah, semua organisasi rakyat yang berdiri di era Soekarno dibubarkan, Semua organisasi sektor rakyat disatukan dalam payung organisasi besar buatan pemerintah, buruh Indonesia dipaksa bergabung di dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), para petani dipaksa bergabung ke dalam Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI), perempuan digiring ke dalam PKK, Dharma Wanita, disibukan dengan program tata boga, dan didikan yang harus terus memperingati suami, jangan menentang kekuasaan Soeharto.
Kehidupan rakyat diawasi oleh struktur teritorial dari Istana hingga pedesaan, praktek fasisme mengunakan politik kekerasan terjadi dimana-mana. Para buruh yang melawan dibungkam dengan PHK, Petani yang mempertahankan tanahnya diintimidasi oleh struktur kekuasaan yang digalang militer, Kaum muda dan Mahasiswa yang kritis berhadapan dengan sepatu lars, moncong senjata dan penjara. Sentralisme, stabilitas dan pembangunan menerjang kehidupan setiap rakyat Indonesia, Pemerintah tak pernah salah. Kebebasan hilang dari kehidupan rakyat. Kritik dan perbedaan pendapat menjadi barang langkah. Pers dikontrol hingga menjadi corong rejim. Sikap politik oposisi, kritis, dan berbeda dari pemerintah, dimarjinalkan dengan pasal-pasal antisubversi.
Kekejaman Soeharto tercipta demi kepentingan besarnya, menjual sumber daya alam Nusantara, terilihat dengan masuknya modal asing yang begitu besar dari berbagai macam konglomerat internasional. Kebijakan Soeharto yang terus melanggengkan modal masuk di Indonesia mendapat perlawanan keras dari mahasiswa, hingga terjadinya kerusuhan, yang dikenang sebagai peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Peristiwa Malari dipicu dengan kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk, dijadikan momentum awal perlawanan mahasiswa yang anti modal asing. Jan P Pronk tiba di Jakarta pada Minggu, 11 November 1973. Ketika ia tiba di Bandara Kemayoran, mahasiswa menyambutnya dengan aksi massa membawa gambar-gambar poster sebagai bentuk kritik karena kedatangannya di Bumi Nusantara. Bukan hanya Jan P Pronk yang didemo massa yang tergabung dari berbagai gerakan rakyat, orgnisasi mahasiswa, buruh dan tani . Kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei, pada 14-17 Januari juga disambut dengan demonstrasi. Rencananya massa mau menyambut kedatangan Tanaka Kakuei di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun rencana ini gagal, karena para anjing negara (Polisi dan Militer) sudah memblokade Bandara Halim Perdanakusuma dari hadangan massa. Akibat penjagaan ketat itu sebagian massa mengalihkan aksinya di sekitar Jakarta Pusat.
Aksi massa diwarnai dengan kerusuhan di kota Jakarta, kerusuhan itu sendiri meliputi pengrusakan beberapa fasilitas umum dan bangunan toko di kawasan Ibukota seperti pertokoan Senen, Jakarta Pusat, dan Roxy, Jakarta Barat. Selama dua hari daerah sekitar ibu kota diselimuti asap. Pembakaran dan Penjarahan menjadi pemandangan yang dapat disaksikan saat itu.
Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin juga membeberkan kerusakan yang terjadi akibat pembakaran saat kerusuhan massa. "522 buah mobil dirusak dengan 269 di antaranya dibakar, 137 buah motor dirusak (94 buah dibakar), 5 buah bangunan dibakar ludes, termasuk 2 blok proyek pasar Senen bertingkat 4. Serta gedung milik PT Astra di Jalan Sudirman, dan 113 buah bangunan lainnya dirusak."
Sampai hari ini kerusuhan tersebut masih menjadi perdebatan, tentang dalang di baliknya, kelompok mahasiswa yang dipelopori Hariman Siregar mengakui, tindakan kerusuhan tidak dilakukan oleh mahasiswa. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.
Ada analisis tentang fraksi elit militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan "jenderal kalajengking" (scorpion general).
Perlawanan rakyat memaksa Soeharto tumbang.
Kebencian terhadap rezim Soeharto sudah menyebar di segala laipisan masyarakat, tidak hanya mahasiswa yang gelisah, dengan pengekangan berpikir dan tak ada kebebasan berorganisasi, kaum buruh juga mendapatkan dampak buruk dari kekuasaan Orde Baru, upah murah serta tak ada jaminan kesehatan membuat kaum buruh selangkah demi selangkah melakukan perlawanan terhadap Orde Baru. Sedangkan petani bangkit mengangkat parang ketika tanah yang dimilikinya dirampas rezim otoriter Soeharto, salah satu peristiwa perlawanan petani di pulau Jawa adalah Kedung Ombo: Sejarah waduk kedung ombo adalah sejarah peristiwa dehumanisasi (pelanggaran kemanusiaan dan stigmatisasi komunis bagi siapapun yang menolak digusur), peristiwa depolitisasi (pembungkaman kritisisme massa dan teror negara terhadap sipil tak bersenjata), dan peristiwa ekonomi (modernisme ala agen pemerintahan kapitalis dengan hutang dari World Bank dan Bank Exim Jepang yang sampai kini belum terbayar, serta perampasan tanah petani yang menjadikan mereka jatuh dalam jurang kemiskinan).
Peristiwa Waduk Kedung Ombo (WKO) bermula dari rencana pemerintah Orde Baru mendirikan bendungan raksasa seluas 6.576 hektar, areanya mencakup bagian wilayah di tiga Kabupaten, yaitu; Sragen, Boyolali, dan Grobogan. WKO yang sedianya diperuntukan membendung lima aliran sungai, dirancang memiliki luas 6576 hektar, terdiri dari wilayah perairan yang sudah ada seluas 2.830 hektar dan sisanya yang 3.746 hektar akan di dapat melalui “pembebasan” lahan pertanian masyarakat. Program pembangunan WKO sebenarnya merupakan bagian dari program pemerintahan Orde Baru dibawah Soeharto untuk “me-modernisasi” pembangunan perekonomian Indonesia di sektor pertanian melalui pembangunan infrastruktur irigasi yang sebenarnya juga tidak dibutuhkan oleh masyarakat, mengingat perairan yang sudah ada sebelumnya dirasa telah mencukupi kebutuhan irigasi petani. Sehingga megaproyek perluasan dan pembangunan bendungan kedung ombo dirasa hanya menjadi lahan basah dan bagi-bagi proyek kroni-kroni Soeharto. Pendanaan megaproyek ini diambil dari hutang luar negeri senilai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.
Pembangunan proyek tersebut mendapat perlawanan yang begitu sengit dari penduduk setempat yang tanahnya tergusur proyek pembangunan kedung ombo, mereka bersikukuh untuk tetap mempertahankan rumah dan tanah mereka. Selain berdalih ingin mempetahankan tanah leluhur ada juga yang merasa bahwa ganti rugi yang diberikan pemerintah sangat tidak layak. Pada dasarnya mekanisme ganti rugi telah didesain oleh World Bank senilai Rp.10.000/m, akan tetapi Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m, sedangkan yang terjadi dilapangan adalah pemaksaan kepada warga untuk menerima ganti rugi Rp 250,-/m. Disisi lain warga yang nekat bertahan mengalami terror yang disponsori Negara, berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Sampai akhirnya pemerintah membuka bendungan beberapa sungai agar rumah dan tanah warga tenggelam dan tersapu air, sehingga mereka mau direlokasi sebagai transmigran ke Sumatera. Represif Negara dan mekanisme ganti rugi yang penuh tipu muslihat ini, benar-benar sebuah penindasan terhadap kemanusiaan dan keluar dari nalar manusia. Di mana-mana rakyat melakukan perlawanan, hingga tiba dipenghujung tahun 1997-1998 Soeharto tak mampu menghindar dari krisis yang melanda Indonesia, Data finansial (nilai tukar rupiah thd dollar) dari tahun ke tahun. Dan fakta bahwa ternyata, selama periode kekuasaan Orba, keuangan kita hancur perlahan. Akhir tahun 1967 (beberapa bulan orba resmi berkuasa). Nilai kurs $ terhadap Rp adalah 1$= Rp. 235, dan terus naik hingga Rp. 378 Pertengahan 1971 (bulan Agustus): devaluasi pertama kalinya, dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 Pada November 1978, devaluasi lagi sebesar 50,6%, dari Rp. 415 menjadi Rp. 625. Pada 30 Maret 1983 (harga minyak di pasaran dunia menurun tajam) sehingga pendapatan devisa berkurang drastis, pemerintah kembali mendevaluasi $ sampai 38% dari Rp. 702 menjadi Rp. 970. sehingga per 1$ nya menjadi Rp. 1.354 dari sebelumnya yaitu Rp. 970 Kemudian, nilai tukar rupiah terdepresiasi (menyusut nilainya) terhadap dollar sebesar 40%, dari Rp. 970 menjadi Rp. 1.354. Dan 12 September 1986 ; keempat kalinya mendevaluasi Rupiah, kali ini 21% yaitu dari Rp. 1.354 menjadi Rp. 1.644 per dollar AS. Hingga akhir Oktober 1997, rupiah terus terdepresiasi sebesar 124%. Jadi, kalau dihitung total prosentase depresiasi nilai mata uang rupiah selama 30 tahun kekuasaan Orba, rupiah telah terdepresiasi hingga 1.466% terhadap dollar. (Baca: https://www.facebook.com/notes/936180083075085/) Semakin menambah kegelisahan rakyat, dimana terdapat penambahan pengangguran yang signifikan, teror senjata semakin ganas dirasakan rakyat sipil, BBM melambung tinggi, sembako naik drastic, pemicu memuncaknya kemarahan rakyat dan mahasiswa yang akhirnya menyerukan penggulingan Soeharto dengan menduduki Gedung DPR dan Instansi vital lainnya.
Ada banyak sebab yang membuat Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri tepat pada tanggal 21 Mei 1998, selain desakan perlawanan rakyat yang semakin membesar, Soeharto juga mendapat tekanan dari konglomerat iternasional, yang menganggap Soeharto tak lagi dapat dipertahankan, karena rakyat sudah antipati terhadapnya, demi menjaga kelancaran modal, para konglomerat internasional mau tak mau mendesak Soeharto untuk turun dari pangku kekuasaannya.
Sejumput kebebasan dan kemiskinan di era reformasi.
Benar jika dikatakan ruang kebebasan sedikit demi sedikit terbuka di Indonesia, namun tidak untuk demokrasi. Kebebasan berpendapat dan perdebatan sudah tak menjadi barang langkah di Indonesia. Banyaknya bermucunlan buku-buku yang dahulu telarang di jaman ORBA, kini mulai terjajal di berbagai macam tokoh buku. Sudah tidak adanya kontrol sosial yang ketat hingga sampai ke pedesaan, kampus-kampus dan pabrik-pabrik, namun bukan bearti kebebasan sepenuhnya ada di Bumi Nusantara, sebab dalam pristiwa tertentu, gagahnya bedil masih mengancam (kasus BIMA, Lampung, Munir, Aceh). Aksi-aksi massa buruh setelah bergulirnya reformasi banyak terlihat menghiasi halaman gedung Istana dan Instansi gedung pemerintah lainnya. Buruh-buruh pabrik sudah mau keluar, bergadengan tangan bersama kelas pekerja yang tertindas, seruan tuntutan mulai mereka galakkan, walaupun pada aksi mogok nasional tahun lalu, banyak mendapatkan serangan dari preman yang dibiayai pengusaha. Aksi-aksi massa dan seruan tuntutan yang lebih baik hadir dari banyak rakyat yang terbunuh, para pejuang demokrasi diculik dan dibunuh dalam peristiwa mencengkeram kota-kota besar di Indonesia.
Semakin banyak menjamur lembaga-lembaga pro kemanusiaan, anti korupsi di Indonesia setelah runtuhnya rezim otoriter. Lahirlah banyak komisi-komisi/lembaga ad-hock (yang bisa bermamfaat jika dijalankan demi kepentingan rakyat dan dapat menjawab persoalan dan tuntutan reformasi). lahirlah komisi-komisi seperti KPK (2003), Komnas Perempuan (Oktober 98), Mahkamah Konstitusi (Oktober 2003), Komisi Yudisial (2004), Ombudsman (2000), termasuk adanya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). komisi/lembaga negara tersebut merupakan hasil dari perlawanan rakyat dalam peristiwa 98. Kebebasan itu lahir dari penderitaan panjang rakyat Indonesia selama 32 tahun di bawah cengkeraman rejim Soeharto, namun sampai saat ini, kemiskinan yang melanda di era Orde Baru masih bercokol erat dengan rakyat Indonesia. Fenomena kemiskinan saat ini kembali menghantui pembangunan di Indonesia. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Tahun 1996 persentase penduduk miskin menjadi 11%. Menurut BPS (SMERU, 2002), pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sedangkan data terbaru Biro Pusat Statistik menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia per November 2006 menunjukkan 39,05 juta jiwa (17,76%) berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2006). Menurut Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 109 juta jiwa (49,5%) apabila dihitung berdasarkan konsumsi per hari US$ 2 (Suruji, 2006). Kedua laporan di atas menunjukkan hasil yang berbeda karena menggunakan parameter kemiskinan yang berbeda. Namun yang menjadi fokus utama bukanlah mempertentangan perbedaan parameter, tapi semakin meningkatnya jumlah rakyat miskin. Hingga sampai tahun 2014 ini kemiskinan tetap bertahan, hasil dari penilitian BPS kemiskinan di Indonesia masih merajalela dari tahun ketahun. (Baca: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=7)
Kebebasan belum direbut sepenuhnya, kemiskinan merajalela, pendidikan mahal, upah murah masih menghantui kaum buruh, rakyat desa diusir dari tanahnya, banyak hutan dibabat, dibakar, perlawanan dibungkam dengan teror senjata, menandakan Orde Baru belum tumbang.
Tolak pemilu borjuis 2014, lawan militerisme dan bangun partai alternatif.
Dalam waktu dekat ini, rakyat Indonesia kembali dihadapkan pada momentum pemilu presiden yang akan dilaksanakan di tanggal 9 Juli mendatang. Semua partai tak jauh berbeda, sama-sama merusak lingkungan, memberi pendidikan mahal, kesehatan mahal, pro upah murah, dan tunduk pada kaum pemodal. Bukan sebuah rahasia umum lagi ketika kita membicarakan para peserta pemilu, bahwa mereka dengan gagah, menjual secara terang-terangan sumber daya alam kita kepada kaum pemodal, dengan mengeluarkan regulasi yang tentunya disenangi oleh kaum pemodal, UU MIGAS, UU Tenaga Kerja, UU PT, dan berbagai macem regulasi lainnya yang tidak pro terhadap kesejahteraan rakyat. Tidak hanya para partai yang bobrok menjadi landasan kita menolak pemilu, namun sistem pemilu itu sendiri yang selalu disebut wujud demokrasi hanyalah sebuah omong kosong. Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan kebijakan Negara. Sementara di negeri ini, yang ada hanyalah demokrasi prosuderal, memaksa rakyat memilih para sampah, namun tak dapat mengambil kembali suaranya jika para sampah berkhianat dengan rakyat. Sehingga rakyat tidak memiliki kepentingan untuk mengikuti pemilu, sebab pemilu elit 2014 adalah ajang para babi berdasi merebut kekuasaan, agar dapat menjual Sumber Daya Alam Indonesia, tanpa memikirkan jerit tangis rakyat di seantero Bumi Nusantara. Selama rakyat masih kelaparan, tak sekolah, lingkungan rusak parah, perempuan dimarjinalkan, maka rakyat harus tetap menolak pemilu elit borjuis 2014 yang tidak dapat dijadikan jalan keluar bagi rakyat!
Militerisme adalah watak yang hari ini mendominasi di berbagai partai peserta pemilu elit 2014. mereka menghalalkan segara cara kekerasan untuk mengamankan kekuasaannya. Di saat Partai Demokrat dan kroninya berkuasa, peristiwa pelanggaran HAM kerap terjadi di berbagai daerah, Bima berdarah, peristiwa Lampung, menjadi contoh nyata partai yang berkuasa beserta kroninya melegalkan pembataian, demi kepentingan modal dan mempertahankan kekuasaannya. Namun militerisme yang kental di dalam kubu tentara kali ini mulai bangkit perlahan-lahan menapaki panggung politik di Indonesia, bahaya yang harus dilawan oleh rakyat Indonesia! Sebab sejarah Militer di Indonesia sangat kental dengan watak militerisme. Berikut sepenggal sejarah mengenai perkembangan watak militerisme di Indonesia yang menyelimuti TNI: Pada awal terbentuknya TNI, posisi-posisi srategis banyak dikuasai oleh para perwira-perwira hasil pendidikan penjajah Belanda (KNIL) dan fasis Jepang (PETA) lebih diarahkan untuk menindas rakyat Indonesia itu sendiri. Sementara itu laskar-laskar rakyat diberangus dan dilucuti senjata-senjatanya dengan kebijakan RE-RA (restrukturiasi dan rasionalisasi) yang dijalankan oleh kabinet Hatta (si tangan besi). Kebijakan RE-RA tersebut berasal dari kepentingan kapitalis yang tertuang di dalam “Red Drive Proposal” atau “Usul-usul Pembasmian Kaum Merah” yang dibuat di Sarangan pada tanggal 21 Juli 1948. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Amerika Serikat bersedia memberikan uang dan akan mendukung campur tangan PBB, berakibat pada pengusiran Belanda dari tanah Indonesia. Hal tersebut dengan syarat: Indonesia harus memutuskan hubungan dengan London dan unsur-unsur komunis dalam grup-grup bersenjata kerakyatan harus dihapuskan. Kesepakatan Hatta dengan Amerika mengakibatkan peristiwa Madiun. Ribuan rakyat mati dihantam kerasnya senjata dari pasukan Siliwangi di bawah kepemimpinan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Keruntuhan Soekarno, membawa angin segar bagi Militer untuk menjalankan cita-citanya berkuasa di panggung politik Indonesia, terlihat jelas ketika Soeharto berkuasa menerapkan Dwi-Funsi ABRI yang sudah lama dicanangkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, kepentingan tersebut ditutupi oleh Soeharto dengan mengumbar konsepsi: Bahwa sipil masih lemah, dan tentara harus menjaga Bangsa dan Negara dari ancaman yang berasal dari luar maupun dari rakyat sendiri!
Militer memiliki stuktur sejajar dengan struktur sipil, yang berbentuk struktur Komando Teritorial (KOTER). Struktur dari Mabes TNI (nasional), Komamdo Daerah Militer (Provinsi), Komando Resort Militer, Komando Distrik Militer (Kota/Kabupaten), Komando Rayon Militer (Kecamatan), Bintara Pembina Desa.
Selain menghabiskan anggaran yang luar biasa besar ( sebagai contoh pembangunan Kodam baru bisa menghabiskan dana hingga 100 triliun), Komando Teritorial ini juga sekedar menjadi alat untuk mengawasi rakyat, mengontrol aspirasi politik rakyat (terutama saat pemilihan umum) atau menjadi sumber pelanggaran hak asasi manusia. (menurut laporan KOMNAS HAM, yang melibatkan baik personil, staf, maupun institusi komando territorial)
Kekuatan lama (Sisa-sisa ORBA) mulai kembali bangkit dengan berbagai macem lambang partai, menciptakan sejumlah regulasi anti rakyat (UU PKS, UU ORMAS, UU KAMNAS) yang menjadi legalitas mereka, jika melakukan kekerasan demi keamanan modal dan stabilitas politik. Selama watak militerisme menguasai kekuasaan, dapat menjadi hambatan besar bagi gerakan buruh menuntut kesejahteraan dan kebebasan berserikat. Negara tak akan membiarkan gerakan buruh terus membesar, gagahnya senjata akan terus menghadang setiap perlawanan buruh. Itu lah sebabnya kenapa militerisme harus dilawan dalam pemilu elit borjuis 2014 ini. Tak ada kesejahteraan, tak ada demokrasi, jika militer berkuasa kembali. Para partai tak bisa menjadi tempat rakyat memanjatkan harapan, situasi ini menjadi landasan untuk rakyat membangun alat politiknya sendiri. Kaum buruh yang hari ini memiliki gerakan terbesar dari sektor gerakan rakyat lainnya dapat menjadi pelopor pembangunan partai untuk rakyat. Sudah saatnya kaum buruh menuju politik, sebab beberapa kali kemenangan kaum buruh dilapangan, saat melakukan mogok nasional tak dapat dinikmati karena keputusan para elit yang berkuasa tak berpihak pada buruh, sehingga kaum buruh mempunyai kepentingan untuk menempatkan perwakilannya di lingkaran kekuasaan, agar perjuangan menutut upah dan kebebasan berserikat lebih mudah diraih oleh kaum buruh.
Menuju politik, bukan bearti menebar para kader serikat untuk masuk ke semua partai yang tak dapat dipercaya, menuju politik bukan bearti pimpinan serikat mendukung pelanggar HAM yang ingin berkuasa. Menuju politik bukan bearti harus tunduk di bawah pengaruh partai-partai penipu rakyat.
Partai alternatif untuk rakyat dapat dijadikan media pendidikan bagi rakyat, selama 32 tuhan rakyat dibungkam mengenal ideologi dan politik, sehingga harus ada alat yang menghimpun seluruh rakyat untuk mengenal pengetahuan tentang politik dan ideologi, tanpa pendidikan untuk rakyat partai alternatif hanya menjadi mimpi. Partai alternatif juga dapat dijadikan ruang perdebatan dari segala macam perspektif yang pro-demokrasi, sekaligus menjadi pendidikan bagi rakyat. Syaratnya: adanya kebebasan propaganda di dalam partai alternatif. Partai alternatif dapat menjadi anti tesa dari partai politik peserta pemilu borjuis 2014. Partai alternatif harus mengusung agenda rakyat, pendidikan gratis, kesehatan gratis, upah layak, kebebasan berserikat, reformasi agraria, dan usut tuntas kasus pelanggaran HAM!
Panji-panji perjuangan berkibar melawan sisa-sisa Orde Baru.
Jika hari ini rakyat melihat para elit yang bersaing merebutkan panggung kekuasaan adalah mereka yang juga bereratan dalam panggung kekuasaan Orde Baru, artinya sisa-sisa ORBA belum hilang di negeri ini, menandakan corak Orde Baru tidak hanya dengan melihat sosok-sosok tokoh yang dahulu berada dalam lingkaran Soeharto. Namun jauh dari itu kita harus melihat beberapa tahun setelah rezim Soeharto tumbang, apakah praktek ekonomi politik yang diterapkan di masa Orde Baru sudah hilang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita boleh mengambil contoh persoalan derasnya arus modal yang masuk ke Indonesia melalui proyek MP3EI, akan banyak mengakibatkan penggusuran tanah rakyat dan pengerukan sumber daya alam Nusantara, tidak hanya sampai di situ, corak kapitalistik yang ada di era Orde Baru lebih dikembangkan oleh rejim yang berkuasa saat ini, semua itu terlihat semakin meningkatnya jumlah investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Selain sistem ekonomi yang kapitalistik, salah satu dari ciri khas kepemimpinan Orde Baru adalah pengekangan terhadap ideologi yang sampai hari ini masih menempatkan ideologi tertentu menjadibarang haram untuk dipelajari dan diterapkan. Selain pengekangan terhadap ideologi, rakyat Indonesia masih terus dihadapkan pada regulasi yang membungkam kebebasan berpendapat rakyat, dimana dalam regulasi tersebut, menjadi halal jika negara melakukan penculikan, penyadapan, bagi siapapun yang dianggap mengganggu stabilitas Negara, regulasi itu berbentuk; UU PKS, UU Ormas, UU Intelejen, dll.
Semakin nyata bukan, jika sisa-sisa Orde Baru bukan prasangka dari segelintir kelompok kiri, namun pasti adanya sesuai dengan situasi yang ada di negeri ini, dimana kekuatan lama mulai kembali berkonslidasi untuk saling bersaing merebut panggung kekuasaan. Di atas sudah dijelaskan betapa biadapnya kekuasan Orde Baru yang menumpas jutaan rakyat dan menebarkan teror selama 32 tahun kepada rakyat Indonesia, hari ini jika kita tetap menganggap melawan sisa Orde Baru menjadi bagian yang tak perlu di dahulukan, maka kita akan kebelinger dan masuk kembali ke jaman di mana kebebasan terasa mahal.
Sisa-sisa Orde Baru dalam pemilu presiden mendatang menjadi kandidat kuat yang dapat merebut kekuasaan Negara, seperti Prabowo dan Hatta, calon presiden yang diusung kekuatan koalisi besar (koalisi Indonesia Raya) yang tergabung di dalamnya Golkar, PPP, PAN, PKS, Gerindra, PBB, jika dilihat dari hasil pemilihan legislatif, jumlah yang di dapat dari seluruh partai yang tergabung di koalisi Indonesia Raya hampir menembus 50% suara dari keseluruhan suara pemilu legislatif. mengerikan bukan jika Prabowo menjadi presiden di negeri ini, jika kita sedikit melisik sejarah tentang kejahatan kemanusian yang dilakukan Prabowo, masih tercatat dalam ingatan sejarah kita, bahwa Prabowo pelaku dan otak penculikan 13 aktivis pro-demokrasi. Saat itu Prabowo menjadi pimpinan tertinggi KOPASSUS yang di dalamnya terdapat kelompok kecil bernama Tim Mawar. Tim Mawar yang berada di dalam Kopassus ini menjadi kaki tangan Prabowo untuk menculik aktivis pro-demokrasi, campur tangannya dalam penculikan aktivis pro-demokrasi menjadi penyebab utama pemecatan Prabowo dari angkatan bersenjata Indonesia. Tidak hanya penculikan aktivis! Masih banyak sederet kasus pelanggaran HAM yang melibatkan sosok Prabowo. Seperti penyerangan etnis Tionghoa yang terjadi di penghujung runtuhnya kekuasaan Soeharto, yang diinisiasi oleh Prabowo Subianto menunjukan wataknya yang fasis! Kami tak ingin dipimpin oleh pembatai berkuda, Mussolini, Hitler, dan Juga Prabowo Subianto.
Di sisi lain, kandidat kuat adalah gabungan dari reformis gadungan dan sisa Orde Baru, Jokowi dan Jusuf Kala, pasangan ini juga memiliki dukungan kuat dari PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI, jika dihitung juga melalu jumlah suara yang mereka dapatkan mendekati angka 50% dari keseluruhan jumlah suara. Dua kandidat yang sudah mendaftarkan namanya ke KPU untuk menjadi calon agen kapitalisme (Presiden dan wakil presiden), dengan sorak-sorak gembira para pendukung, rasa optimis yang begitu tinggi, berlomba mendapatkan simpati rakyat, dengan tujuan yang sama, yaitu: menindas rakyat lebih dalam lagi dengan sistem keditaktoran Orde Baru dan kapitalistik yang tak terkontrol. Kita mengetahui bahwa Jokowi tidak pro terhadap kaum buruh, saat mogok nasional berlansung, Jokowi menolak mentah-mentah tuntutan buruh, salah-satunya kenaikan upah 50 %, artinya jokowi juga bagian dari kaki tangan penguasa yang pro terhadap sistem kapitalisme. (Baca: http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/01/politik-moncong-pencitraan-koin.html)
Perlawanan rakyat sudah saatnya disatukan untuk menghadang kekuatan Orde Baru, yang secara berlahan mulai bangkit, siap menendang kebebasan dari negeri ini, kita mengetahui bersama, bahwa sistem biadap Orde Baru adalah sampah terbesar di dunia, yang dipenuhi kekejian rezim, menyiksa, membunuh, menculik, penjara, menjadi bagian penting yang tak pantas dilupakan. Hari kejatuhan Soeharto adalah kemenangan besar rakyat yang dapat dijadikan momentum menghadang laju sisa-sisa ORBA, untuk memperingati rakyat banyak nama yang belum kembali, menuntut penangkapan pelaku penculik dan pemburuh para korban yang ditelan keganasan sistem Orde Baru. Kebebasan yang sudah direbut oleh gerakan rakyat sebelumnya, harus dipertahankan, dirawat, hingga sampai pada kebebasan sejati, sehingga menjadi penting persatuan rakyat dibangun, sebagai pelopor penolakan rakyat terhadap sistem Orde Baru yang mulai dibangun kembali oleh para elit. Dalam momentum kejatuhan Soeharto, aksi massa dilakukan untuk memperingati rakyat bahaya laten militerisme, poster-poster dan selebaran disebar di penjuru kampus, desa, kampung dan pabrik, mengepung pusat-pusat kekuasaan, menekan negara menyelesaikan persoalan kejahatan kemanusian di jaman Orde Baru.
Pena: Ziwenk. (Saat ini aktif di PEMBEBASAN, selain senang menulis berbagai artikel mengenai situasi politik di Indonesia, ia juga aktif terlibat dalam perlawanan rakyat. Hobinya sederhana, yaitu: bercocok tanam di belakang kosnya, bunga mawar adalah tanaman yang banyak menghiasi kebunnya)
Daftar Refresnsi.
http://ekosospol.wordpress.com/2011/08/06/tragedy-waduk-kedung-ombo-sejarah-teror-yang-di-sponsori-negara/
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/07/19/kedungombo-wisata-rakyat-tertindas-478313.html
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/aksi-buruh-tuntut-pemimpin-pelanggar-ham
http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/62130/daftar-ke-kpu-prabowo-hatta-dihadang-demo-aktivis-ham
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H