Mohon tunggu...
Dorratul Hijaziyah
Dorratul Hijaziyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Farmasi FMIPA UNLAM Banjarbaru (2009)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rona Kegetiran

7 Juni 2011   01:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:47 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Ya, bapak itu adalah ayahku. Ayah yang selalu bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ayah yang begitu sabar dengan hidup kami yang serba kekurangan. Namun apa yang telah kulakukan Fadlan? Aku malah memaki-makinya dan tak henti-hentinya menuntut kepadanya agar keinginanku terpenuhi. Aku sama sekali jauh dari agama saat itu. Saat ayah mengingatkanku tentang salat, tapi aku malah mengacuhkan dan memarahinya.” Satria menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kulihat bahunya berguncang. Kubiarkan dia menumpahkan bebannya lewat tangis itu.

Tak beberapa lama, Satria melanjutkan, “Tapi, sejak ayah sakit, aku jadi sadar, aku begitu menyayangi ayah. Aku tidak ingin kehilangannya. Aku jadi sadar kalau semua yang kulakukan selama ini ke ayah adalah sebuah kesalahan besar. Aku meminta ampun dan mencium tangannya. Dan dengan mudah dan tulus ia pun memaafkanku. Di malam hari sebelum ia meninggal, ia bercerita tentang pertemuannya denganmu. Ia ingin sekali aku belajar banyak hal kepadamu. Oleh karena itu, aku mencarimu dan akhirnya ikut pengajian di sini bersamamu.”

“Aku turut berduka atas meninggalnya ayahmu, Sat. Tapi, bagaimana kamu bisa tahu kalau pemuda yang bertemu dengan ayahmu itu adalah aku?”

“Sejak hari itu ayahku sangat kagum padamu. Ia tahu kau kuliah di sini dari jas almamater yang kau gunakan saat itu. Ia berusaha mencari tahu tentangmu dan akhirnya mengetahui kalau namamu adalah Fadlan. Tidak sulit juga bagiku untuk menemukanmu, karena memang kau cukup dikenal di kampus ini. Sekali lagi, terima kasih Lan, kau sudah mau menerimaku apa adanya dan membuatku jauh lebih baik sekarang.”

“Aku tidak melakukan apa-apa, Sat. Semua dapat berubah karena Allah memberikan kesempatan padamu dan karena kamu memiliki tekad kuat untuk berubah.”

“Kau orang yang sangat baik Lan. Maukah kau melakukan sesuatu hal untukku?”

“Tentu saja jika memang aku bisa melakukannya.”

“Jika berkenan, aku ingin kamu berkunjung ke makam ayahku. Dia pasti sangat senang jika demikian.”

***

Sore itu angin bertiup kencang. Menyapu dedaunan yang jatuh di tanah. Dua pemuda tengah duduk di depan sebuah nisan. Terlihat bibir mereka bergetar melantunkan surah Yasin.

“Kini aku begitu yakin dengan keutamaan sedekah,” ucap pemuda yang bernama Fadlan setelah bacaan mereka usai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun