Mohon tunggu...
Zahratul Iftikar
Zahratul Iftikar Mohon Tunggu... Lainnya - Dokter gigi, ibu 2 anak, pegiat sustainable living, guru tahsin Al-Quran

Raising my children sambil praktek dokter gigi, berkebun, beternak, membaca, menulis dan mengajar baca Quran.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menangani Sampah, Menangkal Krisis Iklim

14 Agustus 2023   10:47 Diperbarui: 14 Agustus 2023   16:48 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah rumah tangga berserakan di tepian Jalan Kemuning 3, Pamulang Barat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (23/11/2016). (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Hari ini krisis iklim telah nyata dampaknya di kehidupan kita. Suhu udara yang semakin tinggi, hujan yang tak kunjung turun, air laut yang semakin naik, kebakaran terjadi di mana-mana, banjir melanda banyak negara, dan sederet hal tidak mengenakkan lainnya telah kita rasakan atau kita dengar kabarnya. 

Krisis iklim disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan panas matahari terperangkap di atmosfer bumi. Yang banyak orang tahu, industri dan kendaraan bermotorlah penyumbang emisi GRK tersebut. 

Memang betul, tapi ternyata sampah yang kita buang juga melepaskan GRK yang kini terakumulasi di atmosfer. 

Bagaimana bisa? 

Sampah yang kita buang terdiri dari sisa organik, anorganik, dan residu. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, komposisi sampah organik (sisa makanan, kayu, ranting, daun) sebesar 54% sedangkan sampah plastik sebesar 17,8%. 

Sebenarnya sampah organik bisa terurai dan menjadi tanah kembali. Hanya saja, masyarakat Indonesia belum terbiasa memilah dan mengolah sampah. Sampah organik biasanya malah dimasukkan ke dalam plastik dan dibawa petugas ke TPA.

Di TPA pun, sampah organik tetap terpenjara di dalam plastik sehingga terdegradasi secara anorganik. Jutaan sampah organik yang bercampur dengan plastik ini membentuk timbunan sampah di TPA tanpa diolah. 

Berdasarkan buku Kontribusi Sampah terhadap Pemanasan Global yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kilogram gas metana. 

Sedangkan masyarakat Indonesia setiap tahunnya menghasilkan lebih dari 34 juta ton sampah. Artinya, tahun ini saja emisi metana dari timbulan sampah di Indonesia sebanyak 1,7 juta ton! 

Padahal, metana memiliki daya rusak 20-30 kali lipat dibandingkan dengan CO2. Saat ini, emisi metana berkontribusi sebanyak 16% dari total GRK di atmosfer dan 12% diantaranya berasal dari timbunan sampah.

Plastik Punya Andil

Selain itu, produksi plastik sendiri juga menyumbang emisi GRK dalam jumlah besar. Plastik dibuat dari minyak bumi yang disuling menjadi etilena, propilena, butena, dan bahan dasar lain sebelum diangkut ke pabrik. 

Produksi dan transportasi bahan plastik ini membutuhkan banyak energi dan bahan bakar. Proses pemecahan hidrokarbon melepaskan banyak CO2 dan metana sehingga menyumbang 61% dari total emisi GRK dari produksi plastik keseluruhan. 

Emisi GRK lainnya dilepaskan pada tahap pembuatan produk plastik. Produksi plastik secara keseluruhan berkontribusi sebanyak 3,8% dari emisi GRK global. 

Lebih parahnya lagi, 40% sampah plastik berakhir dengan pembakaran sehingga menghasilkan gas CO2 dan CO yang lagi-lagi berkontribusi pada emisi GRK. Di sisi lain, hanya 18% dari keseluruhan jumlah plastik yang didaur ulang, sisanya berakhir di TPA, dibakar, atau bahkan berakhir sia-sia di lautan. 

Urgensi Mengurangi dan Memilah Sampah

Sebenarnya, emisi GRK yang berasal dari sektor sampah dapat dikurangi apabila kita mau mengurangi pemakaian plastik. Saat ini, produksi plastik global cenderung meningkat setiap tahunnya. 

Pada tahun 2021, tercatat plastik telah diproduksi sebanyak 390,7 juta metric ton. Sayangnya, tahun berikutnya justru meningkat sebanyak 4% dan diperkirakan akan terus meningkat apabila demand terus naik.

Sebagai konsumen, kita harus mulai membatasi diri untuk menggunakan plastik terutama plastik sekali pakai. Kesadaran kolektif masyarakat untuk mengurangi plastik sekali pakai amat dibutuhkan supaya produsen mau mengurangi produksi plastiknya. 

Selain itu, kita juga perlu memilah sampah. Sebagian besar plastik sebenarnya dapat didaur ulang. Hanya saja, kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih mencampur segala jenis plastik membuat daur ulang plastik sulit dilakukan.

Indonesia sebenarnya tidak kekurangan industri daur ulang plastik. Pada tahun 2021 saja, tercatat ada 1.300 industri daur ulang plastik dengan kapasitas produksi mencapai 2,3 juta ton per tahun. 

Sayangnya, hanya 913.000 sampah plastik saja yang didapat dari dalam negeri, sisanya terpaksa diimpor dari berbagai negara. Padahal, apabila masyarakat mau memilah sampah dan menyalurkannya ke bank sampah atau waste management lain untuk kemudian dijadikan bahan baku daur ulang, impor plastik tentu tidak perlu lagi dilakukan.

Memang, penanganan sampah oleh pemerintah belum terintegrasi dengan industri daur ulang. Sampah masih ditumpuk di TPA yang 35%-nya masih menerapkan sistem open dumping sehingga sampah hanya akan menggunung tanpa pengolahan. Tapi sebenarnya masalah ini dapat diakali dengan penyaluran sampah yang terpilah dari rumah ke bank sampah. 

Berdasarkan riset Kompas.id (7/7/23), saat ini terdapat 222 Bank Sampah induk dan 26.931 Bank Sampah Unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Jadi sebenarnya masyarakat di daerah mana pun bisa menyalurkan sampah terpilahnya ke bank sampah. Selain bisa menambah pemasukan, pemanfaatan kembali dan pengolahan sampah akan mengurangi sampah yang terbuang ke TPA.

Langkah ke Depan

Selain mengurangi dan memilah sampah, masih ada hal lain yang perlu dicari solusinya. Yakni pengolahan sampah organik. Bank sampah memang sudah menjamur, tapi pengolahan sampah organik belum. 

Meminta masyarakat mengompos secara mandiri pun masih sulit karena mengompos membutuhkan usaha dan komitmen yang kuat. Sebenarnya saat ini mulai banyak usaha peternakan maggot yang membutuhkan banyak sampah organik, namun jumlahnya belum banyak.

Masalah ini justru bisa menjadi peluang usaha bagi masyarakat. Masyarakat dapat membuat usaha kompos, ternak maggot, ternak ayam atau ikan dengan pakan organik, dan ide lain yang sekiranya dapat menghasilkan keuntungan sekaligus mengolah sampah organik. 

Pemerintah juga harus mulai membangun TPA dengan sistem yang lebih mumpuni. Selain untuk menjalankan amanat UU Nomor 18 Tahun 2008 terkait penutupan TPA dengan sistem open dumping, TPA yang mampu mengolah sampah juga dirasa sudah sangat dibutuhkan. 

Seminimal-minimalnya, pemerintah perlu membangun fasilitas pengolahan sampah organik terlebih dahulu sembari menggalakkan pengurangan dan pemilahan oleh masyarakat, serta menghubungkan masyarakat dengan bank sampah melalui informasi yang transparan dan regulasi yang mengikat.

The Goals

Pemerintah telah mencanangkan Indonesia Bersih Sampah 2025. Tercapainya Indonesia Bersih Sampah akan memudahkan pemerintah untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060. 

Krisis iklim telah kian nyata. Seluruh upaya harus dikerahkan untuk mencegahnya, termasuk mengurangi, memilah, dan mengolah sampah. Termasuk, melakukannya dari rumah tangga kita sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun