Mohon tunggu...
Syarif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penikmat dunia literasi yang ada di dunia ini. Buku dan internet merupakan hal yang wajib selalu ada selain makanan :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

4 Cara Ciptakan Kenyamanan Antar Umat di Media Sosial

14 September 2016   22:28 Diperbarui: 15 September 2016   16:25 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, pahami Indonesia. Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurut Data Sensus Penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, dari 237 juta penduduk Indonesia, 87,1% (207 juta) di antaranya adalah beragama Islam. Kemungkinan besar pada tahun 2016 ini, persentase itu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Islam begitu dominan secara angka di Indonesia.

Walaupun demikian, Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara demokrasi berbentuk republik yang warga negaranya diberikan kebebasan dalam berpendapat dengan hak yang sama. Kehidupan warga negara Indonesia diatur oleh konstitusi seperti Undang-undang yang berlandaskan ideologi Pancasila.

Indonesia terbentuk bukan karena kesamaan agama, tapi karena kesamaan nasib. Sama-sama pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Itulah kenapa sila pertama di Pancasila yang awalnya saat masih berada dalam Piagam Jakarta bernafaskan hanya Islam saja, berubah menjadi lebih universal, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maksud dari sila ini adalah Indonesia menganjurkan setiap warga negaranya untuk memiliki satu konsep keyakinan atau dalam kata lain, agama.

Dan seperti yang sudah kita tahu, sila ini diperkuat oleh pasal 29 ayat 2 di dalam Undang-undang Dasar (UUD) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Walaupun mayoritas dan minoritas, tapi Islam beserta Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu memiliki hak yang sama di Indonesia. Saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan adalah kuncinya.

Kita bisa lihat di kalender Indonesia, apakah hanya Islam saja yang hari besarnya dirayakan dan diberi tanggal merah alias libur? Tidak kan? Saat umat Islam menjalani libur Idul Fitri, mereka yang beragama Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya pun ikut libur. Sebaliknya, saat agama yang lain itu merayakan hari besarnya, umat Islam pun ikut libur. Itu lah salah satu contoh indahnya hidup beragama di Indonesia.

Kedua, pahami media sosial. Hadirnya media sosial merupakan berkah bagi kita sebagai warga negara Indonesia yang diberi kebebasan berpendapat. Sekarang kita bisa membagi dan menyampaikan pikiran, pendapat, kritik, ekspresi dengan mudah. Semua bisa bersuara sekarang, dan suaranya bisa didengar oleh banyak orang. Yang perlu kita ingat, media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya itu hanyalah alat. Itu menandakan bahwa baik buruknya tergantung kita sebagai pribadi masing-masing yang menggunakannya.

Untuk agama, media sosial akan berdampak sangat baik ketika dipakai untuk berdakwah, membagikan inspirasi yang mencerahkan. Dan akan berdampak buruk jika dipakai untuk menyerang suatu pihak dengan maksud untuk menimbulkan kebencian dan provokasi. Saat ada tokoh atau seseorang yang terkenal meninggal dunia, seketika itu #RIP(nama tokoh) menjadi trending topic di media sosial. Yang meninggal bisa saja seorang muslim maupun non muslim, begitu pun dengan yang mengucapkan belasungkawanya. Tapi anehnya, selalu saja ada yang meributkan makna penggunaan “R.I.P’ (Rest In Peace) di Twitter. Banyak yang beranggapan bahwa kalimat itu tidak pantas disebutkan untuk seorang muslim yang meninggal dunia, karena kalimat itu identik dengan non muslim.

Anggaplah itu benar ya, tapi kita pun perlu ingat, ketika tragedi Mina pada tahun 2015. Banyak sekali akun dari seluruh dunia yang mengucapkan #PrayForMina, dan itu tidak hanya diucapkan oleh umat Islam saja tapi juga umat agama lainnya. Teman saya yang non muslim pun terbiasa mengucapkan ‘Selamat Hari Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir & Batin’ kepada teman-temannya yang muslim melalui status media sosial. Sedangkan saya pribadi saat teman non muslim merayakan hari besarnya, saya tidak pernah memberi ucapan. Tapi kami tetap berteman dengan baik dan bergaul seperti biasa saja.

Ketiga, luaskan pergaulan. Saya sendiri dari kecil sudah terbiasa dengan lingkungan yang berbeda agama. Jadi ingat waktu dulu saat masih SD, saya punya teman sebaya yang juga tetangga samping rumah. Dia berasal dari suku Batak dan agamanya Kristen. Saya sering main ke rumahnya yang di dalamnya ada lambang salib, dan saya tahu saat dia tidak ada di rumah pada hari Minggu karena diajak orang tuanya pergi ke gereja.

Begitupun saat masuk sekolah dari SD, SMP, SMA, kuliah, hingga masuk dunia kerja. Saya terbiasa bergaul dan bekerja sama dengan teman-teman yang berbeda agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun