Pict : https://raypoetryandlifestyle.wordpress.com/2021/02/23/good-heart/
"Kamu percaya reinkarnasi?" Perempuan berambut ikal pirang itu memulai obrolan, memecah hening dalam kamar yang sengaja dibuat remang.
"huuuuuhhmmmm..." Lelaki yang berbaring di sebelahnya mendengus kecil sebelum menimpali ...
      "Yaah tidak lah. Agama kita tidak mengajarkan hal seperti itu.
      "heemhhh... ia aku tahu." Jawab perempuan itu singkat disertai tawa kecil yang menghiasi bibir tipisnya yang masih terpoles lipstick merah terang.
      Entah kenapa jawaban lelaki tadi terasa menggelitik baginya, membawa persoalan agama di saat-saat seperti ini.
      Kemudiang hening tercipta beberapa saat.
      "Tetapi pernah tidak sih, kamu bertemu dengan seseorang yang ternyata menurut kamu ia sangat baik, dan juga tulus?" Perempuan itu melanjutkan solah tak ingin kehilangan kesempatan untuk mengutarakan semua hal-hal yang mengganjal di benaknya.
      Lelaki yang masih tetap berbaring di sebelah perempuan itu tetap diam, tidak menimpali apa-apa. Meski bola matanya masih tetap berkelana liar di langit-langit kamar berukuran 6x4 itu. Ia juga sadar betul bahwa perempuan di sebelahnya sedang berbicara kepadanya, dan ia merasa tidak harus menjawab semua pertanyaan perempuan setengah mabuk itu.
      Sadar bahwa lelaki satu-satunya di ruang itu tetap diam, Maya perempuan itu kembali melanjutkan ucapannya.
      "Konon katanya, orang itu telah memiliki jiwa yang tua dan sudah cukup sering melalui proses reinkarnasi dan akan selesai..."
      Belum usai perempuan itu dengan celotehnya, Lanang lelaki itu lantas terpicu ke ingin tahuannya dan memotong begitu saja.
      "Lalu kalau sudah selesai? Kemana orang itu akan pergi?"
    "Huuummmhh... Moksa. Orang itu akan melalui proses yang bernama moksa untuk menuju nirwana, kebahagiaan tertinggi."
      "Moksa? Apaan? Jangan-jangan kamu abis di baptis yah? Atau kesambet apa sih sampai tahu hal-hal semacam itu."
      Maya tak menjawab, tetapi memalingkah wajahnya dari memandangi langit-langit kamar itu menuju lelaki yang sedang menghadapakan seluruh tubuh dan wajahnya kepada Maya. Seolah-olah lelaki itu hanya ingin berfokus kepadanya dan tak ingin terlewat semenit pun. Meyaksikan hal itu, spontan Maya tertawa keras dan melanjutkan obrolannya.
      "Moksa proses pelepasan hal-hal yang berbau unsur duniawi untuk menuju kebahagiaan abadi."
      "Seriusan? Kamu tidak kenapa-kenapa kan, sampai tahu hal-hal yang seperti itu?" tanya Lanang datar berusaha menyembunyikan kecurigaannya.
      "Huhh, tidak lah. Dasar gilak. Di zaman secanggih sekarang hal apa pun bisa dengan mudah kamu akses melalui internet. Lagi pula aku ngobrolin hal ini ke kamu bukan tanpa alasan."
"Lalu alasan kamu membahasa reingkarnasi itu tadi apa?"
"Akhhh.. sudahlah. Saya sudah tidak tertarik membahasnya lagi." Kata Maya semberi berbalik membelakangi lelaki itu dan merapatkan selimut ketubuhnya.
"Heyy... Ayolah... jangan tidur dulu"
Maya tak merespon. Lelaki itu terlihat tampak gusar sebelum akhirnya ikut tertidur.
***
Pagi awal hari yang baru dimulai. Hari telah siang dan matahari bersinar terik menerobos masuk ke jendela kamar Maya, menggelitik matanya yang masih terpejam dan membuatnya terjaga. Ia menggeliat kecil sebelum meraba kasur yang kosong di sebelahnya. Ia sedikit tersentak mendapati tak ada lagi lelaki semalam yang menemaninya tidur.
Kepergian lelaki itu sama sekali tidak ia sadari, sama seperti ia tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam terakhir yang mereka habiskan bersama. Hari-hari berikutnya, Lanang lelaki itu menolak untuk menemui Maya. Berbagai macam alasan ia lontarkan demi untuk menghidari Maya. Maya dipasung oleh kegalauan.
"Lebih baik, kamu tak usah menghubungi aku lagi." Kata lelaki itu yang tak lain adalah Lanang di seberang telepon.
"Heh. . . Kenapa? Salahku apa? Kenapa tiba-tiba begini?"
"Aku sudah punya pacar." Jawab lelaki itu singkat.
Jeda. Maya terdiam sesaat. Sebelum akhirnya Maya bertanya dengan suara lirih.
"Memangnya selama ini kamu menggap aku ini apa?"
"Teman." Jawab Lanang singkat.
"Tapi bagiku kamu lebih dari sekedar teman."
"Yah, itu urusanmu."
"Kita sudah melakukan banyak hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang teman."
"Salahmu sendiri. Mengapa mau? Sejak awal aku hanya menggapmu teman, dan itu tidak lebih."
Maya diseberang telepon tak bisa berkata-kata. Air matanya berurai tumpah ruah membuat riasan wajahnya yang tebal berserakan. Dadanya terasa sesak, seperti ditimpuki segepok kapas yang membuatnya susah untuk bernapas.
Ia terdiam sesaat, sebelum akhirnya menangis keras lanyaknya anak kecil yang mainan kesukaannya dirampas oleh seseorang. Kesedihan dan kekecewaannya semuanya ia lampiaskan melalui lengkingan suara tangisannya yang tenggelam di tengah alunan musik bar, tempat di mana ia berjumpa dengan Lanang kali pertama.
Harapan dan mimpi-mimpi Maya terhadap Lanang, lelaki itu musnah seketika itu juga. Sebelumnya, ia tak pernah jatuh cinta kepada seseorang sedalam dan sekeras itu, seperti yang ia lakukan kepada Lanang. Kecuali kepada seseorang yang menjadi cinta pertamanya, dan ia perlu waktu kurang lebih 6 tahun untuk benar-benar pulih.
Di saat ia benar-benar merasa kosong itulah, setelah terbebas dari cerita suram cinta pertamanya ia dipertemukan dengan Lanang. Lelaki yang baginya nyaris sempurna dan tampa cela. Bukan berarti ia tak pernah menjalin cinta dengan orang lain sebelumnya, tetapi ibaratnya tak lebih dari sekedar pelampiasan yang percuma. Karena kenyataannya, bayang-bayang lelaki yang merebut hatinya sejak lama itu, masih tetap ada.
Hingga akhirnya Lanang datang menawarkan segenggam harapan. Kehangatannya mampu mencairkan kebekuan hati Maya yang sempat ingin ia tutup rapat-rapat. Ia memperlakukan Maya selayaknya wanita, menghormati prinsipnya, menerima lebih dan kurangnya serta tak segan-segan menjamu Maya. Maya terlena oleh kenyamanan semu yang diberikan Lanang. Ia serasa diperlakukan bak seorang ratu.
Bagi Maya, Lanang adalah lelaki terbaik yang pernah ia temui. Karenannya Maya tak segan menggantungkan harapan besarnya kepada Lanang, bahkan tak segan memberikan semua kepunyaanya untuk lelaki itu. Dan ternyata sebagai balasannya, ia dibuang percuma.
Mungkin Maya keliru, salah mengira sorot mata Lanang yang ia sangka penuh ketulusan ternyata memiliki maksud terselubung. Maya teringat ketika ia tanpa sengaja membaca sebuah tread di twitter tentang reingkarnasi terakhir seseorang yang jiwanya telah tua. Entah kenapa ia tiba-tiba teringat Lanang saat itu. Maya sempat berpikir bahwa mungkin saja Lanang adalah salah satu dari seseorang yang tidak akan melewati proses reinkarnasi lagi, tetapi kini terbantakan sudah dugaannya itu. Lanang kurang lebih sama saja denga laki-laki brengsek lainnya yang pernah ia temui.
Maya melewati hari-harinya yang ia sendiri tidak tahu apa yang terus-menerus membuatnya bersedih. Lanang? Kini ia belajar untuk menerima dan berdamai pada kenyataan. Seharusnya tak lagi ada beban baginya, tetapi siapa yang menduga, kisah cintanya yang sejak awal tak pernah berjalan mulus, kini malah menimbulkan trauma dari luka yang tak kunjung mengering.
Musim dingin diselimuti langit yang kelabu tiba-tiba kembali menyeruak dihati Maya. Membekukan hati dan juga perasaannya. Ia seperti seseorang yang mati rasa, akan sesuatu yang bernama cinta. Dalam sadar dan keheningan langit malam, ia berikrar tak akan pernah percaya kepada cinta lagi, dan memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya seorang diri. Di penghujung usianya yang berdiri di pertengahan 40 tahunan[]Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H