Mohon tunggu...
Syarif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penikmat dunia literasi yang ada di dunia ini. Buku dan internet merupakan hal yang wajib selalu ada selain makanan :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

4 Cara Ciptakan Kenyamanan Antar Umat di Media Sosial

14 September 2016   22:28 Diperbarui: 15 September 2016   16:25 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Puput sayang, saya tidak mau kayak erdogan. Saya mau menjadi diri saya sendiri. Kalo saya seorang warga biasa, dalil tidak boleh itu bisa dipahami. Saya ini pemimpin semua umat beragama. Ada kewajiban melindungi. Surga nerakanya pemimpin ada pada adil tidaknya keputusan untuk umatnya. Saya sdh disumpah untuk adil pada SEMUA warga Bandung. Kamu tau dari mana, bisa mengukur kadar akidah saya? Kamu Tuhan? Kenapa juga kamu masih haha hihi pake facebook/IG punya Yahudi? NKRI juga sudah memutuskan falsafahnya dengan Pancasila bukan dengan Piagam Jakarta. Hatur nuhun."

Masih ingat rangkaian kalimat di atas? Ya, itulah jawaban Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menanggapi sebuah komentar di akun Facebook miliknya dari akun bernama PuputTyy yang berbunyi: “Smoga pk wali bisa kaya erdogan, ngajinya pinter, membela islam , v toleransi boleh jangan ikut”an msuk greja lah pak,,”

Komentar yang ditulis oleh akun seorang wanita muda yang peduli dengan Palestina (terlihat dari foto profilnya) itu diposting setelah Ridwan Kamil mengunggah status dan foto saat beliau hadir lalu berpidato di sebuah Gereja di Bandung saat malam Natal tahun 2015.

Komentar itu pun menyulut banyak pengguna Facebook yang like dan follow akun Ridwan Kamil untuk ikut berkomentar. Tentunya yang ikut berkomentar itu memiliki agama yang berbeda-beda, sebagian besarnya Islam, Kristen, dan Katolik. Ada yang setuju dengan tanggapan Ridwan Kamil, ada juga yang setuju dengan komentar PuputTyy. Hingga pada saat itu dan keesokkan harinya media sosial lain pun ikut ramai oleh kejadian itu bahkan masuk ke pemberitaan di media massa.

Kesan akan kerukunan antar umat beragama menjadi goyah karena itu, dan itu terjadi di media sosial. Media yang sangat viral, cepat sekali dalam menyebarkan informasi, dan tak sedikit orang yang mudah terprovokasi di dalamnya.

Pertanyaannya adalah,

“Apakah kejadian ini akan hilang atau justru terulang saat malam Natal tahun 2016 nanti?” Mengingat Ridwan Kamil kemungkinan besar akan kembali melakukan kewajibannya itu. Untuk adil kepada semua warganya, yang warganya itu tentu memiliki agama yang berbeda-beda. Belum lagi ucapan ‘Selamat Natal’ yang disampaikan oleh orang Islam kepada teman, kerabat, saudara, atau bahkan kepada warganya yang beragama Kristen, yang masih saja menjadi pro kontra setiap tahunnya.

Harapan saya, pertanyaan di atas itu dijawab dengan kata ‘hilang’ alias tidak terulang lagi.

Tapi memang tidak mudah untuk menjawabnya sebelum ada tindakan-tindakan yang efektif untuk mencegahnya.

Saya punya cara tersendiri dalam upaya merawat hubungan baik dan menjalin kerukunan beragama di Indonesia pada era media sosial seperti saat ini. Cara ini saya dapatkan dari perjalanan hidup saya dari masa kanak hingga dewasa seperti saat ini. Walaupun saya sadar, sebenarnya pengalaman hidup beragama saya ini pasti dialami juga oleh teman-teman yang membaca tulisan ini dalam menjalani hidupnya, khususnya di Indonesia. Tapi saya pun merasa, walau pengalaman ini sama-sama kita miliki, tapi belum tentu semuanya memahami.

Berikut cara-cara untuk merawat kerukunan antar umat beragama di era media sosial:

Pertama, pahami Indonesia. Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurut Data Sensus Penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, dari 237 juta penduduk Indonesia, 87,1% (207 juta) di antaranya adalah beragama Islam. Kemungkinan besar pada tahun 2016 ini, persentase itu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Islam begitu dominan secara angka di Indonesia.

Walaupun demikian, Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara demokrasi berbentuk republik yang warga negaranya diberikan kebebasan dalam berpendapat dengan hak yang sama. Kehidupan warga negara Indonesia diatur oleh konstitusi seperti Undang-undang yang berlandaskan ideologi Pancasila.

Indonesia terbentuk bukan karena kesamaan agama, tapi karena kesamaan nasib. Sama-sama pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Itulah kenapa sila pertama di Pancasila yang awalnya saat masih berada dalam Piagam Jakarta bernafaskan hanya Islam saja, berubah menjadi lebih universal, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maksud dari sila ini adalah Indonesia menganjurkan setiap warga negaranya untuk memiliki satu konsep keyakinan atau dalam kata lain, agama.

Dan seperti yang sudah kita tahu, sila ini diperkuat oleh pasal 29 ayat 2 di dalam Undang-undang Dasar (UUD) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Walaupun mayoritas dan minoritas, tapi Islam beserta Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu memiliki hak yang sama di Indonesia. Saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan adalah kuncinya.

Kita bisa lihat di kalender Indonesia, apakah hanya Islam saja yang hari besarnya dirayakan dan diberi tanggal merah alias libur? Tidak kan? Saat umat Islam menjalani libur Idul Fitri, mereka yang beragama Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya pun ikut libur. Sebaliknya, saat agama yang lain itu merayakan hari besarnya, umat Islam pun ikut libur. Itu lah salah satu contoh indahnya hidup beragama di Indonesia.

Kedua, pahami media sosial. Hadirnya media sosial merupakan berkah bagi kita sebagai warga negara Indonesia yang diberi kebebasan berpendapat. Sekarang kita bisa membagi dan menyampaikan pikiran, pendapat, kritik, ekspresi dengan mudah. Semua bisa bersuara sekarang, dan suaranya bisa didengar oleh banyak orang. Yang perlu kita ingat, media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya itu hanyalah alat. Itu menandakan bahwa baik buruknya tergantung kita sebagai pribadi masing-masing yang menggunakannya.

Untuk agama, media sosial akan berdampak sangat baik ketika dipakai untuk berdakwah, membagikan inspirasi yang mencerahkan. Dan akan berdampak buruk jika dipakai untuk menyerang suatu pihak dengan maksud untuk menimbulkan kebencian dan provokasi. Saat ada tokoh atau seseorang yang terkenal meninggal dunia, seketika itu #RIP(nama tokoh) menjadi trending topic di media sosial. Yang meninggal bisa saja seorang muslim maupun non muslim, begitu pun dengan yang mengucapkan belasungkawanya. Tapi anehnya, selalu saja ada yang meributkan makna penggunaan “R.I.P’ (Rest In Peace) di Twitter. Banyak yang beranggapan bahwa kalimat itu tidak pantas disebutkan untuk seorang muslim yang meninggal dunia, karena kalimat itu identik dengan non muslim.

Anggaplah itu benar ya, tapi kita pun perlu ingat, ketika tragedi Mina pada tahun 2015. Banyak sekali akun dari seluruh dunia yang mengucapkan #PrayForMina, dan itu tidak hanya diucapkan oleh umat Islam saja tapi juga umat agama lainnya. Teman saya yang non muslim pun terbiasa mengucapkan ‘Selamat Hari Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir & Batin’ kepada teman-temannya yang muslim melalui status media sosial. Sedangkan saya pribadi saat teman non muslim merayakan hari besarnya, saya tidak pernah memberi ucapan. Tapi kami tetap berteman dengan baik dan bergaul seperti biasa saja.

Ketiga, luaskan pergaulan. Saya sendiri dari kecil sudah terbiasa dengan lingkungan yang berbeda agama. Jadi ingat waktu dulu saat masih SD, saya punya teman sebaya yang juga tetangga samping rumah. Dia berasal dari suku Batak dan agamanya Kristen. Saya sering main ke rumahnya yang di dalamnya ada lambang salib, dan saya tahu saat dia tidak ada di rumah pada hari Minggu karena diajak orang tuanya pergi ke gereja.

Begitupun saat masuk sekolah dari SD, SMP, SMA, kuliah, hingga masuk dunia kerja. Saya terbiasa bergaul dan bekerja sama dengan teman-teman yang berbeda agama.

Saat ini saja, saya memiliki tetangga yang berasal dari Nias dan beragama Kristen. Setiap Idul Fitri, mereka datang ke rumah untuk bersilaturahmi tanpa mengucapkan ‘Selamat Lebaran’. Tapi kami terima dengan baik, malahan mereka menyicipi ketupat Lebaran plus opornya. Selain bergaul dengan sesama muslim untuk terus memperkuat keimanan dan kepercayaan, tapi saya juga perlu bergaul dengan yang non muslim untuk memperkuat persatuan dan kesatuan atas dasar sama-sama warga Indonesia atau bahkan dunia.

Karena saya percaya, orang yang tidak bisa bertoleransi dalam kehidupan antar umat beragama adalah orang yang hidupnya selalu berada di lingkungan yang homogen, sehingga gagap pluralisme. Bahayanya lagi ketika mereka masuk ke ranah media sosial yang isinya sangat plural, baik suku, agama, ras, dan juga bahasa.

Keempat, berpikiran terbuka. Saya pernah menghadiri seminar internasional di sebuah universitas Kristen di Bandung, dengan mayoritas peserta adalah non muslim. Saat jam 12 siang waktunya istirahat, sebagai seorang muslim tentunya harus menunaikan ibadah shalah dhuhur. Saya pun menanyakan lokasi mushola dan tempat wudhu kepada pegawai kampus.

Dan ternyata, mushola-nya berada di sebuah ruangan kecil yang ukurannya mirip dengan kamar saya di rumah. Isinya ada tumpukan barang, dan ada 3 lembar sajadah yang membuat saya yakin itu memang mushola. Saat wudhu, saya diarahkan ke sebuah keran air yang ada di samping gedung kampus dekat tempat parkir. Saya baru sadar, bahwa saya berada di lingkungan kampus yang warganya mayoritas non muslim.

Awalnya saya sempat merasa kurang nyaman dengan kondisi ‘perlakuan’ seperti itu. Tapi setelah dipikir lagi dengan pikiran terbuka, saya memakluminya.

Kenapa saya maklum? Karena toh saya rasa di setiap gedung atau tempat seperti sekolah, kampus, perkantoran, mall, dan sebagainya, pun jarang sekali yang menyediakan berbagai tempat beribadah yang berbeda. Misalnya saja di kampus saya, kampus swasta dan umum hanya tersedia masjid saja sedangkan mahasiswanya kan tidak semuanya Islam, ada Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Berpikiran terbuka pun saya gunakan saat media sosial ramai memperbincangkan aturan suatu daerah di Indonesia yang merazia warung makan yang buka saat siang hari di Bulan Ramadan. Banyak netizen yang beranggapan, tindakan itu sangat baik dengan alasan menghargai orang yang sedang berpuasa.

Tapi kita perlu ingat, bahwa selain non muslim, ada juga umat Islam yang kebetulan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Siapa? Teman dan saudara kita yang wanita atau mungkin istri kita sendiri yang sedang menstruasi atau pun nifas. Saya pribadi sama sekali tidak terganggu ketika berpuasa melihat orang yang makan dan minum di depan mata. Niat saya berpuasa tidak mudah goyah dan tidak pernah merasa tidak dihargai oleh orang yang tidak berpuasa, karena saya pun harus menghargai orang yang tidak berpuasa. Biasakan untuk berpikiran terbuka dan melihat dari berbagai sudut pandang apalagi hal yang menyangkut dengan agama.

Merawat Kerukunan Antar Umat Beragama itu Penting
Alasannya sederhana saja. Kita sebagai manusia tentunya ingin hidup bahagia dan sejahtera. Tapi apa jadinya kalau kita sering terlibat konflik atau perseteruan? Saya yakin, seberapa banyak pun harta yang kita miliki, akan tetap tidak merasa bahagia kalau kita punya musuh atau terjerat kasus hukum. Apalagi jika konflik itu dilatarbelakangi oleh masalah agama. Suatu hal yang sangat sensitif sekali karena menyangkut keyakinan, kepercayaan, dan cara komunikasi seseorang kepada Tuhannya.

Maka dari itu, selain untuk kehidupan kita pribadi yang bahagia, kerukunan antar umat beragama pun akan memberikan efek positif untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di tengah gempuran perkembangan jaman.

Tingkat kerukunan beragama di Indonesia memiliki nilai 75,36 dalam rentang 0 – 100 berdasarkan Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia selama tahun 2015 yang disampaikan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag). Semoga 4 cara di atas dapat membantu mempertahankan atau bahkan menaikkan angka tersebut dengan kondisi yang senyata-nyatanya di lapangan bahwa kita itu harmonis.

Mari kita ciptakan trending topic kerukunan antar umat beragama di media sosial dan juga di dunia nyata. Perbanyak share status medsos yang bernafaskan perdamaian dan sikap saling menghormati antar umat agama dan terapkan itu semua menjadi perilaku dalam pergaulan di kehidupan sehari-hari.

Facebook: Syarif Hidayatullah
Twitter: @syarif_me

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun