Siti Nuraisyah (200904121) dan Zian Nabilla Barus (200904061)
Dosen Matkul Menulis Feature & Editorial: Drs. Syafruddin Pohan SH, M.Si., Ph.D.
Industri fashion atau busana merupakan industri yang tidak pernah mati. Setiap tahunnya, selalu ada tren fashion baru yang semangat diikuti oleh masyarakat, terkhusus kaum muda. Industri fashion sendiri berkiblat pada model fashion dari Negara Barat, termasuk Eropa.Â
Hal ini menjadikan merek fashion dari luar negeri menjadi incaran ramai oleh masyarakat. Tetapi, disebabkan harga yang ditawarkan merek ternama tidak ramah di kantung semua orang, masyarakat menjadikan thrifting sebagai solusinya.
Dikutip dari katadata, membeli trifthing adalah alternatif komsumsi pakaian yang lebih murah serta menunjang sustainable living. Menurut World Wide Fund For Nature (WWWF), sustainable living adalah sebuah gaya hidup yang menyeimbangkan upaya lokal dan global untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan tetap melestarikan lingkungan alam dari degradasi dan kerusakan.
Sampah Fashion yang Membludak
Menurut studi Aneta Podkalicka dan Jason Potts dari Swinburne University dan RMIT (Royal Melbourne Institute of Technology) di Australia, konsep thrifting sebenarnya merujuk pada penghematan untuk konsumsi, yang berubah maknanya dengan munculnya kapitalisme.Â
Minat thrifting semakin meningkat di negara ekonomi pasar maju dan berkembang hingga menjadi suatu gaya hidup konsumsi yang etis. Disebut etis karena konsumsi yang bertanggung jawab terkait dengan kelestarian lingkungan, seperti pengurangan sampah fashion.
Menurut data dari United Nations Environment Programme (UNEP), setiap tahun, industri fashion menggunakan 93 miliar kubik air dan sekitar 20 persen air limbah industri fashion diseluruh dunia berasal dari pencelupan dan pengelolahan kain.Â
Dari daa UNEP juga menunjukan bahwa industri fashion bertanggung jawab atas 10 persen emisi karbon global tahunan dan diprediksi emisi tersebut akan melonjak lebih dari 50 persen pada tahun 2030.
Berdasarkan data Labfresh.eu tahun 2020, Italia menjadi negara dengan limbah tekstil terbanyak. Mereka menghasilkan 465.925 ton limbah fashion per tahun. Jerman menyusul dengan 391.752 ton.Â
Kemudian di Prancis 210.001 ton. Hal inilah yang menjadi perhatian bagi kelestarian lingkungan mengingat industri fast fashion semakin berkembang dengan mengeluarkan beragam mode pakaian baru setiap tahunnya.
Riset terbaru dari YouGov Omnibus tahun 2017 mengungkapkan bahwa 66 persen orang dewasa di Indonesia membuang pakaian dalam satu tahun terakhir dan 25 persen telah membuang lebuh dari sepuluh item pakaian dalam satu tahun terakhir.Â
Artinya sudah terlalu banyak limbah fashion yang ada di dunia sehingga dapat mencemari lingkungan. earth.org -- platform berita dan data lingkungan -- baru-baru ini melaporkan, dari 100 miliar helai pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan sampah.Â
Singkatnya, ini setara dengan truk sampah besar penuh pakaian yang berakhir di tempat pembuangan sampah setiap detik. Jika tren ini berlanjut, jumlah limbah fashion diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta ton per tahun pada akhir dekade ini.
Di Indonesia, menurut data SIPSN KLHK (Sistem Pengelolaan Sampah Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada tahun 2021, telah menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau fashion.Â
Jumlah ini mewakili 12 persen dari seluruh sampah yang dihasilkan di Indonesia. Padahal, hanya 0,3 juta ton limbah fashion yang berhasil didaur ulang. Sampah fashion sering kali terlupakan dampaknya.Â
Padahal sampah dari industri fashion merupakan penghasil polusi terbesar kedua di dunia. Oleh karena itu, thrifting dianggap dapat menjadi solusi bagi kelestarian lingkungan.
Larangan Thrifting di Indonesia
Sayangnya, thrifting di Indonesia berjalan dengan konsep yang berbeda. Thrifting di Indonesia berkembang begitu pesat karena hiruk pikuk masyarakat mencari produk bermerek luar dengan harga murah.Â
Kebutuhan ini dipenuhi melalui toko barang bekas yang menawarkan pakaian bekas impor dengan harga terjangkau. Dengan harga yang murah dan tetap berkualitas branded, masyarakat beramai-ramai ikut membeli pakaian thrift untuk mengikuti tren yang ada.
Naiknya penjualan thrifting baju impor di Indonesia, memicu naiknya pemasukan barang impor dari luar negeri. Hal ini menjadi masalah bagi ekonomi Negara karena thrifting menyebabkan minat masyarakat pada merek lokal menurun drastis.Â
Kebijakan pelarangan ini bagaikan kiasan orang dulu, ibarat memakan buah simalakama, dimakan mati ibu tak dimakan mati ayah. Dilarang mati pedagangnya, tak dilarang UMKM mati
Untuk menstabilkan ekonomi, pemerintah melarang masyarakat untuk impor baju bekas. Sebenarnya aturan tersebut sudah ada pada tahun 2015 yang jelas melarang barang bekas impor terutama untuk pakaian. Hanya saja, peraturan tersebut dianggap angin berlalu dan kurang mendapat penegasan dari pemerintah.Â
Kemudian pemerintah akhirnya menegaskan kembali pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam Pasal 2 Ayat 3 tertulis bahwa barang dilarang impor, salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
Thrifting sangat merugikan produsen UKM tekstil lokal. Pasalnya, menurut data CIPS(Center for Indonesia Policy Studies) dan ApsyFI (Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia), 80 persen produsen pakaian di Indonesia didominasi oleh industri kecil dan mikro. Sehingga, impor pakaian bekas selama ini memangkas pendapatan mereka sebesar 12-15 persen.Â
Selain itu, dilansir dari tvonenews.com pada tahun 2020 hingga 2021, banyak perusahaan tekstil yang bangkrut dan melakukan PHK besar-besaran pada pegawainya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Negara, jika thrifting terus berkembang di Indonesia.
Larangan yang dilakukan pemerintah menuai banyak pro dan kontra di masyarakat. Bagi masyarakat, larangan thrifting sangat disesalkan karena masyarakat merasa kualitas yang diberikan barang impor jauh lebih baik dan lebih murah dibandingkan barang lokal.Â
Hal inilah yang menjadikan thrifting masih berjalan hingga saat ini. Masyarakat merasa belum mendapatkan pengganti thrifting dari produk lokal yang memberikan keuntungan yang sama.
Fenomena thrifting yang terus berkembang juga didukung oleh media. Tidak hanya karena brand ternama, thrifting juga kini menjadi tren di kalangan masyarakat, khususnya kawula muda.Â
Tren thrifting inilah yang menyulitkan berkurangnya thrifting impor di Indonesia. Media terus menyoroti tren thrifting ini. Belum lagi, algoritma media sosial yang akan memunculkan hal serupa terus-menerus juga mendorong orang-orang untuk ikut dalam tren thrifting ini.
Thrifting memang memberikan kualitas dan harga yang cocok di kantung masyarakat. Hanya saja, masa depan Negara juga ditentukan dari ekonomi Negara saat ini. Jika thrifting memberikan dampak yang merugikan bagi Negara, lebih baik bagi masyarakat mengedepankan produk lokal terlebih dahulu.Â
Jika dieksplor lebih dalam lagi, masih banyak produk lokal yang memberikan kualitas terbaik dengan harga yang ramah di kantung. Tentu sangat menguntungkan bagi masyarakat daripada membeli hasil 'sampah' dari Negara orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H