Mohon tunggu...
Ziwenk Iskra
Ziwenk Iskra Mohon Tunggu... -

Aku penulis amatir yang tak terlatih menulis seperti para Akademisi di dalam ruang kelas, dari kecil sampai besar sekolah bukan tempatku. Yang aku punya dalam menulis hanya la kejujuran dan keberpihakan ku kepada rakyat yang tertindas. Menulis tanggung jawabku pada kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Kejatuhan Soeharto dengan Perlawanan!

30 Mei 2014   20:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlawanan rakyat memaksa Soeharto tumbang.

Kebencian terhadap rezim Soeharto sudah menyebar di segala laipisan masyarakat, tidak hanya mahasiswa yang gelisah, dengan pengekangan berpikir dan tak ada kebebasan berorganisasi, kaum buruh juga mendapatkan dampak buruk dari kekuasaan Orde Baru, upah murah serta tak ada jaminan kesehatan membuat kaum buruh selangkah demi selangkah melakukan perlawanan terhadap Orde Baru. Sedangkan petani bangkit mengangkat parang ketika tanah yang dimilikinya dirampas rezim otoriter Soeharto, salah satu peristiwa perlawanan petani di pulau Jawa adalah Kedung Ombo: Sejarah waduk kedung ombo adalah sejarah peristiwa dehumanisasi (pelanggaran kemanusiaan dan stigmatisasi komunis bagi siapapun yang menolak digusur), peristiwa depolitisasi (pembungkaman kritisisme massa dan teror negara terhadap sipil tak bersenjata), dan peristiwa ekonomi (modernisme ala agen pemerintahan kapitalis dengan hutang dari World Bank dan Bank Exim Jepang yang sampai kini belum terbayar, serta perampasan tanah petani yang menjadikan mereka jatuh dalam jurang kemiskinan).

Peristiwa Waduk Kedung Ombo (WKO) bermula dari rencana pemerintah Orde Baru mendirikan bendungan raksasa seluas 6.576 hektar, areanya mencakup bagian wilayah di tiga Kabupaten, yaitu; Sragen, Boyolali, dan Grobogan. WKO yang sedianya diperuntukan membendung lima aliran sungai, dirancang memiliki luas 6576 hektar, terdiri dari wilayah perairan yang sudah ada seluas 2.830 hektar dan sisanya yang 3.746 hektar akan di dapat melalui “pembebasan” lahan pertanian masyarakat. Program pembangunan WKO sebenarnya merupakan bagian dari program pemerintahan Orde Baru dibawah Soeharto untuk “me-modernisasi” pembangunan perekonomian Indonesia di sektor pertanian melalui pembangunan infrastruktur irigasi yang sebenarnya juga tidak dibutuhkan oleh masyarakat, mengingat perairan yang sudah ada sebelumnya dirasa telah mencukupi kebutuhan irigasi petani. Sehingga megaproyek perluasan dan pembangunan bendungan kedung ombo dirasa hanya menjadi lahan basah dan bagi-bagi proyek kroni-kroni Soeharto. Pendanaan megaproyek ini diambil dari hutang luar negeri senilai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.

Pembangunan proyek tersebut mendapat perlawanan yang begitu sengit dari penduduk setempat yang tanahnya tergusur proyek pembangunan kedung ombo, mereka bersikukuh untuk tetap mempertahankan rumah dan tanah mereka. Selain berdalih ingin mempetahankan tanah leluhur ada juga yang merasa bahwa ganti rugi yang diberikan pemerintah sangat tidak layak. Pada dasarnya mekanisme ganti rugi telah didesain oleh World Bank senilai Rp.10.000/m, akan tetapi Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m, sedangkan yang terjadi dilapangan adalah pemaksaan kepada warga untuk menerima ganti rugi Rp 250,-/m. Disisi lain warga yang nekat bertahan mengalami terror yang disponsori Negara, berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Sampai akhirnya pemerintah membuka bendungan beberapa sungai agar rumah dan tanah warga tenggelam dan tersapu air, sehingga mereka mau direlokasi sebagai transmigran ke Sumatera. Represif Negara dan mekanisme ganti rugi yang penuh tipu muslihat ini, benar-benar sebuah penindasan terhadap kemanusiaan dan keluar dari nalar manusia. Di mana-mana rakyat melakukan perlawanan, hingga tiba dipenghujung tahun 1997-1998 Soeharto tak mampu menghindar dari krisis yang melanda Indonesia, Data finansial (nilai tukar rupiah thd dollar) dari tahun ke tahun. Dan fakta bahwa ternyata, selama periode kekuasaan Orba, keuangan kita hancur perlahan. Akhir tahun 1967 (beberapa bulan orba resmi berkuasa). Nilai kurs $ terhadap Rp adalah 1$= Rp. 235, dan terus naik hingga Rp. 378 Pertengahan 1971 (bulan Agustus): devaluasi pertama kalinya, dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 Pada November 1978, devaluasi lagi sebesar 50,6%, dari Rp. 415 menjadi Rp. 625. Pada 30 Maret 1983 (harga minyak di pasaran dunia menurun tajam) sehingga pendapatan devisa berkurang drastis, pemerintah kembali mendevaluasi $ sampai 38% dari Rp. 702 menjadi Rp. 970. sehingga per 1$ nya menjadi Rp. 1.354 dari sebelumnya yaitu Rp. 970 Kemudian, nilai tukar rupiah terdepresiasi (menyusut nilainya) terhadap dollar sebesar 40%, dari Rp. 970 menjadi Rp. 1.354. Dan 12 September 1986 ; keempat kalinya mendevaluasi Rupiah, kali ini 21% yaitu dari Rp. 1.354 menjadi Rp. 1.644 per dollar AS.  Hingga akhir Oktober 1997, rupiah terus terdepresiasi sebesar 124%. Jadi, kalau dihitung total prosentase depresiasi nilai mata uang rupiah selama 30 tahun kekuasaan Orba, rupiah telah terdepresiasi hingga 1.466% terhadap dollar. (Baca: https://www.facebook.com/notes/936180083075085/) Semakin menambah kegelisahan rakyat, dimana terdapat penambahan pengangguran yang signifikan, teror senjata semakin ganas dirasakan rakyat sipil, BBM melambung tinggi, sembako naik drastic, pemicu memuncaknya kemarahan rakyat dan mahasiswa yang akhirnya menyerukan penggulingan Soeharto dengan menduduki Gedung DPR dan Instansi vital lainnya.

Ada banyak sebab yang membuat Soeharto memutuskan untuk mengundurkan  diri tepat pada tanggal 21 Mei 1998, selain desakan perlawanan rakyat yang semakin membesar, Soeharto juga mendapat tekanan dari konglomerat iternasional, yang menganggap Soeharto tak lagi dapat dipertahankan, karena rakyat sudah antipati terhadapnya, demi menjaga kelancaran modal, para konglomerat internasional mau tak mau mendesak Soeharto untuk turun dari pangku kekuasaannya.

Sejumput kebebasan dan kemiskinan di era reformasi.

Benar jika dikatakan ruang kebebasan sedikit demi sedikit terbuka di Indonesia, namun tidak untuk demokrasi. Kebebasan berpendapat dan perdebatan sudah tak menjadi barang langkah di Indonesia. Banyaknya bermucunlan buku-buku yang dahulu telarang di jaman ORBA, kini mulai terjajal di berbagai macam tokoh buku. Sudah tidak adanya kontrol sosial yang ketat hingga sampai ke pedesaan, kampus-kampus dan pabrik-pabrik, namun bukan bearti kebebasan sepenuhnya ada di Bumi Nusantara, sebab dalam pristiwa tertentu, gagahnya bedil masih mengancam (kasus BIMA, Lampung, Munir, Aceh). Aksi-aksi massa buruh setelah bergulirnya reformasi banyak terlihat menghiasi halaman gedung Istana dan Instansi gedung pemerintah lainnya. Buruh-buruh pabrik sudah mau keluar, bergadengan tangan bersama kelas pekerja yang tertindas, seruan tuntutan mulai mereka galakkan, walaupun pada aksi mogok nasional tahun lalu, banyak mendapatkan serangan dari preman yang dibiayai pengusaha. Aksi-aksi massa dan seruan tuntutan yang lebih baik hadir dari banyak rakyat yang terbunuh, para pejuang demokrasi diculik dan dibunuh dalam peristiwa mencengkeram kota-kota besar di Indonesia.

Semakin banyak menjamur lembaga-lembaga pro kemanusiaan, anti korupsi di Indonesia setelah runtuhnya rezim otoriter. Lahirlah banyak komisi-komisi/lembaga ad-hock (yang bisa bermamfaat jika dijalankan demi kepentingan rakyat dan dapat menjawab persoalan dan tuntutan reformasi). lahirlah komisi-komisi seperti KPK (2003), Komnas Perempuan (Oktober 98), Mahkamah Konstitusi (Oktober 2003), Komisi Yudisial (2004), Ombudsman (2000), termasuk adanya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). komisi/lembaga negara tersebut merupakan hasil dari perlawanan rakyat dalam peristiwa 98. Kebebasan itu lahir dari penderitaan panjang rakyat Indonesia selama 32 tahun di bawah cengkeraman rejim Soeharto, namun sampai saat ini, kemiskinan yang melanda di era Orde Baru masih bercokol erat dengan rakyat Indonesia. Fenomena kemiskinan saat ini kembali menghantui pembangunan di Indonesia. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Tahun 1996 persentase penduduk miskin menjadi 11%. Menurut BPS (SMERU, 2002), pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sedangkan data terbaru Biro Pusat Statistik menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia per November 2006 menunjukkan 39,05 juta jiwa (17,76%) berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2006). Menurut Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 109 juta jiwa (49,5%) apabila dihitung berdasarkan konsumsi per hari US$ 2 (Suruji, 2006). Kedua laporan di atas menunjukkan hasil yang berbeda karena menggunakan parameter kemiskinan yang berbeda. Namun yang menjadi fokus utama bukanlah mempertentangan perbedaan parameter, tapi semakin meningkatnya jumlah rakyat miskin. Hingga sampai tahun 2014 ini kemiskinan tetap bertahan, hasil dari penilitian BPS kemiskinan di Indonesia masih merajalela dari tahun ketahun. (Baca:  http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=7)

Kebebasan belum direbut sepenuhnya, kemiskinan merajalela, pendidikan mahal, upah murah masih menghantui kaum buruh, rakyat desa diusir dari tanahnya, banyak hutan dibabat, dibakar, perlawanan dibungkam dengan teror senjata, menandakan Orde Baru belum tumbang.

Tolak pemilu borjuis 2014, lawan militerisme dan bangun partai alternatif.

Dalam waktu dekat ini, rakyat Indonesia kembali dihadapkan pada momentum pemilu presiden yang akan dilaksanakan di tanggal 9 Juli mendatang. Semua partai tak jauh berbeda, sama-sama merusak lingkungan, memberi pendidikan mahal, kesehatan mahal, pro upah murah, dan tunduk pada kaum pemodal. Bukan sebuah rahasia umum lagi ketika kita membicarakan para peserta pemilu, bahwa mereka dengan gagah, menjual secara terang-terangan sumber daya alam kita kepada kaum pemodal, dengan mengeluarkan regulasi yang tentunya disenangi oleh kaum pemodal, UU MIGAS, UU Tenaga Kerja, UU PT, dan berbagai macem regulasi lainnya yang tidak pro terhadap kesejahteraan rakyat. Tidak hanya para partai yang bobrok menjadi landasan kita menolak pemilu, namun sistem pemilu itu sendiri yang selalu disebut wujud demokrasi hanyalah sebuah omong kosong. Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan kebijakan Negara. Sementara di negeri ini, yang ada hanyalah demokrasi prosuderal, memaksa rakyat memilih para sampah, namun tak dapat mengambil kembali suaranya jika para sampah berkhianat dengan rakyat. Sehingga rakyat tidak memiliki kepentingan untuk mengikuti pemilu, sebab pemilu elit 2014 adalah ajang para babi berdasi merebut kekuasaan, agar dapat menjual Sumber Daya Alam Indonesia, tanpa memikirkan jerit tangis rakyat di seantero Bumi Nusantara. Selama rakyat masih kelaparan, tak sekolah, lingkungan rusak parah, perempuan dimarjinalkan, maka rakyat harus tetap menolak pemilu elit borjuis 2014 yang tidak dapat dijadikan jalan keluar bagi rakyat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun