Mohon tunggu...
Ziwenk Iskra
Ziwenk Iskra Mohon Tunggu... -

Aku penulis amatir yang tak terlatih menulis seperti para Akademisi di dalam ruang kelas, dari kecil sampai besar sekolah bukan tempatku. Yang aku punya dalam menulis hanya la kejujuran dan keberpihakan ku kepada rakyat yang tertindas. Menulis tanggung jawabku pada kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Kejatuhan Soeharto dengan Perlawanan!

30 Mei 2014   20:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Soeharto memperkenalkan sistem Kontrak Karya (KK), yaitu model kontrak antara pemerintah dan perusahaan asing, yang dianggap paling liberal dalam dunia industri pertambangan. Kebijakan-kebijakan ini benar-benar merupakan cermin dari sistem kapitalisme yang berada di sektor pertambangan.

Berangkat dari asumsi dalam KK tersebut, maka perusahaan pertambangan asing harus mendapat jaminan dari pemerintah. Terutama adalah jaminan bahwa mereka tidak akan mengalami nasionalisasi dan aneka klaim hak milik. Selain itu perusahaan pertambangan asing juga dijamin dari ancaman terorisme dan sabotase. Secara regulasi, perusahaan pertambangan asing juga terbebas dari ancaman pembatalan kontrak, dan aturan-aturan kaku berkait persoalan perpajakan, eksplorasi dan eksploitasi.  Intinya, perusahaan pertambangan asing dapat melakukan akumulasi kapital, dengan nyaman.

Bagaimana penerapan KK dalam UU No. 1 tahun 1967 itu dijalankan, bisa dilihat pada bagaimana perlakuan pemerintah Indonesia terhadap PT. Freeport Indonesia, yang pertama kali mendapatkan  KK Freeport benar-benar memperoleh perlakuan istimewa dari pemerintah. Draft KK itu bukan dibuat oleh pemerintah Indonesia, tetapi sepenuhnya disiapkan sendiri oleh Freeport untuk kemudian disetujui oleh Pemerintah Indonesia. Melihat perlakuan istimewa yang diterima Freeport dari Pemerintah Indonesia, maka segeralah investasi asing berlomba-lomba masuk Indonesia. Maka jangan heran, setelah Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya (KK) pada 1967, dalam waktu singkat terdapat 9 perusahaan asing yang berhasil mengantongi KK dari pemerintah Indonesia  hingga tahun 1970.

Di era Orde Baru rakyat dibungkam! Perlawanan terhadap modal asing dibalas kerusuhan.

Keberhasilan Soeharto merebut kekuasaan dari tangan Soekarno menjadi titik awal sejarah Orde Baru, yang memutar-balikan kebijakan ekonomi politik di Indonesia, setelah pembantaian massal dilakukan Soeharto lalu membuat regulasi anti demokrasi, “KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966 TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DI SELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME.” Tidak hanya kebebasan berideologi terampas, namun lebih dari itu, selama kepemimpinannya,  Soeharto tak menghendaki adanya organisasi non-pemerintah, semua organisasi rakyat yang berdiri di era Soekarno dibubarkan, Semua organisasi sektor rakyat disatukan dalam payung organisasi besar buatan pemerintah, buruh Indonesia dipaksa bergabung di dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), para petani dipaksa bergabung ke dalam Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI), perempuan digiring ke dalam PKK, Dharma Wanita, disibukan dengan program tata boga, dan didikan yang harus terus memperingati suami, jangan menentang kekuasaan Soeharto.

Kehidupan rakyat diawasi oleh struktur teritorial dari Istana hingga pedesaan, praktek fasisme mengunakan politik kekerasan terjadi dimana-mana. Para buruh yang melawan dibungkam dengan PHK, Petani yang mempertahankan tanahnya diintimidasi oleh struktur kekuasaan yang digalang militer, Kaum muda dan Mahasiswa yang kritis berhadapan dengan sepatu lars, moncong senjata dan penjara. Sentralisme, stabilitas dan pembangunan menerjang kehidupan setiap rakyat Indonesia, Pemerintah tak pernah salah. Kebebasan hilang dari kehidupan rakyat. Kritik dan perbedaan pendapat menjadi barang langkah. Pers dikontrol hingga menjadi corong rejim. Sikap politik oposisi, kritis, dan berbeda dari pemerintah, dimarjinalkan dengan pasal-pasal antisubversi.

Kekejaman Soeharto tercipta demi kepentingan besarnya, menjual sumber daya alam Nusantara, terilihat dengan masuknya modal asing yang begitu besar dari berbagai macam konglomerat internasional. Kebijakan Soeharto yang terus melanggengkan modal masuk di Indonesia mendapat perlawanan keras dari mahasiswa, hingga terjadinya kerusuhan, yang dikenang sebagai peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Peristiwa Malari dipicu dengan kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk, dijadikan momentum awal perlawanan mahasiswa yang anti modal asing. Jan P Pronk tiba di Jakarta pada Minggu, 11 November 1973. Ketika ia tiba di Bandara Kemayoran, mahasiswa menyambutnya dengan aksi massa membawa gambar-gambar poster sebagai bentuk kritik karena kedatangannya di Bumi Nusantara. Bukan hanya Jan P Pronk yang didemo massa yang tergabung dari berbagai gerakan rakyat,  orgnisasi mahasiswa, buruh dan tani . Kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei, pada 14-17 Januari juga disambut dengan demonstrasi. Rencananya massa mau menyambut kedatangan Tanaka Kakuei di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun rencana ini gagal, karena para anjing negara (Polisi dan Militer) sudah memblokade Bandara Halim Perdanakusuma  dari hadangan massa. Akibat penjagaan ketat itu sebagian massa mengalihkan aksinya di sekitar Jakarta Pusat.

Aksi massa diwarnai dengan kerusuhan di kota Jakarta, kerusuhan itu sendiri meliputi pengrusakan beberapa fasilitas umum dan bangunan toko di kawasan Ibukota seperti pertokoan Senen, Jakarta Pusat, dan Roxy, Jakarta Barat. Selama dua hari daerah sekitar ibu kota diselimuti asap. Pembakaran dan Penjarahan menjadi pemandangan yang dapat disaksikan saat itu.

Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin juga membeberkan kerusakan yang terjadi akibat pembakaran saat kerusuhan massa. "522 buah mobil dirusak dengan 269 di antaranya dibakar, 137 buah motor dirusak (94 buah dibakar), 5 buah bangunan dibakar ludes, termasuk 2 blok proyek pasar Senen bertingkat 4. Serta gedung milik PT Astra di Jalan Sudirman, dan 113 buah bangunan lainnya dirusak."

Sampai hari ini kerusuhan tersebut masih menjadi perdebatan, tentang dalang di baliknya, kelompok mahasiswa yang dipelopori Hariman Siregar mengakui, tindakan kerusuhan tidak dilakukan oleh mahasiswa. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

Ada analisis tentang fraksi elit militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan "jenderal kalajengking" (scorpion general).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun