Militerisme adalah watak yang hari ini mendominasi di berbagai partai peserta pemilu elit 2014. mereka menghalalkan segara cara kekerasan untuk mengamankan kekuasaannya. Di saat Partai Demokrat dan kroninya berkuasa, peristiwa pelanggaran HAM kerap terjadi di berbagai daerah, Bima berdarah, peristiwa Lampung, menjadi contoh nyata partai yang berkuasa beserta kroninya melegalkan pembataian, demi kepentingan modal dan mempertahankan kekuasaannya. Namun militerisme yang kental di dalam kubu tentara kali ini mulai bangkit perlahan-lahan menapaki panggung politik di Indonesia, bahaya yang harus dilawan oleh rakyat Indonesia! Sebab sejarah Militer di Indonesia sangat kental dengan watak militerisme. Berikut sepenggal sejarah mengenai perkembangan watak militerisme di Indonesia yang menyelimuti TNI: Pada awal terbentuknya TNI, posisi-posisi srategis banyak dikuasai oleh para perwira-perwira hasil pendidikan penjajah Belanda (KNIL) dan fasis Jepang (PETA) lebih diarahkan untuk menindas rakyat Indonesia itu sendiri. Sementara itu laskar-laskar rakyat diberangus dan dilucuti senjata-senjatanya dengan kebijakan RE-RA (restrukturiasi dan rasionalisasi) yang dijalankan oleh kabinet Hatta (si tangan besi). Kebijakan RE-RA tersebut berasal dari kepentingan kapitalis yang tertuang di dalam “Red Drive Proposal” atau “Usul-usul Pembasmian Kaum Merah” yang dibuat di Sarangan pada tanggal 21 Juli 1948. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Amerika Serikat bersedia memberikan uang dan akan mendukung campur tangan PBB, berakibat pada pengusiran Belanda dari tanah Indonesia. Hal tersebut dengan syarat: Indonesia harus memutuskan hubungan dengan London dan unsur-unsur komunis dalam grup-grup bersenjata kerakyatan harus dihapuskan. Kesepakatan Hatta dengan Amerika mengakibatkan peristiwa Madiun. Ribuan rakyat mati dihantam kerasnya senjata dari pasukan Siliwangi di bawah kepemimpinan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Keruntuhan Soekarno, membawa angin segar bagi Militer untuk menjalankan cita-citanya berkuasa di panggung politik Indonesia, terlihat jelas ketika Soeharto berkuasa menerapkan Dwi-Funsi ABRI yang sudah lama dicanangkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, kepentingan tersebut ditutupi oleh Soeharto dengan mengumbar konsepsi: Bahwa sipil masih lemah, dan tentara harus menjaga Bangsa dan Negara dari ancaman yang berasal dari luar maupun dari rakyat sendiri!
Militer memiliki stuktur sejajar dengan struktur sipil, yang berbentuk struktur Komando Teritorial (KOTER). Struktur dari Mabes TNI (nasional), Komamdo Daerah Militer (Provinsi), Komando Resort Militer, Komando Distrik Militer (Kota/Kabupaten), Komando Rayon Militer (Kecamatan), Bintara Pembina Desa.
Selain menghabiskan anggaran yang luar biasa besar ( sebagai contoh pembangunan Kodam baru bisa menghabiskan dana hingga 100 triliun), Komando Teritorial ini juga sekedar menjadi alat untuk mengawasi rakyat, mengontrol aspirasi politik rakyat (terutama saat pemilihan umum) atau menjadi sumber pelanggaran hak asasi manusia. (menurut laporan KOMNAS HAM, yang melibatkan baik personil, staf, maupun institusi komando territorial)
Kekuatan lama (Sisa-sisa ORBA) mulai kembali bangkit dengan berbagai macem lambang partai, menciptakan sejumlah regulasi anti rakyat (UU PKS, UU ORMAS, UU KAMNAS) yang menjadi legalitas mereka, jika melakukan kekerasan demi keamanan modal dan stabilitas politik. Selama watak militerisme menguasai kekuasaan, dapat menjadi hambatan besar bagi gerakan buruh menuntut kesejahteraan dan kebebasan berserikat. Negara tak akan membiarkan gerakan buruh terus membesar, gagahnya senjata akan terus menghadang setiap perlawanan buruh. Itu lah sebabnya kenapa militerisme harus dilawan dalam pemilu elit borjuis 2014 ini. Tak ada kesejahteraan, tak ada demokrasi, jika militer berkuasa kembali. Para partai tak bisa menjadi tempat rakyat memanjatkan harapan, situasi ini menjadi landasan untuk rakyat membangun alat politiknya sendiri. Kaum buruh yang hari ini memiliki gerakan terbesar dari sektor gerakan rakyat lainnya dapat menjadi pelopor pembangunan partai untuk rakyat. Sudah saatnya kaum buruh menuju politik, sebab beberapa kali kemenangan kaum buruh dilapangan, saat melakukan mogok nasional tak dapat dinikmati karena keputusan para elit yang berkuasa tak berpihak pada buruh, sehingga kaum buruh mempunyai kepentingan untuk menempatkan perwakilannya di lingkaran kekuasaan, agar perjuangan menutut upah dan kebebasan berserikat lebih mudah diraih oleh kaum buruh.
Menuju politik, bukan bearti menebar para kader serikat untuk masuk ke semua partai yang tak dapat dipercaya, menuju politik bukan bearti pimpinan serikat mendukung pelanggar HAM yang ingin berkuasa. Menuju politik bukan bearti harus tunduk di bawah pengaruh partai-partai penipu rakyat.
Partai alternatif untuk rakyat dapat dijadikan media pendidikan bagi rakyat, selama 32 tuhan rakyat dibungkam mengenal ideologi dan politik, sehingga harus ada alat yang menghimpun seluruh rakyat untuk mengenal pengetahuan tentang politik dan ideologi, tanpa pendidikan untuk rakyat partai alternatif hanya menjadi mimpi. Partai alternatif juga dapat dijadikan ruang perdebatan dari segala macam perspektif yang pro-demokrasi, sekaligus menjadi pendidikan bagi rakyat. Syaratnya: adanya kebebasan propaganda di dalam partai alternatif. Partai alternatif dapat menjadi anti tesa dari partai politik peserta pemilu borjuis 2014. Partai alternatif harus mengusung agenda rakyat, pendidikan gratis, kesehatan gratis, upah layak, kebebasan berserikat, reformasi agraria, dan usut tuntas kasus pelanggaran HAM!
Panji-panji perjuangan berkibar melawan sisa-sisa Orde Baru.
Jika hari ini rakyat melihat para elit yang bersaing merebutkan panggung kekuasaan adalah mereka yang juga bereratan dalam panggung kekuasaan Orde Baru, artinya sisa-sisa ORBA belum hilang di negeri ini, menandakan corak Orde Baru tidak hanya dengan melihat sosok-sosok tokoh yang dahulu berada dalam lingkaran Soeharto. Namun jauh dari itu kita harus melihat beberapa tahun setelah rezim Soeharto tumbang, apakah praktek ekonomi politik yang diterapkan di masa Orde Baru sudah hilang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita boleh mengambil contoh persoalan derasnya arus modal yang masuk ke Indonesia melalui proyek MP3EI, akan banyak mengakibatkan penggusuran tanah rakyat dan pengerukan sumber daya alam Nusantara, tidak hanya sampai di situ, corak kapitalistik yang ada di era Orde Baru lebih dikembangkan oleh rejim yang berkuasa saat ini, semua itu terlihat semakin meningkatnya jumlah investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Selain sistem ekonomi yang kapitalistik, salah satu dari ciri khas kepemimpinan Orde Baru adalah pengekangan terhadap ideologi yang sampai hari ini masih menempatkan ideologi tertentu menjadibarang haram untuk dipelajari dan diterapkan. Selain pengekangan terhadap ideologi, rakyat Indonesia masih terus dihadapkan pada regulasi yang membungkam kebebasan berpendapat rakyat, dimana dalam regulasi tersebut, menjadi halal jika negara melakukan penculikan, penyadapan, bagi siapapun yang dianggap mengganggu stabilitas Negara, regulasi itu berbentuk; UU PKS, UU Ormas, UU Intelejen, dll.
Semakin nyata bukan, jika sisa-sisa Orde Baru bukan prasangka dari segelintir kelompok kiri, namun pasti adanya sesuai dengan situasi yang ada di negeri ini, dimana kekuatan lama mulai kembali berkonslidasi untuk saling bersaing merebut panggung kekuasaan. Di atas sudah dijelaskan betapa biadapnya kekuasan Orde Baru yang menumpas jutaan rakyat dan menebarkan teror selama 32 tahun kepada rakyat Indonesia, hari ini jika kita tetap menganggap melawan sisa Orde Baru menjadi bagian yang tak perlu di dahulukan, maka kita akan kebelinger dan masuk kembali ke jaman di mana kebebasan terasa mahal.