Saat ini saja, saya memiliki tetangga yang berasal dari Nias dan beragama Kristen. Setiap Idul Fitri, mereka datang ke rumah untuk bersilaturahmi tanpa mengucapkan ‘Selamat Lebaran’. Tapi kami terima dengan baik, malahan mereka menyicipi ketupat Lebaran plus opornya. Selain bergaul dengan sesama muslim untuk terus memperkuat keimanan dan kepercayaan, tapi saya juga perlu bergaul dengan yang non muslim untuk memperkuat persatuan dan kesatuan atas dasar sama-sama warga Indonesia atau bahkan dunia.
Karena saya percaya, orang yang tidak bisa bertoleransi dalam kehidupan antar umat beragama adalah orang yang hidupnya selalu berada di lingkungan yang homogen, sehingga gagap pluralisme. Bahayanya lagi ketika mereka masuk ke ranah media sosial yang isinya sangat plural, baik suku, agama, ras, dan juga bahasa.
Keempat, berpikiran terbuka. Saya pernah menghadiri seminar internasional di sebuah universitas Kristen di Bandung, dengan mayoritas peserta adalah non muslim. Saat jam 12 siang waktunya istirahat, sebagai seorang muslim tentunya harus menunaikan ibadah shalah dhuhur. Saya pun menanyakan lokasi mushola dan tempat wudhu kepada pegawai kampus.
Dan ternyata, mushola-nya berada di sebuah ruangan kecil yang ukurannya mirip dengan kamar saya di rumah. Isinya ada tumpukan barang, dan ada 3 lembar sajadah yang membuat saya yakin itu memang mushola. Saat wudhu, saya diarahkan ke sebuah keran air yang ada di samping gedung kampus dekat tempat parkir. Saya baru sadar, bahwa saya berada di lingkungan kampus yang warganya mayoritas non muslim.
Awalnya saya sempat merasa kurang nyaman dengan kondisi ‘perlakuan’ seperti itu. Tapi setelah dipikir lagi dengan pikiran terbuka, saya memakluminya.
Kenapa saya maklum? Karena toh saya rasa di setiap gedung atau tempat seperti sekolah, kampus, perkantoran, mall, dan sebagainya, pun jarang sekali yang menyediakan berbagai tempat beribadah yang berbeda. Misalnya saja di kampus saya, kampus swasta dan umum hanya tersedia masjid saja sedangkan mahasiswanya kan tidak semuanya Islam, ada Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Berpikiran terbuka pun saya gunakan saat media sosial ramai memperbincangkan aturan suatu daerah di Indonesia yang merazia warung makan yang buka saat siang hari di Bulan Ramadan. Banyak netizen yang beranggapan, tindakan itu sangat baik dengan alasan menghargai orang yang sedang berpuasa.
Tapi kita perlu ingat, bahwa selain non muslim, ada juga umat Islam yang kebetulan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Siapa? Teman dan saudara kita yang wanita atau mungkin istri kita sendiri yang sedang menstruasi atau pun nifas. Saya pribadi sama sekali tidak terganggu ketika berpuasa melihat orang yang makan dan minum di depan mata. Niat saya berpuasa tidak mudah goyah dan tidak pernah merasa tidak dihargai oleh orang yang tidak berpuasa, karena saya pun harus menghargai orang yang tidak berpuasa. Biasakan untuk berpikiran terbuka dan melihat dari berbagai sudut pandang apalagi hal yang menyangkut dengan agama.
Merawat Kerukunan Antar Umat Beragama itu Penting
Alasannya sederhana saja. Kita sebagai manusia tentunya ingin hidup bahagia dan sejahtera. Tapi apa jadinya kalau kita sering terlibat konflik atau perseteruan? Saya yakin, seberapa banyak pun harta yang kita miliki, akan tetap tidak merasa bahagia kalau kita punya musuh atau terjerat kasus hukum. Apalagi jika konflik itu dilatarbelakangi oleh masalah agama. Suatu hal yang sangat sensitif sekali karena menyangkut keyakinan, kepercayaan, dan cara komunikasi seseorang kepada Tuhannya.
Maka dari itu, selain untuk kehidupan kita pribadi yang bahagia, kerukunan antar umat beragama pun akan memberikan efek positif untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di tengah gempuran perkembangan jaman.
Tingkat kerukunan beragama di Indonesia memiliki nilai 75,36 dalam rentang 0 – 100 berdasarkan Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia selama tahun 2015 yang disampaikan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag). Semoga 4 cara di atas dapat membantu mempertahankan atau bahkan menaikkan angka tersebut dengan kondisi yang senyata-nyatanya di lapangan bahwa kita itu harmonis.