Mohon tunggu...
Zida Sinata Milati
Zida Sinata Milati Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer, Content Creator, Writer

Seorang freelancer yang menyenangi dunia content creator dan kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tentang Pengetahuan dan Masih Adanya Kasus Stunting di Daerah

17 Desember 2023   16:50 Diperbarui: 17 Desember 2023   19:07 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai petugas survei SKI tahun 2023, saya telah mewawancarai banyak responden, juga telah melakukan pengukuran tinggi/panjang badan serta melakukan penimbangan berat badan balita untuk menentukan status gizi, utamanya untuk menjaring ada/tidaknya kasus stunting. Dan lagi-lagi saya beserta tim menjadi saksi masih adanya kasus stunting di daerah.

Disini saya akan lebih membahas mengenai tingkat pengetahuan masyarakat mengenai stunting secara deskriptif, juga bagaimana pemerintah nantinya dapat menggandeng kasus-kasus stunting yang ditemukan di daerah untuk dapat bersama-sama dapat teratasi.

Wawancara Responden SKI 2023. Dokpri
Wawancara Responden SKI 2023. Dokpri

Pengetahuan Masyarakat Mengenai Stunting 

Percakapan 1

"Ibu tahu apa itu stunting?" tanyaku

"Tahu mbak," jawabnya

"Apa itu bu?" tanyaku lagi

"Pendek mbak, terus kurus biasanya," jawabnya

"Benar bu, lalu apalagi yang ibu ketahui misalnya apa yang menyebabkan anak jadi stunting atau cara yang dapat ibu lakukan agar anak ibu dapat terhindar dari stunting?" tanyaku lagi

"Penyebabnya mungkin makan anaknya kurang bergizi ya, terus cara mencegahnya berarti ya memberi makan anak makan makanan bergizi sama dikasi ASI sampek usia 2 tahun, itu palingan mbak." Jawab ibu Opi (nama samaran). 

Percakapan 2

"Ibu tahu apa itu stunting?" tanyaku

"Tahu mbak," jawabnya

"Apa itu bu?" tanyaku lagi

"Pokoknya yang pendek itulo mbak," jawabnya sambil meringis

"Benar bu, lalu apalagi yang ibu ketahui misalnya apa yang menyebabkan anak jadi stunting atau cara yang dapat ibu lakukan agar anak ibu dapat terhindar dari stunting?" tanyaku lagi

"Wah, kalau itu saya ndak tahu mbak, saya cuman tahu pendek itu aja," jawab Ibu Reti (nama samaran).

Percakapan 3

"Ibu tahu apa itu stunting?" tanyaku

"Tahu mbak," jawabnya

"Apa itu bu?" tanyaku lagi

"Ah, tidak jadi tahu mbak," jawabnya sambil meringis, akupun tersenyum simpul mendengar jawaban ibu Ibe (nama samaran), dan mencoba meyakinkan padanya.

"Ibu Ibe tidak masalah jika tidak mengetahuinya, karena ini merupakan survei dan saya tidak akan memarahi ibu nantinya," jawabku

Percakapan 4

"Ibu tahu apa itu stunting?" tanyaku

"Tidak tahu mbak, gak paham saya gituan, saya tahunya sawah sama kebun, kalau itu saya lancar jawab mbaknya apapun itu," jawab ibu Miso (nama samaran) sambil terkekeh

Empat percakapan tersebut adalah gambaran saat saya beserta tim ketika sedang melakukan wawancara kepada responden, guna mengukur pengetahuan mengenai definisi, penyebab, dampak, dan cara pencegahan stunting. Pertanyaan sama namun memiliki beragam jawaban bukan?

Ada responden yang sudah paham dan mengerti apa itu stunting, penyebab, dan pencegahannya, dan ada yang masih berada di tingkat sekedar mengetahui definisi saja, bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali apa itu stunting.

Dan bisa dibilang percakapan keempat, yakni tidak mengetahui apa itu stunting adalah mayoritas jawaban yang saya temukan di lapangan, namun hal ini tidak berkorelasi positif bahwa pengetahuan rendah berdampak pada terjadinya kasus stunting pada balita.

Mengutip jurnal Ni'mah dan Muniroh (2015), tingkat pengetahuan ibu yang tinggi tidak menjamin memiliki balita dengan status gizi yang normal, begitu pula sebaliknya. 

Namun ibu yang memiliki pengetahuan yang baik utamanya terhadap stunting dan tumbuh kembang balita diharapkan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. 

Perilaku seseorang selain dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti sosio ekonomi, sosio budaya, dan lingkungan.

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan wajib ditanyakan pada Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023,  baik laki-laki maupun perempuan dengan usia responden 10 tahun.

Pertanyaannya singkat, namun yang cukup sulit adalah menjawabnya apalagi jawaban dari masing-masing pertanyaan tidak boleh dibacakan apalagi mencoba untuk mengarahkan responden kepada jawaban yang benar. Karena disini hanya ingin mengetahui tingkat pengetahuan responden mengenai stunting, sehingga yang ingin didapatkan hanyalah jawaban murni dari responden tanpa ada bantuan.  

Menemukan Kasus Stunting di Daerah 

Saat melakukan pengukuran antropometri balita, biasanya para ibu dan balita diundang berkumpul di balai desa/rumah kader/posyandu agar memudahkan petugas survei dalam mengambil data. Kecuali jika ada balita yang masih bersekolah nanti akan dikunjungi  sendiri oleh petugas survei.

Setelah petugas menyiapkan alat antropometri dan memasangnya dengan baik, selanjutnya petugas mewawancarai identitas balita satu per satu, seperti nama, tanggal lahir, berat dan panjang lahir yang diwakilkan oleh ibu balita/pendampingnya.

Pengukuran tinggi badan balita. Dokpri 
Pengukuran tinggi badan balita. Dokpri 

Balita yang sudah selesai wawancara, selanjutnya diukur baik berat badan maupun tinggi/panjang badannya sesuai SOP oleh petugas survei didampingi bidan desa, ahli gizi, dan kader posyandu setempat.

Setelah pengukuran selesai dan data sudah berhasil didapatkan, selanjutnya petugas mempersilahkan responden untuk pulang ke rumah masing-masing. Data yang terkumpul biasanya digunakan ahli gizi berserta petugas survei untuk mengecek status gizi balita, apakah ada temuan stunting atau tidak.

Ada 2 tipe kasus stunting yang saya temukan di lapangan, pertama si ibu tahu kondisi anaknya yang pendek dan kurus, mengerti akan pentingnya pemantauan tumbuh kembang oleh ahli, sehingga mau dan menyempatkan pergi ke posyandu tiap bulan. 

Juga ada kasus ibu tahu anaknya pendek dan kurus namun tidak mengetahui urgensi dari stunting, sehingga membuat ibu tidak merasa perlu atau hanya sesempatnya saja untuk pergi ke posyandu.

"Bu, ini masih kurang balita sio (nama samaran), apa memang belum dikasih tau ya kemarin kalau hari ini ada penimbangan SKI?" tanyaku pada ibu kader

"Sudah mbak, susah emang ibunya kalau diajak timbangan, ada aja alasannya," jawab bu kader.

"Oh ya sudah nanti kita datang ke rumahnya saja," jawabku

Dalam hati kecilku bertanya-tanya, sebenarnya apa sih alasan ibu Sio tidak rutin membawa balitanya ke posyandu? Saya tidak ingin hanya menyalahkan Ibu Sio dalam hal ini, karena bagaimanapun ada banyak faktor yang menyebabkan Ibu Sio tidak datang penimbangan tiap bulan untuk memantau tumbuh kembang buah hatinya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saputro dkk (2022) diketahui bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi balita tidak hadir di posyandu yaitu ibu balita yang tidak memiliki waktu karena bekerja, kualitas pelayanan di posyandu, dan kurangnya pengetahuan ibu balita mengenai manfaat posyandu.

Posyandu tiap bulan digunakan oleh para ibu untuk dapat memantau pertumbuhan anak-anak mereka. Selain itu, anak-anak akan diberi PMT (Pemberian Makanan Tambahan) yang bergizi, sarana menimba ilmu dan berkonsultasi mengenai tumbuh kembang balita baik kepada kader, ahli gizi atau bidan desa, serta wadah untuk saling berbagi pengalaman, apakah sudah melakukan fungsinya dengan baik? Ataukah posyandu hanya sebagai sarana pengukuran, dapat makan, lalu pulang?

Jika terkendala akibat Ibu yang bekerja karena waktu posyandu dan bekerja sama-sama di pagi hari, mungkin dapat dibuat lebih fleksibel waktunya, dalam satu hari jadwal posyandu dapat dilakukan dalam 2 sesi, sesi pagi dan sesi sore. Memang lebih membutuhkan effort, namun langkah kecil ini perlu dilakukan jika memang pemerintah ingin mewujudkan zero stunting.

Selain itu, mungkin dalam setiap bulannya juga perlu dilakukan musyawarah antar kader, ahli gizi, dan ibu balita, mengenai apa-apa saja yang perlu dijadikan perbaikan posyandu bulan depan, yang dapat meringankan kedua belah pihak.

Diharapkan bagi ibu balita untuk lebih aktif ke posyandu agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapar terpantau. Selain itu, kader posyandu dan petugas kesehatan perlu melakukan sosialisasi pentingnya membawa balita ke posyandu dan manfaat posyandu.

Referensi :

  • Ni'mah, Cholifat un dan Lailatul Muniroh. 2015. Hubungan Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan Dan Pola Asuh Ibu Dengan Wasting Dan Stunting Pada Balita Keluarga Miskin. Media Gizi Indonesia. Vol. 10, No. 1 Januari-Juni 2015: hlm. 84-90.
  • Saputro, Fahrul Rozi , Gina Yola Okvitasari, dan Ira Saphira Maulidha. 2022. Faktor Balita Tidak Hadir Di Posyandu Rambutan Desa Yosomulyo Kecamatan Gambiran Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Layanan Masyarakat (Journal of Public Service), vol 6 no 2 Tahun 2022, halaman 363-372

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun