Sikap itu membuat PPK kelabakan. Sebab semua anggaran sudah terlanjur dicairkan. Pencairan anggaran itu dianggap sah ketika gedung yang dibangun sudah dinyatakan sesuai spesifikasi dan diterima.
Rasan-rasan semakin kental karena banyak yang melihat ada ketidakberesan dalam proses pengerjaan proyek yang memakan anggaran Rp 14,4 miliar itu. Tapi, tidak semua merasakan manisnya “madu” proyek tersebut. Intinya, hujan tidak merata.
Tarik ulur itu sampai membuat bos tertinggi di kantor tersebut meradang. Kemarahan tersebut diketahui banyak pegawai di bawahnya karena sering dilontarkan di sejumlah pertemuan resmi internal. Desas desus ketidakberesan meluas dan menjadi bahan pembicaraan secara tertutup di kalangan pegawai.
Padahal, saat itu bangunan terseut masih punya garansi. PPK menentukan masa perawatan selama empat bulan sejak Januari-April 2014. Sampai batas masa perawatan habis, bangunan itu ternyata belum juga diperbaiki.
Kejanggalan lain mulai mengemuka. Salah satunya, uang jaminan pengerjaan proyek yang diserahkan rekanan sekitar Rp 700 juta sudah dicairkan. Padahal, masa perawatan belm habis. Sesuai aturan, uang jaminan itu bisa dicairkan setelah proyek tersebut diperiksa dan dinyatakan diterima tim penerima barang. Ketidakberesan proyek itu akhirnya menjadi konsumsi publik di internal kanwil kementerian agama Jatim ketika tim pemeriksa dan penerima barang terbelah.
Konon, ketua tim menolak menandatangani berita acara penerimaan barang karena rekanan yangmengerjakan proyek enggan memperbaikinya. Apalagi, kerusakan itu cukup parah untuk kategori bangunan baru.
Entah bagaimana prosesnya, empat anggota tim pemeriksa dan penerima barang mau menandatangani berita acaranya. Mereka menyatakan bahwa bangunan itu telah selesai digarap sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Sementara itu, sang ketua tim tetap menolak membubuhkan tanda tangannya.
Dua bangunan yang rencananya dijadikan mess santri itu memakan anggaran yang tidka kecil. Untuk gedung A dengan tiga lantai, anggaran yang dihabiskan Rp 7,5 miliar. Sementara itu, gedung B dengan dua lantai menyedot duit Rp 6,9 miliar. Proyek itu dikerjakan dua rekanan yang berbeda.
Bangunan yang cukup mentereng tersebut tidak bisa dilihat dari depan kantor kanwil kemenag, pun demikian dari sisi belakang kantor. Dua gedung gres itu baru terlihat setelah berjalan sekitar 500 meter ke arah belakang dan melewati jembatan kecil yang berkelok. Jalan menuju lokasi tersebut masih berupa tanah.
Ketidakberesan tersebut akhirnya didengar kejaksaan tinggi Jatim. Korps Adhyaska di jalan Ahmad Yani itu akhirnya menerjunkan tim khusus untuk menyelidiki informasi tersebut.
Tim menyelidiki proyek itu sekitar sebulan lalu. Hasilnya, mereka mencium aroma permainan dalam pembangunan gedung. Jaksa yang tidak ingin salah langkah langsung menggandeng Universitas Brawijaya.