Oleh : Muhammad Razidinnor
Sebuah kisah tentang sejarah
Tepat 10 hari sudah datangnya banjir besar yang  menerka daerah kami.
Hari itu, kamis 14 januari 2021 adalah hari dimana kami masyarakat Kalimantan Selatan khususnya Kabupaten Hulu Sungai Tengah di Kota Barabai yang di guyur hujan sekitar antara 40 sampai 60 jam tanpa henti.Â
13 januari 2021 kami yang berdomisili di perkotaan mendapatkan kabar sekitar pukul 20.00 WITA tentang adanya banjir bandang yang menghanyutkan rumah masyarakat di kabupaten kami khususnya Desa Hantakan, Alat, dan Desa Arangani yang ada di kabupaten kami Hulu Sungai Tengah.
Pada malam itu berita tersebut cepat beredar sehingga mengharuskan kami yang berada di perkotaan harus standy by siaga 1 untuk melihat kondisi air yang besar kemungkinan akan mengakibatkan banjir di perkotaan karena air dari desa yang mengalami banjir bandang tersebut.
Kemudian sekitar 2 jam berlalu setelah mendengar kabar itu, kami, saya dan keluarga mendapat kabar lagi tentang rusaknya rumah -- rumah warga yang yerdampak banjir bandng tersebut, sehingga kemudian kami terus siaga di tempat tinggal kami.
Tidak berselang lama, menjelang tengah malam air mulai naik di sungai dekat rumah kami tinggal. Sambil berjaga, ketiduran dan setiap kali terbangun saya selalu melihat kondisi air yang naik. Beberapa kali saya terbangun dari tidur malam itu.
Sampai subuh pukul 03.00 dini hari ada teman saya yang mengetuk pintu rumah kami dan memberitahukan bahwa air sudah membanjiri kampung kami, dan air masih terus naik.
Bergegas saya mengamankan dua buah motor kami ke daratan yang lebih tinggi, dengan harapan tidak terendam oleh banjir. Setelah itu, saya kembali ke rumah dan tidak berselang lama saat setelah saya memindahkan kedua buah motor itu ternyata air sudah naik sampai teras rumah kami.
Setelah itu saya masuk ke rumah dan melihat begitu cepatnya air tambah dalam seiring berjalannya waktu, detik demi detik air terus bergerak membanjiri kampung kami.
Kemudian kami, saya beserta orang tua dan kakak adik saya pun memutuskan untuk beranjak dari rumah untuk mencari tempat evakuasi agar kami tidak terjebak banjir di dalam rumah.
Sebelumnya kami tidak pernah berpindah ke tempat pengungsian karena banjir. Setiap tahun daerah kami khususnya kampung yang kami tinggali ini memang sudah menjadi langganan banjir setiap tahunnya, bahkan 3 sampai 5 kali pertahunnya.
Karena merasa banjir kali ini akan dalam kami pun memutuskan keluar dari rumah untuk ke tempat pengungsian.
Ketinggian air di halaman kami yang sudah dalam, serta arusnya yang deras membuat kami kewalahan berjalan di tengah arus, langkah demi langkah kami ayunkan untuk terus mengusahakan agar kami bisa ke tempat pengungsian. Saat itu, memang moment yang tidak mungkin kami lupakan, moment di mana kami pasrah, akan apa yang terjadi pada rumah kami, akan apa yang terjadi pada jiwa kami, kami benar -- benar kewalahan menghitari banjir kali ini.
Seumur hidup kakek, seumur hidup nenek, seumur hidup orang tua, seumur hidup saya, seumur hidup kami, ini banjir terbesar yang telah kami temui. Begitu besar perjuangan kami saat berada di air untuk bertahan hidup, walau hanya sekedar berteduh untuk menghangatkan tubuh saja kami tidak bisa, karena semua tempat telah di masuki air banjir kali ini.
Setelah itu kami berjalan menghitari banjir dan kemudian berkumpul dengan beberapa warga kampung kami untuk berharap ada bantuan yang datang membawa kami ke tempat pengungsian,
Ada beberapa perahu karet yang beberapa kali melewati depan kami membawa orang -- orang yang telah di evakuasi. Sampa kemudian sekitar 2 jam kami bertahan di tempat itu, menunggu perahu karet yang tak kunjung datang untuk membawa kami ke tempat pengungsian.
Kemudian kami memberanikan diri ntuk berenang menyeberangi arus deras untuk menuju tempat pengungsian. Kala itu, kami masih tidak tau dimana lokasi pengungsian, kami berenang mencoba melawan arus deras yang hampir membuat kami hanyut ditelan air. Harapan kami sudah hampir hilang, beberapa kali saya memegang ting listrik saat berenang dan saya tidak mampu memegangnya, karena arus deras yang begitu kencang membawa tubuh ini larut di kedalaman air kala itu.
Keberuntungan masih hinggap kepada kami, kami berhasil berenang melawan arus deras banjir itu.
Kami berjalan terus mencari dimana lokasi pengungsian untuk kami dapat sekedar bernaung untuk menghangatkan tubuh kami dari dinginnya air banjir dan curah hujan kala itu.
Kira -- kira hampir 1 km kami berjalan bergulat dengan air, melangkah pada kencangnya arus air sehingga kami dapat menemukan sebuah mushola yang memiliki tingkat atau mushola berloteng.
Di mushola itu kami dapat berteduh dengan hanya selembar baju dan celana yang kami kenakan, kemudian dapat pinjaman baju kering dari masyarakat sekitaran mushola itu untuk menghangatkan tubuh kami dengan pakaian kering itu. Hari pertama kami mengungsi di mushiula itu. Makanan serta minuman selalu di suguhkan oleh masyarakat sekitar dengan cukup kepada para pengungsi.
Kala itu, banyak orang tua yang sepuh yang ikut mengungsi. Betapa kasihannya mereka yang sakit -- sakitan, dan mendapatkan cobaan banjir besar yang menghancurkan beberapa bagian rumah mereka.
Kue, air minum, dan makanan yang datang selalu menjadi perhatian bagi para pengungsi. Dorong -- dorongan, berebut makanan, bahkan sampai saling gertak demi 1 bungkus nasi untuk makan saya melihat itu semua.
Selama beberapa hari kami merasakan dan melihat itu. Ooh Tuhan, begitukah penglihatan yang Engkau berikan kepada kami, demi menyadarkan kami bahwa kami pernah lupa bahwa kami perlu banyak rasa syukur saat hidup normal seperti sedia kala, Engkau memberikan kami cobaan sebagai mana hanya untuk menyadarkan kami dari kelalaian hidup kami selama ini .... Â
Kami mohon ampun atas segaala dosa kami, kami sadar bahwa hidup kami harus selalu bersyukur atas-Mu. Mudah -- mudahan Engkau ridhoi hidup kami sampai nanti kami meninggalkan bumi ini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H