Seharusnya sih, ada kontrak antara petani cengkeh dan pemerintah, jika kita menggunakan istilah "etatisme kapitalis" agar ada kepastian harga. Karena selama ini petani selalu pada posisi yang tidak diuntungkan. Apalagi petani tidak bisa mengintervensi harga pasar di tingkat pengepul dan pembeli. Jadi kalau petani dilibatkan, tentu ada harga pasti. Pembeli juga tidak bisa bermain harga.
Tahun ini produksi cengkeh, khususnya di bumi Manggarai turun drastis. Faktornya karena cuaca. Tidak seperti tahun 2018 yang lalu, yang bertepatan dengan panen besar. Sebab untuk sampai pada musim panen, dibutuhkan cuaca sedang selama dua bulan. Kalau cuma satu bulan lalu setelahnya turun hujan, cengkeh bakal rontok sebelum masa panen tiba.
Cengkeh milik orangtua saya yang beliau tanam sekitar 40 pohon. Sekarang hanya 8 pohon yang produktif berbuah. Itu pun beberapa di antaranya sudah tidak utuh. Ranting, daun, dan cabangnya mengering.
Di Manggarai terdapat tiga reksa wilayah yang berpenghasilan cengkeh terbesar, yaitu Mano, Kuwus, dan Pacar. Namun tumbuhan dengan julukan 'emas cokelat' itu saat ini kurang produktif berbuah. Sehingga, yang tadinya bertumpu pada penghasilan cengkeh, kini mengandalkan sektor lain untuk menambah pendapatan, seperti dari kopi, kemiri, vanilli dan mengolah sawah.
Karena keuntungan yang diperoleh harus dianggarkan untuk biaya pemetik, serta menyediakan sajian atau kudapan untuk tetangga yang melakukan proses pemisahan buah cengkeh dari tangkainya. Proses ini dalam bahasa lokalnya disebut sepuk/cepuk.
Kalau Sepuk tidak perlu menyewa orang. Kebanyakan datang dari tetangga dan keluarga. Mereka lakukan secara bersama-sama dan suka rela. Jadi kita hanya siapkan sajian ala kadarnya saja. Karena cepuk itu santai di rumah. Tapi pemanjat ini yang berisiko. Jatuh pasti cedera. hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H